Kualitas manusia ditentukan oleh dua hal, yaitu genetika (keturunan) dan oleh pendidikan. Tetapi system pendidikan nasional kita banyak sekali kelemahannya, antara lain:
a. Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
b. Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bias memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
c. Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
d. Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global.
e. Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak asasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde baru, guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa. Tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapa Rp 400.000,-/ siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliyah hanya Rp 4.000,-/siswa/tahun.
f. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
g. Sentralisasi pendidikan menyebabkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
h. Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika.
i. Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotism yang dipaksakan yakni melalui P4 dan PMP, terlelu kering hingga kontra produktip.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional itu sekarang telah melahirkan buahnya yang sangat pahit yakni:
1. Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinatif idealistic.
2. Angkatan kerja tidak bias berkompetisi dalam lapangan kerja global.
3. Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatip.
4. Pelaku ekonomi tak siap bermain fair.
5. Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkhi.
6. Sumber daya alam (terutama hutan) yang rusak parah.
7. Cendekiawan yang hipokrit.
8. Hutang luar negeri tak tertanggungkan.
9. Meraja-lelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya, antara lain dengan bangga menyandang gelar akademik palsu.
10. Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dana pusat, bupati daerah plus mengahmbur-hamburkan untuk hal-hal yang tidak strategis.