Awan gelap menggantung di ufuk Barat. Matahari mulai terbenam meninggalkan cahaya kemerah-merahan di celah-celah mendung hitam, meramalkan kesuraman yang menggetarkan hati. Seperti masuk neraka saja, rasanya.
Sepasukan kecil dari Seksi (Sie) 321 Kompi (Kie) 320 Batalyon (Bat) 300 Tentara Pelajar dibawah komandan Anggoro bergerak melaksanakan perintah untuk menduduki daerah Sidobunder membantu dan memperkuat pertahanan sepasukan kecil dengan kekuatan satu regu Tentara Rakyat Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI saat itu) di bawah pimpinan seorang Letnan ( kemudian diketahui bernama Achmad Dimjati – penyunting).
Pasukan bergerak pelan-pelan dan berhati-hati, sebentar-sebentar berhenti memperhatikan dengan seksama keadaan di depan dan di sekelilingnya.
Senapan-senapan yang semula dengan santai disandang di pundak, tanpa komnado, telah dibawa dalam keadaan siap tempur. Mata mereka hampi tak berkedip, meneliti senja yang berangsur gelap itu, agar dapat menelusuri jalan menuju Desa Sidobunder.
Masuk Desa Sidobunder
Tanggal 31 Agustus 1947, pasukan TP telah memasuki Desa Sidobunder. Segera Sie 321 melapor kedatangannya kepada Penguasa (Militer) setempat yang dijabat oleh Letnan TRI tersebut di atas dan juga Kepala Desa Sidobunder yang telah siap menyambut kedatangan Sie 321 dengan nuk (nasi bungkus jaman itu) yang segera diserbu oleh semua pasukan yang sudah lapar. Malam itu Nampak banyak obor menyala di seberang sawah yang mencurigakan.
Tetapi, setelah Kepala Desa menerangkan bahwa itu adalah kebiasaan rakyat setempat yang sedang mencari gangsir (sejenis jangkrik/ cengkerik) di malam hari, maka Komandan Anggoro mengijinkan pasukannya untuk beristirahat. Setelah pasukan beristirahat sebentar maka Sie 321 menempati pos masing-masing di beberapa penjuru Desa Sidobunder yang dianggap rawan bila pasukan Belanda menyerang pertahanan pasukan RI.
Bersamaan kedatangan Sie 321, tiba pula anggota TP Sulawesi (PERPIS: Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) yang dipimpin oleh Maulwi Saelan dan beberapa anggota TP Purworejo yang menggabungkan diri di Desa Sidobunder. Markas pasukan TP adalah rumah Pak Ponco yang letaknya di sebelah Barat Kelurahan yang kini menjadi gedung SD. Pak Ponco adalah seorang pensiunan pegawai pegadaian (Pandhuis Schatter, juru tulis pegadaian) dank arena itu masyarakat setempat menyebut beliau sebagai pak Sekater.
Senin, 1 September 1947
Baru satu malam berada di Desa Sidobunder, kami mendengar kabar bahwa tentara Belanda telah mengadakan pemusatan kekuatan di Karangbolong. Pagi itu, Sdr. Losung dari PERPIS bersama tiga rekan ditugaskan untuk menguji kebenaran berita itu. Memang benar ada tentara Belanda di sana, tetapi jumlahnya tidak banyak. Bahkan ada yang sempat berenang dan mandi di sungai itu. Oleh keempat anggota TP yang masih belasan tahun umurnya itu, tanpa memperhitungkan bahaya yang akan timbul, orang-orang Belanda itu ditembaki. Karena kaget, mereka lari terbirit-birit tanpa membalas tembakan anak-anak TP.
Bersiap-siap Menyongsong Musuh
Senin pagi, Regu 1 dibawah pimpinan Djokonomo menempati pertahanan terdepan dengan tugas khusus mempertahankan jembatan yang telah diledakkan pada waktu yang lalu. Atau setidak-tidaknya menghambat gerakan pasukan Belanda apabila mereka menyerang dari arah Barat.
