Mengenang Pertempuran Sidobunder 2 September 1947 - Bagian I Oleh: Djokowoerjo Sastradipraja; Prof. Dr; drh;



Pengantar

Pertempuran Sidobunder tercatat sebagai salah satu pengalaman kontak senjata dengan Belanda yang meminta korban anggota Tentara Pelajar Yogyakarta. Kisah pertempuran ini dimuat dalam buku “ Peran Pelajar dalam Perang Kemerdekaan” diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata R.I, cetakan I 1985. Meski sudah didokumentasikan secara formal terasa bahwa banyak kejadian rinci yang belum terungkap dan karena itu dari para pelaku yang saat ini masih dalam keadaan sehat jiwa raga atas berkat karunia Tuhan Yang Mahaesa diharapkan dapat mengumpulkan memoir tertulis guna melengkapi dokumentasi mengenai partisipasi pelajar dalam perjuangan fisik.  (biografi beliau saya kumpulkan di bagian lain – Toto Karyanto).

Menempati Posisi Pertahanan di Sidobunder

Seksi kami mendapat tugas menggantikan Seksi Soedewo di front.  Menjelang akhir bulan Agustus pasukan pindah dari Kebumen naik kereta api ke Karanganyar dan menginap semalam di beberapa rumah sebelah Timur alun-alun Kabupaten yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Sore hari saya mandi di kompleks nDalem Kabupaten dan sempat melihat-lihat sekeliling kabupaten serta alun-alun itu. Pada saat di Karangayar itu baru saya ketahui bahwa kedudukan front kami adalah di Selatan yaitu di desa Sugihwaras yang jauhnya sekitar 10km dari kota.
Dari anggota TP kompi 320 yang ada di Karanganyar hanyalah komandan kompi dan stafnya saja. Sedangkan Seksi Soedewo ada di Sugihwaras. Pimpinan kompi dan staf menceritakan bahwa Karanganyar pernah diserang oleh Belanda sampai di sebelah Barat alun-alun dan sempat terjadi kontak senjata sebelum musuh mundur kembali kea rah Gombong. Esok harinya, pagi-pagi sekitar pukul 6, seksi kami telah berangkat kea rah Selatan dengan terlebih dulu menyeberangi jalan kereta api di stasiun. Kebanyakan kami tidak membawa senjata karena senapan-senapan telah dibawa Soedewo yang ada di front. Gerakan pasukan tidak mengikuti barisan yang teratur, melainkan masing-masing berjalan sendiri-sendiri ayau bergerombol sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Seperti halnya juga di Kotabaru, Wates atau Kebumen, koleksi nyanyian kami tidak hanya lagu perjuangan, tetapi juga lagu-lagu asing seperti “ My bonny is over the ocean” dll. Malahan di antara nyanyian yang dinyanyikan itu termasuk juga nyanyian Belanda yang sewaktu jaman penjajahab kami pelajari dari buku “Kunt je nog zingen, zing dan mee”. Kedengarannya aneh, tetapi mengingat bahwa cukup banyak di antara kami itu dulu mengecap pendidikan Sekolah Dasar HIS atau ELS, dan di antara kamipun kadang-kadang melakukan percakapan antara sesame dengan bahasa Belanda. Jago penggembira nyanyi adalah Djokonomo. Dalam gerakan itu sama sekali tidak tercermin rasa takut dan semuanya terasa aman-aman saja meskipun kami melihat kea rah Barat dan membayangkan bahwa di sana sudah daerah yang dikuasai Belanda. Rakyat yang kami jumpai nampaknya seperti hidup dalam suasana damai saja. Dan dari mereka diperoleh informasi bahwa tidak ada Belanda saat itu di daerah mereka. Seingat saya tanggal itu adalah 29 Agustus (1947-pen).
Seksi Anggoro sampai di kediaman Pak Lurah Sugihwaras sekitar pukul 11 siang. Seksi Soedewo yang akan kami gantikan sebagian sudah siap tetapi sebagian lainnya masih belum kembali dari patrol. Sambil berbincang-bincang dan mendengarkan pengalaman anggota Seksi 322 tentang tugas di front ini, kami menikmati pembagian nasi bungkus (dengan daun pisang), santapan siang yang lauknya daging kambing gulai dengan kuahnya. Menu ini ternyata sama setiap siang dan petang. Kami selalu mendapat kiriman bungkusan ini (tentunya dari dapur umum) yang dibawa oleh “tobang” dalam keranjang besar. Kami yang baru datang tentu saja ingin tahu pengalaman serangan Belanda, kapan terjadi dan bagaimana cara melawannya. Kami juga tertarik mendengarkan bahwa pasukan Indonesia cukup banyak yaitu sejumlah kekuatan tangguh BPRI dan satu seksi pasukan India (asal tentara Inggris) yang memihak Indonesia.
