Pendidikan Yang Tercerabut dari Akarnya



Pendidikan dan kebudayaan ibarat dua sisi mata uang. Jika satu sisinya diabaikan, mata uang itu tak bernilai lagi. Dan itulah yang terjadi akhir-akhir ini di sekeleliling kita.

Dunia pendidikan nasional adalah indikator utama maju mundurnya suatu bangsa. Ki Hadjar Dewantara menggagas filosofi pendidikan nasional sebagai tata nilai dari ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Di depan memberi contoh, di tengah menyemangati dan di belakang memberi dorongan. Maknanya sangat jelas yaitu arah yang ingin dituju dalam menyelenggarakan pendidikan adalah menjadikan manusia Indonesia bermartabat. Dihargai setara dengan manusia lain di seluruh penjuru dunia. Khususnya dengan bangsa-bangsa yang telah maju di Eropa dan Amerika Serikat. Dan itu pula alasan para pejuang terus bergiat menyuarakan dan mewujudkan kemerdekaan bangsa.

Sejak kemerdekaan Bangsa Indonesia dikumandangkan 17 Agustus 1945, dunia pendidikan nasional memang berjalan. Beragam lembaga pendidikan baik formal maupun non formal terus bertumbuh dan berusaha menjawab dinamika perkembangan kehidupan masyarakat. Saat ini, di hampir semua  tempat ada lembaga pendidikan setidaknya untuk tingkat dasar. Bahkan ada upaya  dari kalangan muda yang sangat patriotik dan berwawasan ke depan melalui program Indonesia mengajar (lihat di : https://indonesiamengajar.org/ ) yang digagas oleh ilmuwan dan Rektor Universitas Paramadina Jakarta serta mantan aktivis kampus, Dr. Anis Baswedan. Beliau mengaku dekat dan terinspirasi oleh upaya mantan anggota Tentara Pelajar (TP) yang juga Rektor Universitas Gadjahmada Yogyakarta, Prof. Dr. Kusnadi Hardjasumantri,SH yang telah mengawali program PTM (Pengerahan Tenaga Mahasiswa) dalam upaya mengatasi kesenjangan pendidikan di tingkat SMA khususnya di luar Pulau Jawa.  



Sebagai pribadi yang pernah mengenal Pakde Kus, panggilan akrab Prof. Kusnadi, saya memang tidak begitu dekat dengan beliau. Tetapi pada satu kesempatan diskusi antar generasi yang digagas oleh Persatuan Keluarga Besar  Pelajar Pejuang Kemedekaan (PKBPPK) di Wisma Fadel Jakarta setelah perayaan hari Kemederkaan RI ke 45 di Istora Senayan sehari sebelumnya yang sangat akbar itu, saya menanyakan tentang arah yang ingin dicapai dari reuni atau pembentukan organisasi/ paguyuban ex TP. Dengan nada khas, beliau menjawab pertanyaan itu bahwa reuni adalah hak kami (anggota ex TP/PPK). Soal regenerasi adalah proses alamiah yang memerlukan inisiatif bersama dan bukan masalah kontekstual semacam KKN sekarang. Meski sangat kecewa, saya dapat memahami makna jawaban itu.

PTM dan Indonesia Mengajar adalah inisiatif warga bangsa yang sadar dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan gagasan Ki Hadjar Dewantara yakni manusia Indonesia yang cerdas dan bermartabat. Memacu kecerdasan tanpa fondasi budaya yang kokoh berakibat manusia kehilangan jati dirinya sebagai mahluk sosial dan berderajat tertinggi di antara semua mahluk ciptaan Sang Khalik. Kondisi inilah yang tengah berlangsung di dunia pendidikan nasional Indonesia di semua tingkatan. Pendidikan yang tercerabut dari akarnya yaitu kebudayaan.

Mari kita cermati realita kehidupan yang ada di sekitar. Lembaga pendidikan formal hanya mengejar angka kredit agar dapat mencapai predikat tertinggi dengan segala cara. Peserta didik dicekoki dengan beragam materi pengetahuan dengan jadwal pertemuan yang sangat ketat. Program full day school mendadak jadi popular dan trend setter. RSBI (Rancangan Sekolah Berbasis Internasional) seolah jadi barometer kemajuan tanpa memedulikan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Yang penting berlabel go international dan menerapkan perbanyakan materi berbahasa Inggris. Biar lengkap, setiap peserta didik harus memiliki laptop atau notebook seperti yang terlihat di negara-negara maju. Internet adalah satu referensi penting dalam mengisi materi di kelas. Tapi, semua bentuk penonjolan "keunggulan" itu hanya artifisial. Mereka kemudian menjadi asyik dengan diri dan komunitas kecilnya. Tak heran menjadikan pola pikir dan terutama pola tindak cenderung terkotak di sekitarnya saja. Dunia yang begitu luas ini seolah dapat dieliminasi dengan kotak itu.

Kebiasaan meng-copy paste atau klik kanan seolah menjadi hal yang tak perlu dirisaukan dampak negatifnya bagi perkembangan otak dan kepribadian peserta didik. Ditambah dengan gaya hidup orientatif sempit (sekadar menonjolkan bentuk dan melupakan isi), generasi muda Indonesia saat ini cenderung manja, cengeng, acuh dan pragmatis. Tak perlu bersusah payah memahami etika untuk disebut “bermartabat”. Apalagi memahami budaya nasional yang terlanjur dikesankan hanya menonjolkan sisi artefaknya. Sementara itu, nilai kearifan yang ada di dalam budaya biarlah diurus oleh para budayawan. Tanpa mengenal budaya nasional atau lokal, orientasi  peserta didik adalah mengisi dunia kerja dengan bekal sertifikat formal. Akibatnya, semakin hari kian banyak orang bangga dengan gelar atau sebutan formal dari pada menghargai jerih payah orang lain yang meniti perjalanan hidupnya satu demi satu tangga. Toh dengan cara instan dan berbayar semua hal dapat diselesaikan. Dan… inilah buah karya Rafles dalam karya sastra Bambang Oeban “Tembang Negeri Terjajah”. Kemana hilangnya makna kemerdekaan yang diperjuangkan anak-anak bangsa dan bukan pemberian bangsa asing itu ???

This entry was posted in ,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply