Sekapur sirih
Pelajar Indonesia pernah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsanya. Saat itu, menjelang setahun usia Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, sejumlah pegiat Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) membentuk Bagian Pertahanan yang kemudian lebih dikenal dengan nama Tentara Pelajar (untuk pelajar umum dan sebagian besar bergerak di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera dan sejumlah kantong perjuangan yang merupakan wilayah cukup aman dari penguasaan tentara penjajah). Sementara itu, di Jawa Timur muncul dengan nama Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Di sebagian wilayah sekitar Karesidenan Semarang muncul nama Student Army (SA) atau Corps Student Army (CSA) dalam satu wadah bernama SA/CSA. Yang tak kalah hebat adalah para pelajar dari sekolah teknik yang membentuk Tentara Genie Pelajar (TGP) yang tentunya memiliki kemampuan khusus di bidang teknis persenjataan, bangunan, mesin dan lain-lain. Ada juga nama Tentara Pelajar Siliwangi yang semula aktif bergerak di sekitar Jawa Barat, karena terkepung, mereka masuk ke wilayah Jawa Tengah dan Timur serta bergabung dengan unit-unit pertahanan pelajar setempat. Karena suasana kehidupan yang tak menentu saat itu, terutama keterbatasan sarana komunikasi, ada beberapa bagian wilayah yang membentuk kesatuan-kesatuan aksi melawan penjajah. Misalnya di Banyumas dan sekitarnya muncul sebutan Mas TePe serta IMAM (Indonesia Idup Atau Mati/ IMAM).
Banyaknya nama yang muncul dari kesatuan perjuangan para pelajar itu memberi petunjuk kuat bahwa keikutsertaan mereka dalam upaya menegakkan Proklamasi Kemedekaan bangsanya adalah panggilan jiwa yang mendorong kesadaran dan mewujudkan dalam tindakan nyata. Kesadaran kaum terdidik atas nasib bangsa yang kembali dijajah oleh bangsa atau persekutuan sejumlah bangsa. Tanpa landasan kesadaran pentingnya bela bangsa/ Negara (patriotisme) bisa kita bayangkan betapa lebih beratnya nasib bangsa, Negara dan masyarakat Indonesia saat ini. Tidak ada kebanggaan dan harga diri selaku manusia merdeka yang jadi fitrah manusia. Hanya dengan kesadaran dan usaha bersungguh-sungguh memaknai kemerdekaan itu, keadilan dan kesejahteraan dapat diwujudkan. Tentara Pelajar telah membuktikan dalam kiprahnya selama sekitar 4,5 tahun sejak Juni 1946 sampai dengan akhir Desember 1949.
Markas Darurat di Front Barat
Entah sebab apa disebut Front Barat, daerah sekitar Karanganyar dan Gombong di wilayah Kabupaten Kebumen Jawa Tengah ini disebut demikian. Menurut seorang tokoh perjuangan setempat, almarhum Bapak Achmad Dimjatie yang mantan petinggi Peta (Pembela Tanah Air) dan BKR/TKR (Badan Keamanan Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat) serta KODM (Kodim sekarang-pen) Kebumen, Gombong adalah salah satu pusat kekuatan militer tentara penjajah Belanda di Pulau Jawa yang ada di sekitar Benteng Van Der Wijck. Di sana, segala sarana dan kegiatan penunjang kekuatan itu tersedia. Sementara itu, Karanganyar saat itu adalah pusat pemerintahan Republik Indonesia. Keduanya bernilai strategis. Hal ini dikuatkan oleh almarhumah Ibu Atiatoen yang selain adik kandung juga utusan utama Staf Putri Markas Pusat (Tentara) Pelajar Yogyakarta di Kebumen.
