MENCARI KEMBALI JATIDIRI BANGSA - Bagian Akhir


Diagnose Politik

Ada diagnose politik yang berbeda-beda dalam menyikapi keterpurukan bangsa ini. Ada yang menilai bahwa akar masalah dari keterpurukan bangsa ini adalah hilangnya keadilan. Oleh karena itu terapinya adalah mendirikan Partai Keadilan.  Yang lain menilai bahwa akar masalahnya adalah hilangnya amanat dari manusia Indonesia. Oleh karena itu terapinya adalah mendirikan Partai Amanat Nasional. Yang lain lagi melihat faktor demokrasi yang tidak fair sebagai penyebab, maka didirikanlah Partai Demokrat. Yang lain lagi menilai bahwa terlepas dari apa akar masalah, yang jelas bangsa ini sedang terpuruk dam harus segera bangkit. Oleh karena itu terapinya adalah mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Yang lain lagi menilai bahwa  krisis ini disebabkan karena orang melupakan Tuhan, maka terapi yang ditawarkan adalah Zikir Akbar dan istigahtsah di mana-mana.
Terlepas dari argument politik di atas, memang amanah merupakan kunci problem solving bangsa. Hilangnya trust adalah karena hilangnya sifat amanah dari para pelaku kebijakan. Mencermati praktik pilkada di mana-mana hamper tidak ada pihak yang bias dipercaya, semuanya main kotor, menjegal kandidat dengan mencari-cari kesalahan. Jika kalah tidak langsung mengakui kemenangan competitor dan praktik akal-akalan di mana-mana. Sunguh biaya ketidak-jujuran itu luat biasa besarnya harus ditanggung oleh bangsa.

Krisis Mutakhir

Negara2 tetangga yang terkena krisis bersama kita tahun 1997 semuanya sudah bias keluar, tetapi kita justru berada di persimpangan jalan. Kini hampir tidak ada teori yang bias digunakan untuk memandu penyelesaian masalah. Kebebasan yang semestinya menyenangkan sekarang malah menyiksa. Setiap ganti presiden timbul harapan besar, tetapi baru 100hari  suara sumbang sudah bersliweran. Semua upaya problem solving malah menjadi troble maker. Meski demikian, belajar kepada sejarah, sebenarnya ada akar masalah utama dari negeri ini yaitu krisis kepemimpinan. Kita sedang tidak mempunyai pemimpin besar, padahal bangsa Indonesia memiliki sifat paternalis yang mengikuti apapun perilaku pemimpin. Jika pemimpinnya benar, rakyat ikut, jika pemimpinnya menyimpang, anak buahnya menyimpang lebih jauh lagi.
Pemimpin besar adalah orang yang perhatiannya jauh menembus ruang dan waktu. Ia menduduku jabatan hanya hingga 2009, tetapi yang dipikirkan hingga abad ke depan. Ruang kerjanya hanya 50m2. Tetapi yang dipikirkan seluruh wilayah Indonesia. Sekarang, kebanyakan pemimpin kita hanya untuk lima tahun (2009) dan jika sudah duduk di kursi perhatiannya hanya pada bagaimana memperpanjang waktu duduk di kursi itu. Inilah problem kita.

Catatan Saya

Dari beragam argumentasi dan contoh yang dipaparkan dalam makalah ini, banyak hal yang dapat kita petik sebagai pelajaran :
1.      Bahwa sesunggunya masih banyak warga masyarakat terdidik di Indonesia yang memiki kejernihan pikiran dalam mendalami masalah kebangsaan kita bagi secara parsial maupun integratif.
2.      Kejernihan pikiran muncul dari pemahaman dan pendalaman materi yang dilandasi semangat rela berkorban bagi sesama.
3.      Karena itu, munculnya gagasan Kridatama yang rancangannya sangat mirip, kalau tidak bisa disebut salin-tempel (copy – paste)  dengan penjabaran butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan versi dan kapasitas lokal Kebumen, sengaja tidak ditampilkan sebagai bagian akhir makalah di atas.
4.      Sehingga, gagasan Kridatama Kabupaten Kebumen yang sejak semula ditengara sebagai proyek politik menghamburkan APBD terbukti berakhir di meja panelis tanpa disertai pertanggung-jawaban moral dan intelektual pada penggagasnya.
5.      Bahwa sesungguhnya catatan ini subyektif karena kesulitan memperoleh data pembanding.    

This entry was posted in . Bookmark the permalink.

Leave a Reply