Pengantar
Pertempuran
Sidobunder tercatat sebagai salah satu pengalaman kontak senjata dengan Belanda
yang meminta korban anggota Tentara Pelajar Yogyakarta. Kisah pertempuran ini
dimuat dalam buku “ Peran Pelajar dalam Perang Kemerdekaan” diterbitkan oleh
Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata R.I, cetakan I 1985. Meski sudah
didokumentasikan secara formal terasa bahwa banyak kejadian rinci yang belum
terungkap dan karena itu dari para pelaku yang saat ini masih dalam keadaan
sehat jiwa raga atas berkat karunia Tuhan Yang Mahaesa diharapkan dapat
mengumpulkan memoir tertulis guna melengkapi dokumentasi mengenai partisipasi
pelajar dalam perjuangan fisik.
(biografi beliau saya kumpulkan di bagian lain – Toto Karyanto).
Menempati Posisi
Pertahanan di Sidobunder
Seksi
kami mendapat tugas menggantikan Seksi Soedewo di front. Menjelang akhir bulan Agustus pasukan pindah
dari Kebumen naik kereta api ke Karanganyar dan menginap semalam di beberapa
rumah sebelah Timur alun-alun Kabupaten yang letaknya tidak jauh dari stasiun.
Sore hari saya mandi di kompleks nDalem Kabupaten dan sempat melihat-lihat
sekeliling kabupaten serta alun-alun itu. Pada saat di Karangayar itu baru saya
ketahui bahwa kedudukan front kami adalah di Selatan yaitu di desa Sugihwaras
yang jauhnya sekitar 10km dari kota.
Dari
anggota TP kompi 320 yang ada di Karanganyar hanyalah komandan kompi dan
stafnya saja. Sedangkan Seksi Soedewo ada di Sugihwaras. Pimpinan kompi dan
staf menceritakan bahwa Karanganyar pernah diserang oleh Belanda sampai di
sebelah Barat alun-alun dan sempat terjadi kontak senjata sebelum musuh mundur
kembali kea rah Gombong. Esok harinya, pagi-pagi sekitar pukul 6, seksi kami
telah berangkat kea rah Selatan dengan terlebih dulu menyeberangi jalan kereta
api di stasiun. Kebanyakan kami tidak membawa senjata karena senapan-senapan
telah dibawa Soedewo yang ada di front. Gerakan pasukan tidak mengikuti barisan
yang teratur, melainkan masing-masing berjalan sendiri-sendiri ayau bergerombol
sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Seperti halnya juga di Kotabaru, Wates
atau Kebumen, koleksi nyanyian kami tidak hanya lagu perjuangan, tetapi juga
lagu-lagu asing seperti “ My bonny is over the ocean” dll. Malahan di antara
nyanyian yang dinyanyikan itu termasuk juga nyanyian Belanda yang sewaktu jaman
penjajahab kami pelajari dari buku “Kunt
je nog zingen, zing dan mee”. Kedengarannya aneh, tetapi mengingat bahwa
cukup banyak di antara kami itu dulu mengecap pendidikan Sekolah Dasar HIS atau
ELS, dan di antara kamipun kadang-kadang melakukan percakapan antara sesame
dengan bahasa Belanda. Jago penggembira nyanyi adalah Djokonomo. Dalam gerakan
itu sama sekali tidak tercermin rasa takut dan semuanya terasa aman-aman saja
meskipun kami melihat kea rah Barat dan membayangkan bahwa di sana sudah daerah
yang dikuasai Belanda. Rakyat yang kami jumpai nampaknya seperti hidup dalam
suasana damai saja. Dan dari mereka diperoleh informasi bahwa tidak ada Belanda
saat itu di daerah mereka. Seingat saya tanggal itu adalah 29 Agustus
(1947-pen).
Seksi
Anggoro sampai di kediaman Pak Lurah Sugihwaras sekitar pukul 11 siang. Seksi
Soedewo yang akan kami gantikan sebagian sudah siap tetapi sebagian lainnya
masih belum kembali dari patrol. Sambil berbincang-bincang dan mendengarkan
pengalaman anggota Seksi 322 tentang tugas di front ini, kami menikmati
pembagian nasi bungkus (dengan daun pisang), santapan siang yang lauknya daging
kambing gulai dengan kuahnya. Menu ini ternyata sama setiap siang dan petang.