Di sebelah Utara dan Timur ada pertahanan pasukan AOI (Hizbullah). Ada juga sekelompok kecil pasukan TNI di sebalah Barat. Di daerah itu juga ada seorang Jepang eks tentara Jepang yang memihak Indonesia. Ia dianggap sangat berpengalaman perang dan saya merasa aman karena pertahanan kami cukup kuat. Pak Lurah Sugihwaras sangat tinggi semangat perjuangannya yang sangat kami kagumi dan dia akrab dengan kami para pelajar pejuang. Suatu kali ia memuji pasukan India, tetapi tak lupa juga menceritakan terjadinya insiden “asmara” antara salah satu anggota pasukan itu dengan Marina gadis setempat. Pak Lurah memiliki gamelan dan saya sempat menabuh gambang dan kendang. Ridwan, penembak brend, mengomentari kemahiran saya menabuh gambang.
Sementara kami sibuk mencari ambilan oper senapan dari kawan-kawan yang digantikan. Saya memperoleh senapan karaben laras pendek (tanpa sangkur) tetapi tidak kebagian kantong atau sabuk peluru. Pada siang hari, yang berpatroli sudah kembali ke Sugihwaras dan menceritakan bahwa mereka sampai Karangbolong dan melihat beberapa serdadu Belanda tengah mandi di laut. Regu patroli sempat meletuskan beberapa kali tembakan dan mereka mengingatkan juga hahwa saat itu menjelang “koninginnedag” hari lahir Ratu Wilhelmina. Mereka menyarankan untuk mengganggu Belanda pada hari 31 Agustus itu. Pada sore hari, seksi 322 meninggalkan Sugihwaras kembali ke markas di Karanganyar.
Hari 30 Agustus pagi, saya bertugas ikut regu patroli sejumlah 5 – 6 orang bersama tentara Jepang tadi. Tujuannya ke Desa Sidobunder untuk memeriksa medan yang akan menjadi posisi daerah pertahanan seksi. Sewaktu berpatroli kami mendiskusikan cara berpatroli model Jepang dan Inggris. Kami kemudian memperagakan cara berpatroli India yaitu regu bergerak dalam satu kelompok, seorang yang berada di barisan terdepan menghadap lurus ke depan, diikuti anggota lain di kiri dan kanan (semacam posisi zig-zag- pen). Dan anggota yang berada di posisi paling belakang berjalan mundur menatap luruh arah belakang barisan itu. Patroli hanya sampai bagian Barat Sidobunder. Jadi hanya berjarak sekitar 2 km saja. Suasanya sepi dan kalaupun bertemu orang hanya ada laki-laki yang semunya gundul. Siang hari, kami sudah kembali ke Sugihwaras. Sore dan malam hari kami beristirahat dan berjaga di rumah pak Lurah yang dijadikan markas.
Keesokan hari, 31 Agustus pagi, kami diperkuat dengan tambahan satu regu patroli. Tetapi saya tidak ikut berpatroli. Kabarnya mereka berpatroli lebih jauh lagi ke daerah “niemandsland” dan siang sudah kembali ke markas. Pada saat itu, sekitar jam 4 sore, seluruh seksi dipindahkan mengambil posisi pertahanan di Desa Sidobunder. Penempatan juki dikelola oleh teman-teman dari Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia – Sulawesi – pen) di bagian Timur sungai dekat pos TNI regular. Brend (Ridwan) mengambil posisi di kanan menghadap arah Barat Daya. Saya dan beberapa teman bersenjatakan karaben dan standgun buatan Demak Ijo mengambil posisi sekitar markas yang letaknya di sisi Utara jalan utama. Tetapi kami sering mondar mandir menyusuri jalan utama dan menyambangi posisi regu yang memegang juki sampai ke batas desa yang menghadap arah Sugihwaras. Bersama Rinanto, saya mendapat giliran jaga malam sekitar pukul 2 – 3 pagi.
Tanggal 1 September pagi dikirim satu regu yang salah satu anggotanya adalah Poernomo. Teman ini pernah menceritakan pengalaman menolong seorang wanita yang akan melahirkan bayinya. Sejak siang sampai malam, hujan terus turun dan membuat daerah di sekitar pertahanan kami becek serta sawah-sawah terendam air cukup dalam. Kami berjaga di dalam markas dan emperan rumah-rumah penduduk. Berteduh dan menunggu teman-teman kembali dari berpatroli. Ternyata mereka baru kembali sekitar jam 9 malam dan segera menceritakan hasil pantauannya. Mereka bilang kalau pasukan India telah mundur dari posisi pertahanan awal. Juga pasukan BPRI telah meninggalkan posnya di Puring. Sehingga daerah itu sampai Karangbolong menjadi kosong pasukan pertahanan. Ada indikasi bahwa Belanda akan segera bergerak. Informasi bahwa iring-iringan pasukan Belanda telah meninggalkan Gombong ke arah Selatan sudah kami terima. Karena itu, situasi ini kami anggap cukup serius. Tetapi kami bersikap menunggu sampai pagi dan baru mengambil tindakan. Di sela suasana serius itu, ada sebagian teman yang bercanda tawa dengan kelakar khas pelajar menjelang usia dewasa. Keadaan semacam ini belum pernah terjadi dalam tugas, karena itu terasa aneh. Dan selalu ada teman yang akan mengingatkan ketika sudah berlebihan dengan ucapan “ awas mati konyol “ yang terbukti sangat mujarab.          

