Belajar dari Kesalahan
Sesungguhnya ketika Dekrit 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Bung Karno di mana UUD 1945 kembali dijadikan konstitusi dan Piagam Jakarta dinyatakan menjiwai seluruh batang tubuh UUD 1945, posisi Bung Karno sangat strategis untuk membangun kembali Indonesia sebagai Negara yang berdaulat kuat dan mengajak peran serta seluruh rakyat dengan semangat gotong royong.
Tetapi Bung Karno nampaknya menyalah-pahami atau sengaja mencampur – adukkan pengertian pemerintahan yang kuat dengan kepemimpinan yang kuat. Secara sistematis, Bung Karno mengebiri sistem pemerintahan dan membawa pada kepemimpinan dirinya yang selalu diperkuat. Sistem periodik lima tahunan diubah sistem kepresidenan seumur hidup dengan MPR yang selalu sementara (MPRS dan DPRGR). Bung Karno tidak lagi merasa cukup dirinya sebagai kepala pemerintahan atau ketua badan eksekutif Negara, tetapi mengangkat dirinya menjadi “ Pemimpin Besar Revolusi”. Sistem demokrasi deiganti menjadi “Demokrasi Terpimpin”. Jati diri Bhineka Tunggal Ika digeser menjadi NASAKOM dan lain sebagainya. Politik grandiose yang menjadi obsesi Bung Karno ini menyebabkan keterpurukan politik dan ekonomi yang luar biasa dan berujung pada peristiwa G 30 S dan kejatuhan Bung Karno.
Suharto datang tepat pada waktunya. Pak Harto merupakan sosok pemimpin yang unik, kuat, cerdas, tahu diri, penampilannya lembut hamper malu-malu tetapi memiliki sikap batin yang sangat keras hampir tak kenal kompromi. Pak Harto menghela banga Indonesia keluar dari kepengapan sistem “orde baru” yang menjanjikan perbaikan. Ternyata, kesalahan Bung Karno diulangi oleh Suharto. Nampaknya Pak Harto kurang menghayati berbagai keharusan dalam sebuah bangsa modern (modern nation state) sebagaimana yang didampakan oleh para pendiri Negara ini dahulu. Pak Harto tidak memberi keteladanan dalam penerapan prinsip-prinsip good governance untuk melahirkan clean government, terbukti maraknya praktek KKN. Pak Harto juga gagal menegakkan prinsip-prinsip melindungi kebebasan sipil dan hak-hak asasi manusia, gagal menegakkan supremasi hukum dan gagal dalam mencerdaskan bangsa. Yang lebih ironis justeru banyak “mutiara” kenegaraan yang keluar dari mulut pak Harto, tetapi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Bhineka Tunggal Ika ditulis gede-gede, tetapi di lapangan gerakan penyergapan justeru semakin gencar. Penataran P4 yang sarat dengan pesan moral tinggi dilaksanakan secara nasional dan bersistem tetapi kehidupan sehari-hari di tingkat aparat pemerintahan marak dengan perilaku yang bertentangan dengan salah satu atau bahkan semua prinsip moral yang ditetapkan .UUD 1945 menyebut koperasi sebagai pilar ekonomi, tetapi di lapangan konglomerasi justeru dikedepankan.
Dampak negatip dari kegagalan keteladanan Pak Harto sangat terasa dalam pembangunan fisik ekonomi. Pak Harto berhasil membangun “jasad wadag” bangsa sebagai amanat “bangunlah badannya” tetapi pak Harto secara sadar atau tidak sadar telah menelantarkan pembangunan sisi jiwa batin bangsa, menelantarkan pesan dalam lagu kebangsaan kita, bangunlah jiwanya. Kesalahan itu pula yang menyebabkan kesamaan naik dan turunnya Pak Harto. Ketika naik ke kursi kepresidenan Pak Harto disambut gegap gempita oleh harapan rakyat dan ketika turun juga dilepas dengan gegap gempita kemarahan rakyat. Meski demikian, betapapun baik Bung Karno maupun Pak Harto tidak bias dilupakan jasanya dalam membangun keluarga bangsa Indonesia. Kejatuhan Bung Karno dan Pak Harto bukan karena jeleknya sistem kenegaraan, tetapi oleh obsesi pribadi yang subyektip dari dua BAPAK BANGSA itu. Yang justeru menyimpang dari semangat kenegaraan the modern nation state.