Kami selalu mendapat kiriman bungkusan ini (tentunya dari dapur umum) yang
dibawa oleh “tobang” dalam keranjang
besar. Kami yang baru datang tentu saja ingin tahu pengalaman serangan Belanda,
kapan terjadi dan bagaimana cara melawannya. Kami juga tertarik mendengarkan
bahwa pasukan Indonesia cukup banyak yaitu sejumlah kekuatan tangguh BPRI dan
satu seksi pasukan India (asal tentara Inggris) yang memihak Indonesia.
Di
sebelah Utara dan Timur ada pertahanan pasukan AOI (Hizbullah). Ada juga
sekelompok kecil pasukan TNI di sebalah Barat. Di daerah itu juga ada seorang
Jepang eks tentara Jepang yang memihak Indonesia. Ia dianggap sangat
berpengalaman perang dan saya merasa aman karena pertahanan kami cukup kuat.
Pak Lurah Sugihwaras sangat tinggi semangat perjuangannya yang sangat kami
kagumi dan dia akrab dengan kami para pelajar pejuang. Suatu kali ia memuji
pasukan India, tetapi tak lupa juga menceritakan terjadinya insiden “asmara”
antara salah satu anggota pasukan itu dengan Marina gadis setempat. Pak Lurah memiliki
gamelan dan saya sempat menabuh gambang dan kendang. Ridwan, penembak brend,
mengomentari kemahiran saya menabuh gambang.
Sementara
kami sibuk mencari ambilan oper senapan dari kawan-kawan yang digantikan. Saya
memperoleh senapan karaben laras pendek (tanpa sangkur) tetapi tidak kebagian
kantong atau sabuk peluru. Pada siang hari, yang berpatroli sudah kembali ke
Sugihwaras dan menceritakan bahwa mereka sampai Karangbolong dan melihat beberapa
serdadu Belanda tengah mandi di laut. Regu patroli sempat meletuskan beberapa
kali tembakan dan mereka mengingatkan juga hahwa saat itu menjelang “koninginnedag” hari lahir Ratu
Wilhelmina. Mereka menyarankan untuk mengganggu Belanda pada hari 31 Agustus
itu. Pada sore hari, seksi 322 meninggalkan Sugihwaras kembali ke markas di
Karanganyar.
Hari 30
Agustus pagi, saya bertugas ikut regu patroli sejumlah 5 – 6 orang bersama
tentara Jepang tadi. Tujuannya ke Desa Sidobunder untuk memeriksa medan yang akan
menjadi posisi daerah pertahanan seksi. Sewaktu berpatroli kami mendiskusikan
cara berpatroli model Jepang dan Inggris. Kami kemudian memperagakan cara
berpatroli India yaitu regu bergerak dalam satu kelompok, seorang yang berada
di barisan terdepan menghadap lurus ke depan, diikuti anggota lain di kiri dan
kanan (semacam posisi zig-zag- pen). Dan anggota yang berada di posisi paling
belakang berjalan mundur menatap luruh arah belakang barisan itu. Patroli hanya
sampai bagian Barat Sidobunder. Jadi hanya berjarak sekitar 2 km saja. Suasanya
sepi dan kalaupun bertemu orang hanya ada laki-laki yang semunya gundul. Siang
hari, kami sudah kembali ke Sugihwaras. Sore dan malam hari kami beristirahat
dan berjaga di rumah pak Lurah yang dijadikan markas.
Keesokan
hari, 31 Agustus pagi, kami diperkuat dengan tambahan satu regu patroli. Tetapi
saya tidak ikut berpatroli. Kabarnya mereka berpatroli lebih jauh lagi ke
daerah “niemandsland” dan siang sudah
kembali ke markas. Pada saat itu, sekitar jam 4 sore, seluruh seksi dipindahkan
mengambil posisi pertahanan di Desa Sidobunder. Penempatan juki dikelola oleh
teman-teman dari Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia – Sulawesi – pen) di
bagian Timur sungai dekat pos TNI regular. Brend (Ridwan) mengambil posisi di
kanan menghadap arah Barat Daya. Saya dan beberapa teman bersenjatakan karaben
dan standgun buatan Demak Ijo mengambil posisi sekitar markas yang letaknya di
sisi Utara jalan utama. Tetapi kami sering mondar mandir menyusuri jalan utama
dan menyambangi posisi regu yang memegang juki
sampai ke batas desa yang menghadap arah Sugihwaras. Bersama Rinanto, saya
mendapat giliran jaga malam sekitar pukul 2 – 3 pagi.