Pertempuran Sidobunder

Tanggal 2 September adalah hari yang ternyata amat menyedihkan bagi seksi kami. Setelah semalam suntuk diguyur hujan dan diisi dengan canda tawa untuk membunuh waktu, pagi-pagi sekali di antara tidur lelap kami, hujan peluru membangunkan dan mulai dirasakan di sebelah Timur. Dalam sekejap, semua anggota pasukan menempati posisi bertahan di tempat masing-masing. Regu kami, termasuk komandan kompi Anggoro, menempati posisi di ladang kecil seberang jalan di depan markas. Kami “stelling” menghadap arah Selatan dan Timur. Saya stelling denagn cara menelungkupkan badan dan menghadap Selatan. Iman Sukotjo ada di sebelah kanan posisi saya. Sebagai komandan, Anggoro bergerak mobil mengatur posisi dan ia mendapat laporan berbagai posisi dari anggota seksi lainnya. Saya bilang kepada Imam Sukotjo bahwa isi karaben senapan saya tinggal 2 butir. 

Ia memberi saya tambahan 5 butir peluru dengan komentar mengapa tak meminta tambahan dua hari sebelumnya di markas Karanganyar saya ada pembagian logistik. Saya tak tahu ada pembagian itu. Meskipun saat itu saya menyadari kami sudah terkepung, namun saya membayangkan bahwa kami akan mampu bertahan karena adanya senjata brend dan juki. Sambil menanti peristiwa yang akan terjadi, kami sempat berbincang tentang adanya 2 orang yang menanyakan keberadaan markas di pagi sekali karena mereka memerlukan surat jalan. Setelah kami merangkai beragam kejadian dan adanya serangan yang tengah kami hadapi saat ini, akhirnya berujug pada kesimpulan bahwa mereka adalah mata-mata musuh.
Sesaat waktu terdengar tembakan brendgun dari arah Timur yang semakin gencar dan mendekat. Pasukan Belanda mulai menghujani kami dengan tembakan mortir, tapi mengenai sisi Barat posisi kami. Sementara itu, kebun kecil yang menjadi tempat pertahanan kami luput dari sasaran tembak itu. Tembakan brendgun musuh kian mendekat dan mendapat balasan dari pasukan kami. Sesaat kemudian, terdengar tembakan gencar dari arah Barat. Saya yang semula mengira tembakan balasan berasal dari pasukan kami, sesaat kemudian muncul teman-teman dari Perpis dari arah Barat.  Mereka memberitahu kalau juki-nya macet, tak dapat dipakai untuk membalas serangan musuh. Kami sadar bahwa sebenarnya pertahanan pasukan kami telah terkepung oleh pasukan musuh. Dan suara tembakan balasan itu berasal dari brendgun Ridwan. Peluru senjata otomatis itu dirangkai menjadi rantai panjang tidak seperti bahan kain untu mitrallieur watermantel. Tapi dibentuk serupa vlinder (kupu-kupu). Saya perkiraan saat itu sekitar jam 7 pagi.
Komandan Anggoro memerintahkan kami bergerak untuk meloloskan diri dari kepungan pasukan musuh. Senapan Juki yang macet dilepas dari alat penggotongnya dan larasnya dipisahkan untuk diselamatkan. Dalam mencari jalan keluar dari kepungan musuh, ternyata pasukan kami terpecah menjadi dua rombongan. Sebagian bergerak ke arah Barat Daya dan sisanya ke Selatan. Saya mengikuti pasukan yang ke arah Selatan. Sebenarnya saya merasa janggal mengikuti pasukan yang ke Selatan karena diperkirakan posisi serangan pasukan Belanda dari arah Selatan dan Timur. Selain itu, saya tak mengenal medan itu karena tak pernah berpatroli ke arah itu. Karena sudah terlanjur mengikuti teman-teman, kami akan lihat dan rasakan perkembangan situasinya.
Kami bergerak di persawahan yang becek setelah diguyur hujan semalaman. Berjalan satu per satu di pematang sawah yang sempit itu. Seingat saya, posisi saya ada di urutan terbelakang dengan bertelanjang kaki. Sementara itu, sepatu lars pembagian justru saya gantungkan di leher. Di pundak ada tas berisi pakaian ganti. Di depan saya adalah Soepadi atau Abunandir, saya lupa hal itu. Mereka berdua adalah sahabat karib. Sesekali masih terdengar suara tembakan pasukan Belanda dari Selatan dan serpihan pelurunya jatuh di depan kami seperti suara batu-batu kecil yang berjatuhan. Saat itu saya  jadi ingat pelajaran mekanika tentang arah lintasan peluru. Dan desing peluru pasukan Belanda seperti praktikum pelajaran mekanika itu.
Tiba-tiba terdengar tembakan musuh dari depan dan jarak yang sang sangat dekat. Kami segera berpencar, bergerak maju menyeberang sungai lewat jembatan bambu dan masuk ke sawah. Saya melakukan hal sama dan ternyata telah berada di pinggir Selatan sungai itu. Sejenak saya merasa tak tahu harus berbuat apa karena serdadu Belanda telah nampak di batas sawah (Selatan) dalam jarak kurang sari 100m. Entah dari mana datangnya, Linus Djentamat dari Perpis telah berdiri membawa senapan juki kami yang macet. Segera saja saya mendekat dan ia meminta saya untuk bantu menyeberangkan juki  ke sisi Utara sungai itu. Linus lebih tua beberapa tahun dari umur saya. Secara naluriah, saya memang harus bersamanya menyelamatkan senjata itu. Peristiwa ini sangat menentukan hidup saya saat itu dan selanjutnya. Karena, dalam latihan kemiliteran yang pernah saya lakukan, selalu ditanamkan bahwa senjata itu sama nilainya dengan nyawa kita. Adalah kesalahan besar jika senjata kita sampai jatuh ke tangan musuh. Jadi, juki ini harus diselamatkan dan menjadi tugas yang sangat penting.