Karena alasan itulah yang secara akal sehat mendorong para pimpinan Tentara Pelajar mengadakan Markas Darurat di Kebumen. Bertempat di rumah dinas kapandhitan Gereja Kristen Jawa di Jalan Stasiun (kini Jalan Pemuda) dan aula sebagai asrama. Markas dipimpin oleh mas Moedojo (baca Mudoyo), mahasiswa HESP UGM dan mas Tjiptardjo (baca: Ciptarjo) yang siswa SMA (III) Kotabaru. Sosok Moedojo yang pendiam dan cerdas tak banyak diceritakan oleh tiga orang staf putrinya: Atiatoen, Umi Wasilah dan Rasini (semua siswa Sekolah Guru Putri atau SGP/SGA Jetis Yogyakarta asal Kebumen dan sudah almarhumah). Bersama Suprapti dan Umiyatun (adik kandung bapak Martono, Komandan Batalyon 300 Tentara Pelajar) mendukung kegiatan Markas Darurat di Dapur Umum dan kepalang-merahan. Sedikit berbeda dari mas Moedojo, mas Tjiptardjo lebih terbuka dan luwes sesuai peran selaku penghubung.
Selain markas darurat sebagai pusat komando pasukan Tentara Pelajar di lapangan, di Kebumen ada juga markas Tentara Pelajar Kebumen yang berlokasi di Kauman (sekarang jadi lokasi SMP Muhammadiyah I) dan Tentera Genie Pelajar (TGP) di Sekolah Teknik (sekarang SMPN 7/ Spenven) Kebumen. Markas Kauman dipimpipn oleh Sadar dan Samijo (baca Samiyo). Sedangkan untuk TGP, semua sumber yang berhasil dihimpun penulis tak pernah menyebut nama pasti meski salah satu anggotanya adalah saudara kandung Bapak Achmad Dimjatie (baca: Ahmad Dimyati dan Ibu Atiatoen (baca: Atiatun) yakni Bapak Affandi yang lebih dikenal dengan panggilan Pandi gondhek karena tubuhnya yang mungil. Hanya ada sedikit penuturan bahwa siswa Sekolah Teknik kebanyakan dari luar Kebumen. Bahkan cukup banyak siswanya yang berasal dari Ambon, Kalimantan dan Flores.
Penugasan di Markas Darurat Kebumen adalah kali ke dua bagi Ibu Atiatoen sepanjang dirinya bergabung dengan Tentara Pelajar. Tugas pertama dilakukan beberapa hari setelah mengikuti latihan dasar kemiliteran di MA Kotabaru Yogyakarta. Yakni mengirim logistik berupa bahan makanan (dendeng, ikan asin dan sebagainya) serta beragam obat untuk korban peperangan pada Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Bersama rekan satu sekolah dan asrama, Sri Hartini, serta didukung sepasukan Tentara Pelajar dibawah komando Purbatin, rombongan kecil ini ditempatkan di asrama SGB Katholik di Mojoagung Mojokerto Jawa Timur. Ternyata asrama yang sangat luas itu telah diubah sebagai Rumah Sakit Darurat Palang Merah Indonesia. Penugasan sepanjang satu minggu di waktu libur kenaikan kelas tersebut menjadi kenangan khusus bagi almarhumah Ibu Atiatoen.
Sama dengan yang pertama, tugas ke dua di markas darurat Tentara Pelajar Yogyakarta di kampung halaman, Kebumen, dilakukan pada waktu libur kenaikan kelas II sekitar akhir Juli 1947. Berbekal surat tugas dari Kepala Staf Putri, mbak Daruni yang siswi SMA Kotabaru Bagian C, Ibu Atiatoen mengajak serta teman-teman satu asrama/sekolahnya. Ibu Oemijatoen adalah anggota tertua dan kakak kelas. Disusul Ibu Rasini yang masih kerabat dari Meles Karanganyar. Dua teman seangkatan adalah Suprapti yang rumahnya tak jauh dari markas (kabar terakhir adalah pensiun guru SMA di Malang Jawa Timur) dan Oemi Wasilah (pensiun guru/ Kepala SDN V Kebumen).
Kisah-kisah di Balik Peristiwa
Pertempuran Front Barat
I. Mengenang Pertempuran Sidobunder 2 September 1947 Oleh: Djokowoerjo Sastradipraja; Prof. Dr; drh;
II. Pengalaman Pertempuran di Sidobunder 2 September 1947 Oleh: Imam Soekotjo
III. Palagan Sidobunder oleh Istopo Sebul.
totowirjosoemarto.webs.com