Tanggal
1 September pagi dikirim satu regu yang salah satu anggotanya adalah Poernomo. Teman
ini pernah menceritakan pengalaman menolong seorang wanita yang akan melahirkan
bayinya. Sejak siang sampai malam, hujan terus turun dan membuat daerah di
sekitar pertahanan kami becek serta sawah-sawah terendam air cukup dalam. Kami
berjaga di dalam markas dan emperan rumah-rumah penduduk. Berteduh dan menunggu
teman-teman kembali dari berpatroli. Ternyata mereka baru kembali sekitar jam 9
malam dan segera menceritakan hasil pantauannya. Mereka bilang kalau pasukan
India telah mundur dari posisi pertahanan awal. Juga pasukan BPRI telah
meninggalkan posnya di Puring. Sehingga daerah itu sampai Karangbolong menjadi
kosong pasukan pertahanan. Ada indikasi bahwa Belanda akan segera bergerak.
Informasi bahwa iring-iringan pasukan Belanda telah meninggalkan Gombong ke arah
Selatan sudah kami terima. Karena itu, situasi ini kami anggap cukup serius.
Tetapi kami bersikap menunggu sampai pagi dan baru mengambil tindakan. Di sela
suasana serius itu, ada sebagian teman yang bercanda tawa dengan kelakar khas
pelajar menjelang usia dewasa. Keadaan semacam ini belum pernah terjadi dalam
tugas, karena itu terasa aneh. Dan selalu ada teman yang akan mengingatkan
ketika sudah berlebihan dengan ucapan “ awas
mati konyol “ yang terbukti sangat mujarab.
Pertempuran
Sidobunder
Tanggal
2 September adalah hari yang ternyata amat menyedihkan bagi seksi kami. Setelah
semalam suntuk diguyur hujan dan diisi dengan canda tawa untuk membunuh waktu,
pagi-pagi sekali di antara tidur lelap kami, hujan peluru membangunkan dan
mulai dirasakan di sebelah Timur. Dalam sekejap, semua anggota pasukan
menempati posisi bertahan di tempat masing-masing. Regu kami, termasuk komandan
kompi Anggoro, menempati posisi di ladang kecil seberang jalan di depan markas.
Kami “stelling” menghadap arah
Selatan dan Timur. Saya stelling denagn
cara menelungkupkan badan dan menghadap Selatan. Iman Sukotjo ada di sebelah
kanan posisi saya. Sebagai komandan, Anggoro bergerak mobil mengatur posisi dan
ia mendapat laporan berbagai posisi dari anggota seksi lainnya. Saya bilang
kepada Imam Sukotjo bahwa isi karaben senapan saya tinggal 2 butir.
Ia
memberi saya tambahan 5 butir peluru dengan komentar mengapa tak meminta
tambahan dua hari sebelumnya di markas Karanganyar saya ada pembagian logistik.
Saya tak tahu ada pembagian itu. Meskipun saat itu saya menyadari kami sudah
terkepung, namun saya membayangkan bahwa kami akan mampu bertahan karena adanya
senjata brend dan juki. Sambil menanti peristiwa yang akan terjadi,
kami sempat berbincang tentang adanya 2 orang yang menanyakan keberadaan markas
di pagi sekali karena mereka memerlukan surat jalan. Setelah kami merangkai
beragam kejadian dan adanya serangan yang tengah kami hadapi saat ini, akhirnya
berujug pada kesimpulan bahwa mereka adalah mata-mata musuh.
Sesaat
waktu terdengar tembakan brendgun dari arah Timur yang
semakin gencar dan mendekat. Pasukan Belanda mulai menghujani kami dengan
tembakan mortir, tapi mengenai sisi Barat posisi kami. Sementara itu, kebun
kecil yang menjadi tempat pertahanan kami luput dari sasaran tembak itu.