Saya masuk ke sungai yang airnya sebatas dada dan menerima  juki dari Linus yang kemudian saya angkat dengan kedua tangan untuk diseberangkan. Linus menyusul segara dan membawakan karaben saya. Sesampai di sisi Utara, kami bertukar senjata dan menyadari bahwa kami terpisah dari rombongan pasukan. Tak lagi sempat berpikir lebih jauh karena suara tembakan dari arah sawah terdengar semakin gencar. Linus bercerita pengalamannya 3 kali dikepung musuh. Berdasar pengalaman yang ia rasakan, pasukan Belanda tidak akan menduduki daerah yang diserang. Melainkan hanya sambil lalu, melakukan pembersihan dalam menuju pos pertahanan mereka. Ia usul agar kami bersembunyi untuk menyelamatkan juki itu. Semula saya ragu dan ingin menolak usulan Linus. Kenapa tak bertempur sampai titik darah penghabisan saja?
Agak masuk ke dalam desa, sekitar 15 m dari sungai terdapat sebuah rumah bambu menghadap ke SeLatan dengan pintu sleregan (sliding door ). Di depan rumah itu ada sebuah gubug kecil dari bilik bambu dan ternyata adalah ruangan tunggal berukuran 3 x 3m dengan pintu selregan juga yang menghadap ke rumah tadi. Linus mengajak saya memasuki gubug kecil itu. Kami mendapati bale-bale bambu sederhana di pojok Tenggara ruangan itu. Linus bilang agar kami bersembunyi di bawah kolong bale-bale. Ia masuk duluan, bertelungkup merapat ke dinding dengan juki-nya. Kepalanya menghadap ke Timur. Saya menyusul dan berbaring di sebelahnya dalam posisi berlawanan arah. Senjata karaben saya depan dalam posisi siap tembak ke arah pintu.
Tak lama berselang, desa itu dihujani peluru mortir yang semula terdengar jatuh di sisi Selatan sungai. Dan dentuman granat serta mortir berjauhan di sisi Timur, Barat dan Utara gubug. Serpihannya terdengar jatuh sangat dekat dengan posisi kami. Setelah hujan tembakan mortir mereda, terdengar suara rentetan bunyi tembakan brendgun yang kian mendekat. Sering terdengar suara pohon bambu bertumbangan dihajar oleh rentetan tembakan  peluru brendgun  itu. Sesaat kemudian terdengar suara dalam Bahasa Belanda agar kami menyerah. “ Opgeven jongens!” beberapa kali.
Pasukan Belanda nampaknya memang telah menguasai desa itu. Tapi tak ada suara mengaduh atau erang kesakitan dari teman-teman sepasukan. Kesimpulan saya, kami berdua terpisah dari pasukan. Sesaat kemudian, terdengar pasukan Belanda mendekat gubug kami di arah Selatan, Timur dan Barat dinding. Ada yang hanya berjarak setengah meter, tapi tak ada yang melintas di antara rumah dam gubug. Dari percakapan mereka, ternyata tidak semua pasukan Belanda adalah orang Belanda atau Barat. Tapi ada juga yang memakai dialek lokal atau bukan Belanda. Selang beberapa saat, terdengar pasukan Belanda menjauh dari posisi kami ke Utara dan Timur. Hal itu terdengar dari bunyi tembakan yang mereka muntahkan. Lalu suasana menjadi sangat hening. Suara kokok ayam jago menjadi suara terindah pertama yang kami dengar. Sehingga cukup lama berselang, kami tetap bertahan dalam posisi berdiam diri dan siaga.
Menjelang tengah hari, Linus mengajak saya beranjak dari tempat persembunyian. Linus menyuruh saya memeriksa keadaan di luar. Dengan menguatkan hati, saya memberanikan diri menuju rumah di depan gubug dan memeriksanya secara saksama. Ternyata rumah itu kosong dan saya segera kembali ke gubug melapor semua hal yang saya ketahui. Lalu, Linus gantian ke luar dan saya masuk kembali ke gubug untuk menjaga juki itu. Kepergian Linus cukup lama dan membuat saya menjadi was-was. Sesaat berikutnya terdengar suara orang desa itu disusul oleh suara Linus. Ia berbicara dalam Bahasa Jawa kromo. Sementara Linus memakai bahasa ngoko. Segera saja saya keluar dan bergabung dengan mereka. Penduduk desa itu adalah lelaki dewasa berkepala pelontos. Di saat itu, barulah saya tahu bahwa posisi persembunyian kami ada di Desa Bumirejo. Dari desa ini ada jalan yang mudah dilalui melalui Desa Sugihwaras ke arah Puring.
Oleh penduduk desa itu kami diajak melihat para korban pertempuran. Senapan juki kami tinggal di gubug. Kami dibawa ke tepi sungai. Teman pertama yang kami jumpai adalah Hary Suryoharyono, komandan regu saya yang terbaring di sisi Utara sungai. Tubuhnya utuh dan sangat tampan-atletis seperti orang tengah tidur saja. Luka di kepalanya menembus telinga kiri. Kepada penduduk, saya katakan bahwa yang gugur itu adalah calon pemimpin bangsa. Oleh karena itu, saya minta agar mereka membawa jenasah Hary ke Karanganyar sebagai markas komando terdekat. Tak jauh dari tempat Hary, kami menemukan jenasah Willy Hutaoeroek dari Perpis dalam posisi tertelungkup. Linus yang Katholik membawa tasbih rosario berjongkok dan berdoa sejenak. Informasi terakhir yang saya tahu, jenasah Hary dibawa ke Kebumen. Sementara itu, jenasah Willy Hotaoeroek dimakamkan di desa Bumirejo.
