PELAJAR PEJUANG MASUK KOTA SEMARANG
Perang kemerdekaan telah dinyatakan usai dengan adanya
perundingan damai Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah Belanda dan
Indonesia yang lebih dikenal dengan Perjanjian Roem Rooyen. Karena dua
tokoh utama yang menandatanginya adalah Mr. Moch. Roem (Indonesia) dan van
Rooyen (Belanda). Hal ini dilakukan di kedua Negara, Indonesia dan
Belanda. Serah terima pemerintahan ditandai dengan penarikan pasukan Belanda di
kota-kota besar. Termasuk di dalam perjanjian itu adalah pelepasan para
pemimpin pemerintah RI yang ditawan oleh Belanda. Gencatan senjata berlaku
sejak 11 Agustus 1949 secara menyeluruh. Di Solo, di bawah komando
Letkol Slamet Riyadi melakukan Serangan Perpisahan selama 4 hari
dari tanggal 7 sampai 10 Agustus 1949.
Di Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam menyiapkan kembalinya Pemerintah RI
memerintahkan gencatan senjata sejak 14 Juni 1949. Penarikan mundur pasukan
Belanda dari Ibukota RI itu telah dimulai sejak 1 Juni 1949. Presiden Ir.
Soekarno dan Wakilnya Moch. Hatta kembali ke Yogyakarta 6 Juli 1949. Selama masa gencatan senjata, pasukan TP tetap
siaga sampai ada perintah untuk meninggalkan pos gerilyanya.
November 1949 serdadu Belanda telah ditarik mundur
dari Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Banyumas, Pekalongan dan Pati ke Semarang dan
Salatiga. Berdasarkan pengalaman perang gerilya yang dilandasi oleh loyalitas
dan dedikasi tinggi, perintah masuk dan menerima penyerahan kota Semarang oleh
Gubernur Milliter dan Panglima Divisi II Gatot Subroto dilaksanakan dengan
patuh oleh pasukan Tentara Pelajar dari berbagai wilayah di Jawa Tengah. Dalam
melaksanakan perintah itu, tidak seluruh kekuatan dikerahkan. Ada sebagian yang
tetap tinggal di pos masing-masing. Bebarapa induk pasukan seperti Corps
Mahasiswa (CM), Tentara Geni Pelajar (TGP) dan Mobilisasi Pelajar (Mobpel) bahkan
tidak mengirimkan pasukannya.
Pasukan Tentara Pelajar yang masuk kota Semarang
adalah dari Detasemen II (Solo, 2 kompi) yakni Kompi Prakoso dan Marwoto. Kompi
Marwoto selain dari TP Solo, juga ada angota yang berasal dari seks-seksi :
Purwokerto, Wonosobo, Pekalongan, Semarang dan Pati. Dari TP SA (Strum Abteilung) dibawah komando Muktio, dan dari Detasemen III
Yogyakarta dibawah pimpinan Mustafa Supangat. Pasukan TP Yogya ini terdiri dari
TP Yogya sendiri ditambah seksi-seksi: Gombong dan Magelang. Mereka berangkat dengan
cara berjalan kaki melawati bukit dan gunung 6 Desember 1949 sampai di
Mranggeng 12 Desember 1949. Pasukan TP Detasemen II dan SA diberangkatkan 21
Desember 1949.
Sementara itu, pertahanan kota Semarang dibagi menjadi
4 sektor yaitu I di bagian Utara, II di Timur, III di Selatan dan IV di bagian
Barat. Kompi Muktio (TP SA) ditempatkan di Sektor I; Kompi Mustafa Supangat di
Sektor II, Kompi Prakoso di Sektor III dan Kompi Marwoto di Sektor IV. Karena
merasa senasib – sepenanggungan, pasukan TP saling akrab dan mudah menyatu
dengan rakyat. Apalagi pasukan TP mendului kedatangan pasukan TNI regular.
Tanggal 26 Desember 1949, pasukan TP dari semua sektor
mulai menerima serah terima dari serdadu
Belanda sekitar jam 17.00. Semua pos vital dan strategis ditempati bersama
antara TP dan Belanda. Seperti pos pelabuhan, kilang minyak, listrik, air minum
dan sebagainya. Pada jam 00.00 tanggal 27 Desember 1949, semua serdadu Belanda
ditarik keluar dan digantikan sepenuhnya oleh pasukan TP di pos-pos vital dan
strategis itu. Peran pasukan TP selain menjaga keamanan dengan cara berpatroli,
juga melakukan tugas di pos polisi militer bersama Militaire Politie (MP) Belanda.
Meski berada di tempat sama, ketegangan antara anggota pasukan TP dan MP
Belanda sesekali terjadi dalam skala kecil. Biasanya, insiden terjadi karena
anggota pasukan TP memiliki sikap teguh menjaga harga diri sebagai bangsa
merdeka dan dalam rentang usia yang relatif masih muda. Dari beradu mulut
sampai perkelahian satu lawan satu memang sulit dihindari.