Anggota Regu 1 nampak sangat gembira pagi itu. Di tebing sungai terdapat lubang-lubang perlindungan yang rupanya pernah dipakai sebagai lubang pertahanan pasukan yang dating sebelumnya. Dari situ dapat terlihat suasana Desa Sidobunder secara jelas. Meskipun hari itu pasukan berusaha santai, tetapi hati merasa was-was, karena 31 Agustus kemarin adalah hari ulat tahun Ratu Wilhelmina, yang biasanya oleh tentara Belanda dirayakan dengan serangan besar terhadap pertahanan pasukan RI.
Pertemuan Terakhir antara Komandan Regu 1 dan 2
Komandan Regu 2, Djokopramono yang ganteng, bersama beberapa anggotanya siang itu mengunjungi pertahanan Regu 1 dan ikut ngobrol di pos terdepan. Siang itu mereka berenang di sungai . Kebetulan ada perahu rakyat yang tak terpakai. Djokopramono coba mengayuhnya dan ia nampak gembira sekali. Rupanya itulah kesempatan terakhir bergembira ria bersama teman-temannya. Anggota lain menyeberang jembatan dan menapaki jalan-jalan yang termasuk daerah kekuasaan tentara Belanda.
Ia berpesan agar mereka tidak terlalu jauh memasuki daerah musuh. Karena akan menarik perhatian mereka untuk mengetahui posisi pertahanan pasukan TP. Sampai pergantian hari, tidak ada kejadian penting. Pasukan TP tetap berjaga di pos masing-masing. Semua sadar bahwa serangan mendadak tentara Belanda bisa datang sewaktu-waktu untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda itu.
Malam Dingin yang Mencekam
Malam itu hujan turun sangat deras, bagai dicurahkan dari langit. Tetapi anggota Regu 1 tak ada yang beranjak dari posnya. Dan lubang-lubang pertahanan yang mereka tempati telah menjadi kolam-kolam kecil. Pasukan tetap bertahan semalam suntuk dengan perut kosong dan terendam air setinggi dada. Malam itu kekawatiran akan diserbu tentara Belanda benar-benar memuncak.
Komnadan Regu 1, Djokomono, disertai Imam Sukotjo memeriksa anak buah dari satu ke lain lubang. Dari satu ke lain pos. Akhirnya setelah yakin bahwa semua anggota pasukannya tetap waspada dan siap tempur, kedua orang ini mencari tempat berteduh disekitar jembatan dan menemukan sebuah kandang kerbau yang kosong.
Di Pos TP Sulawesi, Sukiman bersama 9 orang temannya menempati pos di sekitar pertigaan (saat ini di salah satu sisinya telah berdiri tugu peringatan pertempuran/ Palagan Sidobunder). Tempatnya di sebuah kandang dan lumbung desa. Semua berpencar sesuai instruksi yang mereka peroleh sore itu. Sekitar tengah malam, terdengar suara “ uukk..” seperti ayam jantan berkokok. Ketika didekati ternyata tidak ada hal yang mencurigakan. Tapi suara itu muncul lagi di tempat lain. Kewaspadaan pasukan TP ditingkatkan.
Kira-kira jam satu dini hari ada dua orang yang berpakaian adat Jawa mengirim kopi panas dan singkong rebus kepada Sukiman dan teman-temannya dengan permintaan agar kiriman itu segera dihabiskan. Tetapi, Sukiman satu-satunya orang yang dapat berbahasa Jawa memberi perintah agar kedua orang itu segera meninggalkan pos mereka dan tak perlu menunggu kiriman itu dihabiskan. Di belakang hari akhirnya diketahui bahwa ini merupakan taktik musuh untuk menghabisi pasukan RI dengan cara mudah. Terbukti, di Puring, kejadian serupa menimpa empat anggota pasukan TRI dan semuanya tewas. Mereka memang mata-mata musuh.