Kemudian kami dibawa ke sebuah lumbung padi yang agak jauh dari sungai. Di sana ada Alex Rumamby dari Perpis yang terluka di bagian perutnya. Linus naik ke lumbung memberi penghiburan dan semangat agar Alex bertahan dan akan segera mengurus proses evakuasi serta pengobatannya. Kami juga meminta kepada penduduk desa itu untuk membawanya ke Karanganyar. Selain itu, penduduk juga menemukan seorang rekan yang dalam posisi telungkup di sawah. Mereka membangunkan dengan mengatakan bahwa Belanda telah pergi serta memberi sarung untuk ganti pakaian yang dikenakannya. Teman kami disembunyikan karena wajahnya sembab diinjak-injak oleh serdadu Belanda yang menyangkanya telah tewas. Semula saya tak tahu siapa teman kami itu, Baru keesokan harinya saya mengenalnya. Ia sahabat karib dan teman sebangku, Imam Sukotjo.
Setelah tak ada hal penting lagi yang perlu diurus dan waktu sudah sekitar jam 2 siang, kami memutuskan untuk menujua Karanganyar bergabung dengan induk pasukan. Untuk itu ada beberapa masalah yang perlu kami pecahkan, Kami tak memiliki informasi apapun tentang keberadaan pasukan Belanda di daerah pertempuran di sepanjang jalan yang akan kami lewati sehingga kami dapat menjaga jembatan atau check point tertentu. Berikutnya adalah masalah baju hijau yang kami pakai serta potongan rambut yang tidak plontos seperti kebanyakan penduduk setempat tentu akan memudahkan serdadu Belanda mengenali kami sebagai pejuang/ Tentara Pelajar. Kedua masalah ini cukup mudah diatasi. Baju masuk tas dan rambut dicukur plontos.
Tapi ada hal lain yang merisaukan yaitu keberadaan laskar AOI yang kami tahu sering meminta senjata pasukan yang tengah mundur dari medan pertempuran yang ada di lini kedua. Senjata adalah nyawa cadangan, menyerahkan senjata berarti sama dengan menyerahkan nyawa. Akhirnya kami putuskan untuk meninggalkan juki dan mempercayakannya kepada penduduk setempat. Dengan janji kami akan kembali secepat mungkin mengambil senjata itu. Atas keputusam itu, kami segera meninggalan Desa Bumirejo menuju markas induk di Karanganyar lewat Desa Sugihwaras melalui jalur sungai melawan arus ke Timur dengan cara berjalan jongkok. Mendekati jembatan, kami mempelajari situasi untuk memastikan ada tidaknya pasukan Belanda. Ternyata kosong dan kami bersiap diri melewati daerah yang dikuasai AOI sekitar 300m di depan kami.
Benar saja dugaan kami, ada sekitar 300 anggota laskar AOI yang telah mengetahui keberadaan kami. Senjata mereka berupa senapan dan panah yang anak panahnya berdetonator. Sesampai di tempat mereka berjaga, kami segera naik (di sisi Utara) dan lagi-lagi semua gerakan kami sang pemimpin adalah Linus. Ia lalu menjelaskan peristiwa yang kami alami dalam bahasa Jawa ngoko. Saya sesekali menambahkan penjelasan dalam Bahasa Jawa madya. Seperti telah kami duga, pertanyaan mereka adalah tentang senjata kami. Kami jelaskan bahwa semua senjata dibuang di medan pertempuran karena macet atau habis peluru. Entah diterima atau tidak penjelasan itu, kami akhirnya dibawa ke markas mereka di sebuah masjid yang berjarak sekitar 100m dari posisi saat ini. Di sana kami disuruh beristirahat dan diberi nasi bungkus. Kebanyakan tidak kami makan karena tiada lagi nafsu makan.
Waktu itu sudah memasuki waktu shalat Ashar. Kami ingin sesegera mungkin menuju Karanganyar ke markas induk. Kebetulan di situ ada kurir yang bergerak menunggang kuda. Kurir itu rupanya habis menyelesaikan tugasnya dan akan kembali bertugas ke Utara. Tak lama berselang, kami diijinkan meneruskan perjalanan dengan bertelanjang dada, tanpa alas kaki dan hanya bercelana pendek. Rasanya kami telah berjalan cukup jauh tanpa was-was bertemu pasukan Belanda karena sudah mencapai daerah aman. Sekitar jam 5 sore di kejauhan kami melihat sekelompok orang berkerumun seakan menantikan kedatangan kami. Benar saja, setelah mendekat ternyata mereka adalah teman-teman kami yang mundur melalui sisi Utara dan Timur. Bukan main rasa sukacita kami bertemu dalam keadaan selamat. Kami saling merangkul dan mengucap syukur. Setelah beberapa saat, kami melanjutkan perjalan di kegelapan malam. Sekitar jam 8 malam, kami tiba di markas yang letaknya di sebelah Timur alun-alun Karanganyar. Sebagian diantara kami langsung mencari tempat untuk beristirahat. Sebagian lainnya jalan jalan di sekitar markas dan minum kopi serta makan makanan kecil.
Tak diduga, di warung itu saya bertemu Komanda Kompi Saroso Hoerip dan beberapa stafnya. Kami saling menyapa dan diminta bercerita tentang pertistiwa yang kami alami. Saya juga melaporkan keberadaan juki yang ditinggal dan dipercayakan kepada penduduk Desa Bumirejo. Secara ringkas kami melaporkan semua kejadian. Atas hal itu, komandan memberi pujian. Di akhir percakapan kami, komandan kompi memerintahkan kami untuk menyertai regu yang akan dikirim untuk mengambil jenasah dan khusus bagi bagi perintah memandu pengambilan juki. Perintah itu saya terima dengan ihlas. Saya sadar bahwa upaya penyelamatan senjata juki adalah kebanggaan kompi kami dan merupakan sebuah tugas penting.  