Tembakan brendgun musuh kian mendekat dan mendapat balasan dari pasukan
kami. Sesaat kemudian, terdengar tembakan gencar dari arah Barat. Saya yang
semula mengira tembakan balasan berasal dari pasukan kami, sesaat kemudian
muncul teman-teman dari Perpis dari
arah Barat. Mereka memberitahu kalau juki-nya macet, tak dapat dipakai untuk
membalas serangan musuh. Kami sadar bahwa sebenarnya pertahanan pasukan kami
telah terkepung oleh pasukan musuh. Dan suara tembakan balasan itu berasal dari
brendgun Ridwan. Peluru senjata otomatis itu dirangkai menjadi rantai
panjang tidak seperti bahan kain untu mitrallieur watermantel. Tapi
dibentuk serupa vlinder (kupu-kupu). Saya perkiraan saat itu sekitar jam 7
pagi.
Komandan
Anggoro
memerintahkan kami bergerak untuk meloloskan diri dari kepungan pasukan
musuh. Senapan Juki yang macet
dilepas dari alat penggotongnya dan larasnya dipisahkan untuk diselamatkan.
Dalam mencari jalan keluar dari kepungan musuh, ternyata pasukan kami terpecah
menjadi dua rombongan. Sebagian bergerak ke arah Barat Daya dan sisanya ke
Selatan. Saya mengikuti pasukan yang ke arah Selatan. Sebenarnya saya merasa
janggal mengikuti pasukan yang ke Selatan karena diperkirakan posisi serangan
pasukan Belanda dari arah Selatan dan Timur. Selain itu, saya tak mengenal
medan itu karena tak pernah berpatroli ke arah itu. Karena sudah terlanjur
mengikuti teman-teman, kami akan lihat dan rasakan perkembangan situasinya.
Kami
bergerak di persawahan yang becek setelah diguyur hujan semalaman. Berjalan
satu per satu di pematang sawah yang sempit itu. Seingat saya, posisi saya ada
di urutan terbelakang dengan bertelanjang kaki. Sementara itu, sepatu lars
pembagian justru saya gantungkan di leher. Di pundak ada tas berisi pakaian
ganti. Di depan saya adalah Soepadi atau Abunandir, saya lupa hal itu. Mereka
berdua adalah sahabat karib. Sesekali masih terdengar suara tembakan pasukan
Belanda dari Selatan dan serpihan pelurunya jatuh di depan kami seperti suara
batu-batu kecil yang berjatuhan. Saat itu saya
jadi ingat pelajaran mekanika tentang arah lintasan peluru. Dan desing
peluru pasukan Belanda seperti praktikum pelajaran mekanika itu.
Tiba-tiba
terdengar tembakan musuh dari depan dan jarak yang sang sangat dekat. Kami
segera berpencar, bergerak maju menyeberang sungai lewat jembatan bambu dan
masuk ke sawah. Saya melakukan hal sama dan ternyata telah berada di pinggir
Selatan sungai itu. Sejenak saya merasa tak tahu harus berbuat apa karena
serdadu Belanda telah nampak di batas sawah (Selatan) dalam jarak kurang sari
100m. Entah dari mana datangnya, Linus
Djentamat dari Perpis telah berdiri membawa senapan juki kami yang macet.
Segera saja saya mendekat dan ia meminta saya untuk bantu menyeberangkan juki ke sisi Utara sungai itu. Linus lebih tua
beberapa tahun dari umur saya. Secara naluriah, saya memang harus bersamanya
menyelamatkan senjata itu. Peristiwa ini sangat menentukan hidup saya saat itu
dan selanjutnya. Karena, dalam latihan kemiliteran yang pernah saya lakukan,
selalu ditanamkan bahwa senjata itu sama nilainya dengan nyawa kita. Adalah
kesalahan besar jika senjata kita sampai jatuh ke tangan musuh. Jadi, juki ini
harus diselamatkan dan menjadi tugas yang sangat penting.
Saya
masuk ke sungai yang airnya sebatas dada dan menerima juki dari Linus yang kemudian saya angkat dengan kedua tangan untuk
diseberangkan. Linus menyusul segara dan membawakan karaben saya. Sesampai di
sisi Utara, kami bertukar senjata dan menyadari bahwa kami terpisah dari
rombongan pasukan. Tak lagi sempat berpikir lebih jauh karena suara tembakan
dari arah sawah terdengar semakin gencar. Linus bercerita pengalamannya 3 kali
dikepung musuh. Berdasar pengalaman yang ia rasakan, pasukan Belanda tidak akan
menduduki daerah yang diserang. Melainkan hanya sambil lalu, melakukan
pembersihan dalam menuju pos pertahanan mereka. Ia usul agar kami bersembunyi
untuk menyelamatkan juki itu. Semula saya ragu dan ingin menolak usulan Linus.
