Makalah: Prof.Dr. Achmad Mubarok MA
pada Seminar Kridatama Kabupaten Kebumen, Rabu, 30 Agustus 2005
Pengantar Topik:
Saya datang mewakili Paguyuban 3-17 (Tentara Pelajar). Saat itu, Bupatinya masih dijabat Rustriningsih yang sekarang jadi wagub Jateng.
Ada satu catatan kecil yang sejak awal perlu digarisbawahi. Bahwa ide dalam makalah ini sarat kepentingan politik dibanding ideologis. Meski demikian, ada hal menarik yang menurut pandangan saya perlu dipublikasikan baik sekadar informasi maupun referensi.
Karena makalah ini cukup panjang, maka topik akan saya penggal sesuai sub judul jadi enam bagian. Semua disadur ulang tanpa perubahan/ penyuntingan.
Bagian I : Pendahuluan dan Menengok Guntingan Sejarah Masa lalu Kita
Bagian II: Belajar dari Kesalahan.
Bagian III : Reformasi yang Kebablasan
Bagian IV: Kekeliruan Bidang Pendidikan
Bagian V: Diagnosis Politik dan Krisis Mutakhir
Bagian VI: Gagasan Kridatama Kebumen
Bagian I: Pendahuluan
Menurut sosiolog Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh munculnya tiga generasi. Generasi Pendobrak, Generasi Pembangun dan Generasi Penikmat. Jika pada bangsa ini sudah muncul banyak generasi penikmat, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan menurun kejayaannya, dan tiga generasi itu muncul dalam rentang waktu minimal satu abad. Jika teori ini kita gunakan untuk menganalisis bangsa Indonesia, maka hati kita menjadi miris, karena usia negeri kita baru setengah abad lebih, ketika satu dua generasi pendobrak masih ada yang hidup, ketika generasi pembangun masih sibuk bongkar pasang, sudah muncul begitu banyak generasi penikmat, yaitu mereka yang hanya berfikir bagaimana menikmati pembangunan tanpa berfikir membangun dan lebih sedih lagi ternyata generasi penikmat itu kebanyakan orang berdasi dan bertitel. Atau tepat sekali lirik lagu pop yang berbunyi: ADA APA DENGAN MUUU?
Realita ini bermakna bahwa jangan-jangan bangsa Indonesia tak akan pernah mengalami kejayaan, menjadi bangsa yang tak bermartabat, menjadi kuli di negeri sendiri, menjadi negeri tempat buang sampah dan menjadi negeri pengekspor tenaga babu, meski alamnya kaya, buminya subur loh jinawi, satu modal yang mestinya sangat berpeluang untuk menjadikan Indonesia makmur jibar jibur. Inilah yang membuat sebagian dari kita merasa galau dan sedih. Sebagian dari kita yang heran melihat perilaku masyarakat kita sendiri kemudian berusaha mencari jati diri, siapa sih sebenarnya kita sebagai manusia Indonesia? beginikah aslinya? atau ini karena salah pendidikan? salah ngatur? atau karena nggak ada pemimpin yang pantas memimpin?
Semiloka Kridatama Kabupaten Kebumen pada pagi hari ini menurut saya merupakan salah satu wujud kegelisahan para pemimpin lokal Kebumen melihat keadaan bangsa, sekaligus merupakan upaya pencarian jati diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Menengok Guntingan Sejarah Masa lalu Kita
1. Harus diakui bahwa kesadaran akan adanya kesatuan bangsa Indonesia justeru tumbuh akibat penjajahan Belanda. Bahkan wilayah Nusantara juga berasal dari wilayah administrasi Pemerintah penjajah Belanda. Pada masa penjajah Belanda adanya kerajaan-kerajaan di Nusantara dijadikan alat oleh Belanda untuk memelihara perpecahan.
2. Bibit nasionalisme modern Indonesia lahir di sekolah kedokteran STOVIA (Jakarta) dan NIAS (Surabaya) yang dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo. Bahkan dalam kelompok Islampun seperti Agus Salim dan HOS Cokroaminoto dan lain-lain dalam "modern national community building" tidak menunjuk konsep negeri-negeri Islam.
3. Di lapangan tumbuh kesadaran mencari jati diri, ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda seperti Yong Yava, Yong Ambon, Yong Sumatra, Yong Selebes. Juga muncul pencarian jati diri yang buka kesukuan seperti Yong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten Islam Studie Club (SISC). Dengan direkat oleh Bahasa Melayu, berbagai identitas itu menuju satu identitas kebangsaan, ditandai oleh peristiwa Sumpah Pemuda 1928.
Selanjutnya proses pembentukan jati diri Indonesia melalui semangat dialog yang sangat dinamis. Bagaimana meramu konsep negara bangsa (nation state) dengan semangat nasionalisme, bagaimana mempertemukan pemiiran para nasionalis sekuler (Sukarno, Hatta dan Syahrir) dengan para nasionalis Islam (HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim dan Mohammad Nasir), bagaimana mengadopsi sistem presidensial (Amerika) dengan sistem parlementer (Eropa Barat) berlangsung dalam proses akademik dan proses politik yang sangat ketat, melibatkan para founding father dan melahirkan kelompok-kelompok pendukung.