Mengambil Jenasah dan Menyelamatan (Senapan) Juki

Keesokan hari, tanggal 3 September 1947, sekitar puku 5.30 pagi diberangkatkan satu regu dari markas induk Karanganyar untuk mengambil jenasah dan senapan juki yang kami tinggalkan di Bumirejo sehari sebelumnya. Regu ini terdiri dari 10 orang, sebagian besar adalah teman-teman yang kami gantikan tugasnya di Desa Sugihwaras. Satu diantaranya adalah Wiratno. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Alex Rumambi yang diangkut dengan usungan bambu oleh beberapa penduduk Desa Bumirejo. Kami sempat diberitahu bahwa semua jenasah yang ada di sana telah dibawa ke Kebumen.
Setelah beristia\rahat sejenak di Desa Sugihwaras, regu ini dibagi dua. Oleh kepala regu saya diperintahkan ke Selatan menuju Desa Bumirejo bersama 4 orang teman. Tugas utama adalah menyelamatkan juki dan senjata-senjata lainnya. Kelompok lain menuju Desa Sidobunder untuk menolong korban pertempuran dan mengambil jenasah rekan-rekan yang gugur di sana. Sekitar jam 11 kami berangkat ke Bumirejo yang ternyata hanya berjarak 3 km dari Sugihwaras. Sampai di tujuan, suasana desa cukup sepi. Ada beberapa penduduk yang dapat kami tanyai tentang keberadaan juki yang kami titipkan kepada mereka. Mereka menjawab, bahwa semua senjata disimpan dengan baik. Juga teman kami yang wajahnya diinjak serdadu Belanda ( Imam Sukoco-pen)  telah dipindahkan ke garis belakang. Saya menyampaikan terima kasih kepada mereka yang telah dengan tulus memenuhi permintaan kami sehari sebelumnya.
Pada kesempatan itu, kami juga diajak melihat beberapa korban meninggal dan luka dari penduduk Desa Bumirejo. Seorang korban luka adalah gadis kecil yang mengalami luka lebar di bagian paha dan selalu mengerang kesakitan. Kebetulan, seorang anggota regu kami membawa obat. Ia segera memberi pertolongan dan membalut luka sang gadis kecil. Tak lupa ia menyarankan agar gadis ini segera dibawa ke RS Karanganyar untuk mendapatkan perawatan selanjutnya. Setelah menerima kembali juki dan karaben yang saya titipkan kepada penduduk serta menerima penyerahan sekitar 200 butir peluru Lee Enfield yang ditinggalkan serdadu Belanda di sebuah rumpun bambu serta memastikan bahwa semua korban dari TP telah ditangani dengan baik, kami pamit dan segera kembali ke Sugihwaras dengan perasaan lega karena tugas dapat dilaksanakan dengan baik.
Kami tiba di Sugihwaras sekitar pukul 2 siang dan menunggu kedatangan rombongan yang ditugaskan ke Sidobunder.  Hampir dua jam kemudian terdengar suara mereka bersama pak Lurah dan penduduk desa. Ternyata mereka membawa jenasah teman-teman kami yang diangkut dengan perahu-perahu kecil berisi 3 – 4  jenasah setiap perahu. Saya mengenali jenasah anggota TP. Ada juga 2 jenasah anggota TNI reguler. Rekan kami, Ridwan, terkena 3 tembakan di leher yang menembus ke rongga dada. Hapto yang beru berumur 14 tahun dan sering bersama saya berjaga di markas Wates terluka bacokan di wajah sekitar daerah hidung. Saya sangat mengenali jenasah Pramono, Djokopramono, Soegiyono, Poernomo dan kalau tidak salah ada juga jenasah Achmadi. Hanya itu yang dapat ditemukan (yang dibawa ke Kebumen dari Bumirejo hanya jenasah Soerjoharyono, sehingga jenasah Willy Hutaoeroek tetap dimakamkan di Bumirejo. Di kemudian hari juga diketahui bahwa Herman Fernandez ditangkap dan dihukum mati oleh Belanda. Mungkin ada teman lain yang tertangkap, nyatanya sampai kini tak ada yang kembali).
Pak Lurah memerintahkan warganya agar segera membuat usungan dari bambu yang banyak tumbuh di desa itu. Setiap usungan hanya  diisi dengan satu jenasah, ditutup daun pisang dan diikat dengan tali bambu. Setelah semua siap, semua jenasah segera dibawa ke Karanganyar. Kesediaan penduduk desa membantu kami mengurus dan mengusung jenasan teman-teman yang gugur secara ihlas sangat kami rasakan. Meski, karena faktor usia, saya belum mampu menangkap makna dari peristiwa itu, tapi saya dapat merasakan kebanggaan atas bantuan penduduk desa yang tanpa pamrih itu.