2 September 1947
Hari masih gelap menjelang Subuh. Tiba-tiba Komandan Sie 321 dikejutkan oleh rentetan bunyi senapan mesin dari berbagai penjuru. Disusul oleh kedatangan Letnan Achmad Dimajati yang member tahu bahwa posisi pasukan RI telah dikepung tentara Belanda dari segala arah.
Setelah mempelajari situasi, mas Anggoro memutuskan agar pasukan yang terkepung mengadakan stoot (pergerakan pasukan) kea rah Timur guna meloloskan diri dari kepungan itu.
Untuk menyiapkan pergerakan pasukan itu, diperintahkan kepada pasukan PERPIS agar diperkuat dengan senapan mesin buatan Jepang, Juki, untuk menghambat pergerakan pasukan musuh. Kepada Soejitno, Komandan Sie 321 memerintahkan agar segera menghubungi pasukan di garis depan yang dikomandani Djokonomo ditarik mundur dan menggabungkan diri dengan pasukan induk yang berpusat di Desa Sidobunder.
GUGURNYA RIDWAN DAN ACHMAD
Saat menunggu kedatangan pasukan Djokonomo, induk pasukan mendapat serangan dari sebelah Utara. Dengan keberanian luar biasa, saudara Ridwan yang bersenjata brend gun melakukan perlawanan hebat untuk menggagalkan gerakan masuk tentara Belanda ke desa Sidobunder dalam serangan yang bergelombang.
Gelombang pertama dan kedua dapat digagalkan, tapi pada kesempatan berikutnya saudara Ridwan gugur ditembus peluru musuh. Saudara Koenarso Kampret yang ada di dekatnya sempat mengamankan senjata Ridwan.
Saudara Achmad, seorang kurir yang masih sangat muda dari MBT (Markas Besar Tentara-penyunting), karena kemalaman pada 1 September 1947 memaksa dirinya tidur di markas induk. Pagi harinya setelah shalat Subuh, ia melaporkan kedatangan kepada Komandan Seksi, menyatakan ingin bergabung dengan seksi 321 dan minta dipersenjatai. Pertama, ia diberi sejumlah granat gombyok oleh mas Anggoro, tapi ditolak. Akhirnya, Komandan Seksi 321 ini merelakan senjata andalan sebuah karabijn pendek hasil perebutan dengan tentara Jepang di Kotabaru (Jogja-peny) kepada Achmad. Sementara dirinya mengalah dengan bersenjatakan granat yang akan diberikan kepada Achmad. Setelah bergabung, Achmad ikut menahan gelombang serangan itu yang akhirnya membuat pemuda itu gugur dalam menjalankan tugas.
Setelah Regu 1 datang melapor, Komandan Seksi 321 segera memerintahkan pasukannya untuk memulai pergerakan mundur. Sdr. Hapto merelakan diri sebagai penunjuk jalan, diikuti Pramono dan Kusdradjat. Sementara itu, mas Anggoro dan Fuad Sahil menelusuri jalan ke arah Timur. Sisa pasukan dibagi dua bergerak di antara rumah-rumah penduduk ke Timur di kedua sisi jalan. Dengan tenang sdr Hapto mendekati regu Maulwi Saelan. Mereka mamberi isyarat bahwa keadaan masih aman dan pasukan dapat mengikutinya ke arah Timur. Mungkin salah pengamatan karena baju seragam dan warna kulit sama dengan pasukan Belanda yang berasal dari KNIL, sebenarnya kedudukan mereka telah dikepung oleh tentara musuh. Sehingga pasukan kita telah terperangkap dalam wilayah yang telah dikuasi tentara Belanda. Pertempuran seorang demi seorang (tidak berkelompok dalam regu-penyunting) tak terhindarkan. Pada saat itu Hapto dan Pramono gugur. Komandan Seksi dan sisa pasukan yang mengikutinya ke arah Timur masih sempat berlindung di sudut desa untuk menyusun ulang kekuatan yang ada sambil mencari informasi tentang teman-teman yang jadi korban. Serta kedudukan tentara Belanda pada waktu itu. Dalam waktu yang relatif singkat, telah berkumpul 11 orang yang terdiri dari Kusdradjat, Rinanto, Fuad Sahil, Djokonomo dan selebihnya adalah anggota TNI. Melihat situasi yang tidak memungkinkan pasukan untuk bertahan lebih lama, pasukan ini bergerak ke arah Timur dengan pimpinan Djokonomo.
