SukaRelawan PMI Dari Jaman ke Jaman


Kata relawan tak dikenal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam jaringan). Yang ada hanya su-ka-rela-wan yakni orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan). Kata ini kian banyak digunakan pasca reformasi dengan munculnya beragam kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan sebagian aktivitas serupa dengan Perhimpunan Nasional (national society) Kepalangmerahan di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama singkat PMI (Palang Merah Indonesia). Sebagian dari kelompok itu memilih sisi manfaat dari pada formalitas. Ada banyak nama yang muncul dan berkibar di saat terjadi bencana alam utamanya. Satu diantaranya menyebut diri sebagai Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang konon telah mendapat legalitas dari Kementerian Hukum dan HAM RI sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat. Untuk hal terakhir, tidak akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini.

Sejak Henry Dunant membentuk perhimpunan para penolong kemanusiaan bagi korban konflik bersenjata khususnya yang kemudian lebih dikenal sebagai Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, banyak gagasan dan langkah-langkahnya yang diadopsi oleh para aktivis dan pejuang hak asasi manusia di berbagai penjuru dunia. Apa yang menjadi landasan utama perjuangan mereka ? Hanya satu kata: merdeka ! meski dinyatakan dengan sebutan lain semisal persamaan hak dan sebagainya.  Dan untuk kata yang satu itu, Indonesia yang kita kenal sekarang ini ada.

Dalam proses perjuangan Indonesia mencapai derajat sebagai bangsa yang merdeka, suka-relawan Palang Merah berperan aktif di dalamnya. Ada sebutan lain yang digunakan sebagai pengganti istilah sukarelawan yaitu anggota atau petugas. Sebagian besar adalah perempuan karena yang lelaki lebih berperan sebagai kombatan (pasukan tempur atau laskar perjuangan bersenjata). Dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45 (Grasindo, 1995) banyak kita dapati kisah nyata para sukarelawan PMI dalam beragam gaya bahasa dan suasana. Tetapi sulit dipisahkan dari profesi dokter, perawat dan rumah sakit.

Satu kisah yang cukup menarik adalah penuturan Anneke yang anak Bupati Cianjur dan selalu memilih ikut republik. Ringkasan ceritanya, dalam mengangkut tawanan perang dan peti senjata, Anneke adalah mahasiswi kedokteran yang diberi tugas oleh komandan pasukan republik (sekarang TNI), Mayor Suroto Kunto, untuk mengawal dan menyerahkan tawanan perang kepada Komite Internasional Palang Merah (International Committee of Red Cross) tahun 1946 karena kemampuan bahasa Belanda dan Perancis dinilai fasih. Para tawanan itu kebanyakan manula dan anak-anak, orang Belanda dan indo Belanda, yang telah lama ditahan oleh bala tentara Jepang. Selama perjalanan dari Purwakarta ke Manggarai Jakarta yang cukup lama dengan kereta api berbahan bakar kayu itu, sempat terjadi dialog yang menjadi kunci jawaban mengapa ia bergabung dengan laskar perjuangan.
Perawat..kemana kami akan dibawa?  Apa anda seorang ekstrimis, saya harap bukan”, kata seorang tawanan dalam bahasa Belanda.
Anneke menjawab ” Kita akan ke Batavia dan saya berjuang untuk kemerdekaan tanah air saya”.

Dari kata ekstrimis yang digaris-bawahi dan tebal kita tahu bahwa para pejuang kemerdekaan dituduh sebagai ”orang jahat” oleh warga bangsa penjajah yang mungkin mereka hanya pegawai rendahan atau kacung. Kata itu setara dengan sebutan teroris saat ini. Betapa hina dinanya manusia yang dijajah baik oleh orang asing, apalagi bangsa sendiri. Perlakuan seperti itu mirip dengan pemberian istilah rombongan liar bagi sukarelawan PMI berdedikasi yang menyebut diri sebagai Relawan Palangmerah Indonesia (RPI).

Militansi suka-relawan PMI telah terbentuk sejak jaman penjajahan dan terus dipelihara oleh para pelaku yang mendedikasikan dirinya bagi tujuan organisasi. Artinya, kesetiaan mereka tidak pada orang, tapi pada tujuan PMI. Karena itu, ketika ”para orang” yang berada di jajaran formal organisasi tak lagi mampu membawa PMI menuju tujuannya sebagai Perhimpunan Nasional yang melaksanakan mandat Negara Kesatuan Republik dan sebagai anggota Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah  yang bekerja menurut 7 Prinsip Dasar, maka suka-relawan tergerak nuraninya untuk segera bergerak melaksanakan kedua mandat itu.

Pergerakan suka-relawan PMI mengawal perjalanan #RUUKepalangmerahan sebenarnya alamiah. Suasana yang serba tak jelas dan tak lagi mengindahkan adab karena ingin menghapus jejak sejarah tentu saja tak mungkin dibiarkan sampai kapanpun serta dengan risiko apapun. Kesetiaan pada tujuan membuat pergerakan ini sangat fleksibel tak akan kehilangan gregetnya. Semua suka-relawan dapat menjadi pemimpin sebagaimana sering terjadi di lapangan. Mati satu tumbuh seribu dan seterusnya. 

This entry was posted in ,,,,,. Bookmark the permalink.

2 Responses to SukaRelawan PMI Dari Jaman ke Jaman

  1. Ikhlas , tenggang rasa ,........mensyukuri Nikmat Illahi ...
    ...lebih baik menolong dari pada ditolong ......selamat berjuang dengan amal yang luhur.....!

  2. Unknown says:

    Amien...Insya Allah begitu yang terjadi. SukaRelawan PMI pada umumnya telah lebih dulu menanam benih kemanusiaan, baru organisasinya. Di lapangan, mereka (selalu) bekerja dalam tim kompak. Terima kasih atas apresiasi dan dorongannya.

Leave a Reply