Perjalanan dari Sugihwaras ke Karanganyar dimulai sekitar jam 5 sore dan dalam menembus kegelapan malam kami menggunakan obor yang disediakan oleh penduduk setempat. Karena jarak cukup jauh, perjalanan jenasah itu dilakukan secara estafet oleh penduduk desa-desa di sepanjang jalan yang kami lewati. Dua jenasah TNI reguler dibawa ke markas induknya, bukan ke Karanganyar. Sekitar jam 8 malam lewat, rombongan pembawa jenasah akhirnya sampai di Karanganyar dan langsung dibawa ke rumah sakit. Diterangi beberapa batang lilin, jenasah-jenasah itu disemayamkan di salah satu bangsal rumah sakit. Di situ telah menunggu beberapa teman yang selamat dalam pertempuran, seorang di antaranya adalah Rinanto sahabat karib saya. Saya mendapat perintah untuk ikut mengiringi jenasah yang akan dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api.
Setelah makan nasi bungkus di kompleks rumah sakit, mandi ala kadarnya dan mengambil tas pakaian di asrama markas induk, saya segera kembali ke rumah sakit. Semua jenasah kemudian dibawa ke stasiun dan ditempatkan di gerbong khusus. Sekitar jam 10 malam kami berangkat ke Yogyakarta dalam temaram cahaya lilin. Kereta berhenti di stasiun Kebumen untuk mengangkut anggota seki Anggoro yang akan diistirahatkan di sana. Dan jenasah Soejoharyono yang sudah menunggu di situ bersama rombongan akhirnya disatukan dengan jenasah lain dalam gerbong khusus. Kereta berhenti agak lama dan saya menyempatkan diri menengok asrama kami di gereja protestan (GKJ-pen) itu.
Kereta api diberangkatkan dari Kebumen antara jam 11 – 12 malam. Malam yang sepi dan hening membuat banyak rekan kami tertidur. Saya tak dapat tidur, dan sesekali menuju gerbong jenasah yang tanpa rasa takut karena mereka adalah rekan-rekan seperjuangan yang ditakdirkan gugur mendului kami. Sekitar jam 4 pagi kereta sampai di stasiun Tugu. Sementara menunggu jemputan yang akan membawa kami ke Jetis (asrama SGA), datang perintah kepasa saya agar mengiringi jenasah ke RS Bethesda untuk membantu dan mengenali para jenasah. Memang benar bahwa patugas penerima jenasah belum tentu mengenali para korban pertempuran Sidobunder dan sayalah yang dianggap lebih tahu ciri-ciri mereka.
Tugas di RS Bethesda dapat saya laksanakan dengan baik di antaranya membantu kakak Djoko Pramono mengenali jenasah adiknya. Beliau menangis setelah membuka daun pisah yang menutupi tubuh jenasah adiknya. Jam 6 pagi saya ikut kendaraan menuju asrama SGA di Jetis untuk bergabung dengan rekan-rekan. Sekitar jam 9 pagi ada pengumuman yang membolehkan kami pulang ke rumah masing-masing dan diberi cuti selama 2 minggu. Bersama Sarbidu yang terhitung sebagai paman Soehapto yang gugur dan dua teman lain, kami naik delman ke Pakualaman tempat kami tinggal. Sampai di rumah sekitar jam 10. Berita kedatangan saya yang dikabarkan selamat  ternyata sudah beredar di sana. Puji syukur dan perasaan sukacita memenuhi anggota keluarga saya. Kepada ibu, perasaan haru saya tumpahkandan saya dirangkul beliau sambil menangis. Saya membayangkan betapa akan sedihnya ibu bila saya termasuk yang gugur mengingat betapa beratnya beliau melepaskan saya waktu pamit ke front.
Tanggal 4 September 1947 sore dikitar jam 3 dilakukan pemakaman jenasah yang diberangkatkan dari Gedung BPKKP menuju tempat peristirahatan terakhir di Makam Taman Bahagia Semaki Yogyakarta dengan perhatian penuh warga masyarakat Ibukota Yogyakarta, khususnya para pelajar. Puluhan karangan bunga sebagai tanda bela sungkawa masyarakat menyertai iringan jenasah yang diangkut dengan beberapa truk terbuka dan dijaga rekan-rekan seperjuangannya. Sengan tembakan salvo, teman-teman yang gugur dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki. Jenasah SoerjoHaryono, atas permintaan keluarganya, dimakamkan di Kuncen.
Dalam buku “Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan” yang disinggung di awal tulisan ini disebutkan 24 anggota TP gugur pada pertempuran Sidobunder, tetapi hanya 20 nama yang tertulis dalam buku itu. Yaitu:
1.       Abunandir
2.   Herman Fernandez
3.      Poernomo
4.      Soepadi
5.      Achmadi
6.      Kodara Sam
7.      Pramono
8.      Soerjoharyono
9.      Ben Rumayar
10.   Koenarso
11.    Ridwan
12.    Tadjoedin
13.   Djoko Pramono
14.   La Indi
15.   Soegiyono
16.   Willy Hutaoeroek
17.   Harun
18.   Losung F
19.   Soehapto
20.  Rinanggar
  