Setelah memasuki desa pertama, pasukan kecil ini tiba-tiba dihujani tembakan mortir. Dengan pelan dan berhati-hati akhirnya mereka dapat memasuki daerah yang dikuasi oleh pasukan kita dari Angkatan Oemat Islam (AOI). Mereka kemudian dikepung oleh pasukan AOI dalam jumlah besar dan bersenjata detonator dengan maksud akan merampas senjata yang dibawa pasukan kecil ini. Karena emosional, Djokonomo segera menarik pelatuk standgun-nya. Tapi segera dicegah oleh mas Anggoro selaku Komandan Seksi. Kemudian ia meminta kepada anggota pasukan AOI untuk mempertemukan dirinya dengan pimpinannya. Tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Mereka tetap terdiam. Akhirnya, mas Anggoro minta untuk diantar ke masjid guna menunaikan shalat Maghrib. Karena yang muslim hanya dua orang, anggota pasukan lainnya diperintahkan mengikuti saja gerakan teman yang ditunjuk menjadi imam.
Setelah usai menunaikan shalat Maghrib, datang hidangan. Akhirnya pak kyai yang menjadi pimpinan pasukan AOI itu menghampiri pasukan kecil ini. Beliau meminta senjata yang kita bawa untuk diserahkan kepada mereka agar dapat memperkuat pertahanan pasukan AOI. Dengan cara halus, permintaan itu ditolak dan Komandan Seksi berjanji akan menggantinya dengan sekotak granat tangan yang bias diambil di markas Tentara Pelajar di Karanganyar. Sesampai di markas, janji itu dipenuhi dan terjadilah hujan tangis. Banyak anggota TP yang gugur di medan laga sekitar desa Sidobunder.
Pertahanan Pasukan PERPIS
Pasukan pelajar Sulwesi pimpinan Maulwi Saelan mengalami keadaan serupa. Mereka terpaksa mengundurkan diri, bertempur secara individual dan tercerai berai karena kurang mengenal medan. Pos mereka yang menghadap jalan menuju Karanganyar dilengkapi senjata yang cukup kuat. Sekitar jam lima pagi, Maulwi dengan teropongnya melihat sejumlah besar tentara Belanda yang tengah bergerak di jalan antara Karang ayar dan Puring kea rah desa Sidobunder. Waktu itu seorang pelajar Timor bernama Herman Fernandez bertindak selaku penembak senapan mesin. Maulwi memerintahkan La Sinrang untuk menghubungi Anggoro agar brendgun ditarik ke depan. Beberapa saat sehabis Subuh, pecahlah kontak senjata dam hujan mortir. Dari arah Gombong terdengar dentuman meriam yang pecahan pelurunya berjatuhan di kiri dan kanan pertahanan pasukan TP.
Tiba-tiba Tajudin tertembak senjata musuh dan sempat berteriak “ BAHSAMA”. Aba-aba mundur diteriakkan dan pasukan ini tak sempat memberitahu pasukan Anggoro. La Sinrang, La Indi, Losung dan Herman Fernandez terpisah dari induk pasukannya. Setelah melewati persawahan yang tergenang air setinggi dada, mereka mencapai kebun kelapa. Di sini terjadi kontak tembak jarak dekat dengan pasukan Belanda yang datang dari arah Puring di bawah pimpinan seorang opsir.
