Kaya Itu Indah: Bagian 1

Siapa yang tak ingin atau mimpi jadi kaya? Jawaban terbanyak tentu tidak. Semu ingin kaya raya. Bahkan ada guyonan bahwa muda kaya raya, tua sejahtera dan mati masuk surga. Untuk urusan harta, majalah Forbes sangat rajin mewartakan hasil pengamatan mereka di seluruh dunia. Lalu, siapa sebenarnya orang kaya itu?

Sedikit agak ngilmiah, ada beberapa pendekatan kuantitatif yang sering dipakai untuk mengukur kekayaan yakni dari sebaliknya: kemiskinan. Teori ekonomi aliran liberalistik mengagungkan yang banyak itu baik. Semakin banyak harta (diukur dari pendapatan per kapita dan dalam ukuran mata uang dollar Amerika Serikat) akan diketahui derajat manusia itu. Aliran pemikiran besar lain menyakini bahwa sama rata dan sama rasa adalah yang terbaik. Negara kita, Indonesia, bahkan sering disebut sebagai jamrud katulistiwa karena kekayaan sumber alam dan budaya masyarakatnya. Tapi itu baru di dalam buku cerita anak atau syair lagu. Kenyataan yang dirasakan masih jauh panggang dari apinya. Apa yang terjadi di balik itu?

Jawaban atas pertanyaan itu bisa beraneka ragam. Sumber alam dan budaya yang sangat banyak tsb tidak diberdayakan selayaknya. Penggundulan hutan serta pengerukan bahan galian dan mineral yang berlebih tanpa kendali regulasi jelas dan kuat adalah sebagian dari penyebab ketidakberdayaan kita menikmati anugerah Illahi. Masyarakat bangsa Indonesia masih digolongkan sebagai kaum miskin.

Ada penyebab lain yang mungkin sering kita abaikan atau lupakan. Mentalitas. Mengapa? Secara de jure, Indonesia telah merdeka 65 tahun lebih. Proklamasi dan mukadimah UUD 1945 menegaskannya. Dalam perjalanan menuju pencapaian cita-cita, kita sering berhadapan dengan kenyataan yang sangat jelas menunjukkan bahwa praktik penjajahan masih berlangsung dan cenderung kian meluas. Sebut tiga kasus terkini: korupsi pajak Gayus Tambunan, penganiayaan TKW Sumiati dan peraturan daerah (perda) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan mengenakan pajak 10% bagi warung Tegal (warteg).

Pada kasus Gayus Tambunan, pegawai negeri sipil golongan rendah di lingkungan Direktorat Jendral Pajak ini punya kekayaan melebihi Presiden RI yang menjadi simbol puncak kekuasaan pemerintahan Negara. Sang penasihat hukum dan pembela kasus dirinya, Bang Buyung Nasution, berulang kali menyatakan di depan publik bahwa ada praktik mafia peradilan yang harus diungkap dan diselesaikan secara tuntas. Yang menarik dari kasus ini adalah perlakuan kepada terdakwa. Jika Gayus yang jelas jadi penghianat saja masih mendapat perlakuan istimewa karena harta kekayaannya mampu membeli fasilitas ekstra buat terpenjara di lingkungan dengan penjagaan ketat dan dalam pengawasan publik.  Berwisata ke pulau Bali memonton pertandingan tennis dll. Kesempatan serupa atau jauh lebih kecil tidak didapatkan dari nenek Ijah yang mencuri buah kakao buat makan. Atau janda pejuang kemerdekaan tergusur dari rumah tinggalnya. Hal serupa terjadi pada kasus TKW Sumiati dan tak jauh beda dari soal pengenaan pajak bagi warung bagi masyarakat golongan ekonomi lemah ini. Singkat kata, apapun alasan dalam logika hukum acara kita saat ini,  nuansa jaman penjajahan yang ditandai oleh pendekatan kekuasaan yang mengedepankan kekuatan fisik dan senjata dari pada pendekatan sosial yang bercirikan kemanusiaan adil dan beradab.
  

. Bookmark the permalink.

Leave a Reply