Adapun yang selamat, seingat saya 12 orang yaitu:
Sarbidu
Djokonomo
Anggoro
Alex Rumambi
Santoso
Kusdradjat
Imam Soekotjo
Linus Djentamat
Rinanto
Sujitno
Maulwi Saelan
Djokowoerjo

Penutup
Di antara kawan-kawan untuk waktu yang cukup lama saya mendapat julukan si penyelamat juki. Julukan itu rasanya terlalu berlebihan. Saya meyadari bahwa memang ada peranan saya, tapi sebenarnya sebatas pelengkap (instrumental) saja. Bukankah ide penyelamatan itu berawal dari Linus yang dapat menangkap situasi dan melihat jauh ke depan. Bahwasanya kemudian saya yang mendapat tugas untuk mengambilnya dari bekas lokasi pertempuran tidak lebih hanya karena sayalah yang dianggap mengetahui di mana senjata itu berada. Juki itu kemudian diperbaiki di Yogya dan kabarnya dapat berfungsi lagi.
Dari pengalaman ini ada 2 hal yang membekas di hati sanubari saya yaitu semangat perjuangan kawan-kawan yang sanggup mati untuk membela tanah air dan partisipasi aktif rakyat secara spontan tanpa pamrih dalam perjuangan membela kemerdekaan. Dalam perjalanan hidup saya kemudian, kesan ini senantiasa saya ingat dalam meniti karir hidup saya. Saya mengemban cita-cita kawan-kawan yang gugur, cita-cita generasi muda terpelajar yang setinggi langit memimpikan kejayaan tanah air. Semangat kawan-kawan coba saya bawa meniti karir saya. Mereka saya kenang dalam doa harian saya melambungkan puji syukur kepada Allah Yang Maharahim. Darma bakti kami kepada nusa dan bangsa. Semoga ini memenuhi cita-cita kawan-kawan yang yelah mendahuli menghadap Yang Maha Kudus di surga.
Bogor, Agustus – September 1995     


Biografi ringkas penulis:
·   Prof.Dr.drh. Djokowoerjo Sastradipraja adalah pelajar SMA Kotabaru (padmanaba) yang pernah mengenyam latihan dasar kemiliteran di MA Kotabaru saat bergabung dalam pasukan pelajar pejuang kemerdekaan dari Yogyakarta. Front Barat di sekitar Gombong bagian Selatan adalah penugasan pertama di luar Yogyakarta dan sekitarnya bersama sejumlah besar pasukan pelajar yang dikerahkan dari Markas Pusat di Tugu Kulon pada akhir Agustus sampai awal September 1947. Mengaku ikut singgah dan bermalam di asrama markas darurat pelajar pejuang kemerdekaan di kompleks GKJ Kebumen sebelum diberangkatkan ke medan laga.
·        Dosen, guru besar  serta mantan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.  

This entry was posted in . Bookmark the permalink.

3 Responses to Mengenang Pertempuran Sidobunder 2 September 1947 - Bagian I Oleh: Djokowoerjo Sastradipraja; Prof. Dr; drh;

  1. Unknown says:

    Menarik...Herman Fernnadez adalah adik sepupu Opa saya yang tertangkap di Desa Sidobunder karena ingin menyelamatkan Alex Rumambi. Beliau dieksekusi namun jenazah tidak pernah ditemukan. Makamnya di Semaki hanya makam kosong. Di kota kami Larantuka (Flores-NTT) berdiri patungnya sedang membopong Alex Rumambi

  2. Unknown says:

    Terima kasih atas informasinya. Semoga kita dapat belajar keteladanan para pejuang dari Tentara Pelajar. Kami sangat berharap dapat memberi informasi yang lebih lengkap. Mudah-mudahan ada banyak lagi pembaca yang berkenan memberi masukan, kritik atau saran agar menyempurnakan informasi yang telah tersaji.

  3. Terima kasih sdh berbagi cerita. LINUS DJENTAMAT adalah Opa saya. Selama beliau hidup hingga akhir hayatnya tidak pernah bercerita soal peristiwa ini. Sekarang beliau telah wafat dan dimakamkan di TPU Pd Ranggon Jakarta Timur. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas cerita diatas semoga kita para sanak keluarga dan cucu-cucunya dapat melanjutkan perjuangan para pendahulu kita dengan cara yg berbeda. Salam Jeffrey Andrianto

Leave a Reply