Losung dan La Indi gugur di tempat itu karena kehabisan peluru dan tertembak. Dalam persembunyian di antara semak-semak, La Sinrang dan Herman Fernandez mendengar teriakan Losung:
“ Jangan tembak oom… peluru habis”
Terdengar suara lain, “ Cukimai Kawanua… budak Soekarno”, lalu terdengar rentetan tembakan.
Herman Fernandez kepergok seorang opsir Belanda yang berteriak:
“ God verdom zeg Ambonese. Angkat tangan…!”.
Herman Fernandez membalas teriakan: “ Inlander….”, dan terdengar senjata La Sinrang yang pelurunya tinggal sebutir menyalak, menembus dada opsir Belanda yang segera roboh.
Kedua anggota Tentara Pelajar ini lari berpencar. La Sinrang menemukan standgun yang disangka milik teman yang gugur dan membuang senjata laras panjangnya karena habis peluru. Tiba-tiba dari arah Puring muncul anggota pasukan Belanda lainnya yang berteriak: “ Angkat tangan…. “.
Setelah mengetahui senjata di tangannya juga tanpa peluru, La Sinrang membalas dengan teriakan lain” Tak ada peluru…”. Meski dihujani tembakan oleh tentara Belanda itu, terjadi keanehan. Tak ada satu pelurupun yang mengenai tubuhnya. Melihat kejadian itu, salah satu tentara Belanda mendekat dan memukul tubuh La Sinrang. Ia jatuh dan segera diikat. Diseret menyeberang sungai dan dibawa truk menuju Gombong. Kejadian ini disaksikan oleh beberapa orang penduduk yang diantaranya adalah Rasikun alias Ana mat Mu’sin, Kepala Desa Sidobunder saat ini (sekitar tahun 1984 – penyunting ).
La Sinrang pertama kali ditahan di bagian belakang bersama anggota BPRI (barisan Pemberontak RI) dan ALRI Sumpyuh.
Seorang juru rawat putri yang mengobati lukanya pernah bertanya kepada La Sinrang: “ Bung dari TP ? “ yang dijawab “ Ya…”. Kemudian juru rawat itu meneruskan, “ nanti saya akan obati bung.. keluarga saya ada di Jogja”.
Pemeriksaan oleh Tentara Belanda
Setelah lukanya membaik, La Sinrang segera diinterograsi :
“ apakah anda kenal (Herman) Fernandez..”, Tanya tentara Belanda
“ ya..” jawab La Sinrang.
Selang waktu sekitar dua minggu, La Sinrang dipindahkan ke tempat tahanan lain. Di situlah ia bertemu Herman Fernandez . Mereka kemudian berpelukan layaknya sahabat yang berpisah lama.
Ketika dibawa ke kantor MP (Militaire Politie/ Polisi Militer) untuk diperiksa, disaksikan oleh seorang pastor Belanda dan seorang lain yang bertugas mengambil foto, Herman Fernandez yang fasih berbahasa Belanda dan La Sinrang mendapat pukulan beberapa kali oleh anggota MP itu setelah pastor dan juru foto pergi meninggalkan tempat pemeriksaan itu. Mereka dimaki dengan kata-kata : “ Anjing Soekarno…!”.
La Sinrang ditanya: “ apa kamu yang tembak sersan NEX..?”.
“ tidak tahu.. karena pertempuran..”, jawab La Sinrang. Ia segera tahu bahwa ada empat tentara Belanda yang ditembak mati dirinya : seorang kapten Belanda dan tiga orang lainnya dari suku Ambon dan Timor.
Saat ditanyakan, “ senang mana Negara Indonesia Timur atau Jogja”, Herman Fernandez dengan lantang menjawab :
“ Kami kenal dan kami pertahankan hanya satu, Negara Republik Indonesia”. Setelah pernyataan itu, kedua anggota TP ini dipukul berkali-kali. Kemudian keduanya secara resmi dihadapkan di pengadilan militer Belanda di Gombong.
PESAN HERMAN FERNANDEZ KEPADA LA SINRANG DALAM TAWANAN TENTARA BELANDA
Herman Fernandez bercerita kepada La Sinrang bahwa dirinya disangka keras sebagai penembak Kapten NEX ( semacam wajib militer di Tentara Belanda – penyunting) karena jenis senjata yang dipegangnya (ketika ditangkap) laras panjang dan La Sinrang memegang stendgun.
“ Tapi tak mengapa.. adik (La Sinrang) jangan takut mati. Mati ditembak Belanda lebih baik dari pada mati konyol”, kata Herman Fernandez.
“ Mungkin saya tak kan hidup lama lagi. Pastor Belanda telah memberi kitab dan menyuruh saya akan segera bersembahyang”.
“Pastor pernah menawarkan pertolongan jika saya mau mengakui sangkaan itu. Tapi saya selalu menolaknya”
“Saya sering bermimpi buruk. Adik saya doakan agar tetap selamat..”
“Kalau nanti saya mati ditembak, tolong sampaikan salam kepada teman-teman dan tunangan saya yang ada di asrama Katholik Magelang”, kata Herman Fernandez dengan tabah.
Suatu malam, La Sinrang mendengar kabar bahwa Herman Fernandez dibawa pergi oleh tentara Belanda dan tidak kembali lagi. Sementara itu, dirinya dua kali dipindahkan sebagai tawanan di Sumpyuh dan Banyumas. Atas ijin Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam pemeriksaan lanjutan dan sangat menentukan, ia ditolong seorang anggota Tentara Belanda asal pulau Buton bernama Lambia yang memberi kesaksian meringankan. Akhirnya La Sinrang urung dieksekusi mati.
Pasukan Maulwi Saelan Lolos dari Lubang Jarum
Setelah mengetahui tentang kabar anak buahnya banyak yang gugur di medan laga Sidobunder dan kehabisan peluru, Maulwi Saelan mencari jalan untuk meloloskan diri dari pembantaian tentara Belanda. Karena postur tubuh dan warna kulitnya yang kuning langsat, ia berpikir dapat mengelabuhi patroli Belanda dengan cara bertelanjang dada dan mengibarkan baju di antara pematang sawah. Seolah mereka tengah mengejar gadis desa layaknya para sinyo Belanda. Taktik ini ternyata jitu.
Jam 12.45, dua anggota TP yakni Soemitro dan Wahju Widodo bertemu dua orang desa berpakaian tani yang sedang memikul usungan di jalan sebelum masuk desa Tegalsari. Ternyata yang mereka usung adalah jenasah Sorjoharjono. Selang waktu spuluh menit berikutnya, kedua anggota TP ini berpapasan dengan dua pengusung lain di desa Tegalsari. Di dalamnya terdapat tubuh Alex Rumambi yang terluka parah dengan lubang bekas tertembus peluru dan banyak sayatan di sekujur tubuh.
Sesampai di markas TP Karanganyar, Maulwi Saelan diperintahkan kembali ke desa Sidobunder untuk menemukan jenasah para pejuang. Didampingi anggota International Brigade dari India dan sejumlah anggota TP, ia berangkat. Tetapi karena situasinya masih rawan dengan sejumlah tentara Belanda yang sering berpatroli serta sawah yang tergenang air, pencarian itu ditunda sampai esok hari.
Tanggal 3 September 1947, ditemukan sejumlah jenasah pejuang yang berserakan di sawah dan pekarangan penduduk. Setelah dikumpulkan dan dibungkus dengan daun pisang, semua jenasah itu diangkut dengan usungan bambu dan dibawa ke desa Sugihwaras menggunakan perahu-perahu rakyat. Kemudian semuanya dipindahkan ke markas Karanganyar untuk disemayamkan dan menunggu kedatangan kereta api yang akan membawanya ke Jogja.
semoga perjuangan beliau-beliau tidak sia-sia dan dilupakn oleh generasi muda, jangan lah perjuangya bhanya dijadikan catatan sejarah oleh anak cucunya tetapi di jadikan semangat untuk membangun bangsa,