Kenapa tak bertempur sampai titik darah penghabisan saja?
Agak
masuk ke dalam desa, sekitar 15 m dari sungai terdapat sebuah rumah bambu
menghadap ke SeLatan dengan pintu sleregan (sliding
door ). Di depan rumah itu ada sebuah gubug kecil dari bilik bambu dan
ternyata adalah ruangan tunggal berukuran 3 x 3m dengan pintu selregan juga
yang menghadap ke rumah tadi. Linus mengajak saya memasuki gubug kecil itu.
Kami mendapati bale-bale bambu sederhana di pojok Tenggara ruangan itu. Linus
bilang agar kami bersembunyi di bawah kolong bale-bale. Ia masuk duluan,
bertelungkup merapat ke dinding dengan juki-nya. Kepalanya menghadap ke Timur.
Saya menyusul dan berbaring di sebelahnya dalam posisi berlawanan arah. Senjata
karaben saya depan dalam posisi siap tembak ke arah pintu.
Tak
lama berselang, desa itu dihujani peluru mortir yang semula terdengar jatuh di
sisi Selatan sungai. Dan dentuman granat serta mortir berjauhan di sisi Timur,
Barat dan Utara gubug. Serpihannya terdengar jatuh sangat dekat dengan posisi
kami. Setelah hujan tembakan mortir mereda, terdengar suara rentetan bunyi tembakan
brendgun yang kian mendekat. Sering
terdengar suara pohon bambu bertumbangan dihajar oleh rentetan tembakan peluru brendgun
itu. Sesaat kemudian terdengar suara
dalam Bahasa Belanda agar kami menyerah. “ Opgeven jongens!” beberapa kali.
Pasukan
Belanda nampaknya memang telah menguasai desa itu. Tapi tak ada suara mengaduh
atau erang kesakitan dari teman-teman sepasukan. Kesimpulan saya, kami berdua
terpisah dari pasukan. Sesaat kemudian, terdengar pasukan Belanda mendekat
gubug kami di arah Selatan, Timur dan Barat dinding. Ada yang hanya berjarak
setengah meter, tapi tak ada yang melintas di antara rumah dam gubug. Dari
percakapan mereka, ternyata tidak semua pasukan Belanda adalah orang Belanda
atau Barat. Tapi ada juga yang memakai dialek lokal atau bukan Belanda. Selang
beberapa saat, terdengar pasukan Belanda menjauh dari posisi kami ke Utara dan
Timur. Hal itu terdengar dari bunyi tembakan yang mereka muntahkan. Lalu
suasana menjadi sangat hening. Suara kokok ayam jago menjadi suara terindah pertama
yang kami dengar. Sehingga cukup lama berselang, kami tetap bertahan dalam
posisi berdiam diri dan siaga.
Menjelang
tengah hari, Linus mengajak saya beranjak dari tempat persembunyian. Linus
menyuruh saya memeriksa keadaan di luar. Dengan menguatkan hati, saya
memberanikan diri menuju rumah di depan gubug dan memeriksanya secara saksama.
Ternyata rumah itu kosong dan saya segera kembali ke gubug melapor semua hal
yang saya ketahui. Lalu, Linus gantian ke luar dan saya masuk kembali ke gubug
untuk menjaga juki itu. Kepergian Linus cukup lama dan membuat saya menjadi
was-was. Sesaat berikutnya terdengar suara orang desa itu disusul oleh suara
Linus. Ia berbicara dalam Bahasa Jawa kromo.
Sementara Linus memakai bahasa ngoko. Segera
saja saya keluar dan bergabung dengan mereka. Penduduk desa itu adalah lelaki
dewasa berkepala pelontos. Di saat itu, barulah saya tahu bahwa posisi
persembunyian kami ada di Desa Bumirejo. Dari desa ini
ada jalan yang mudah dilalui melalui Desa Sugihwaras ke arah Puring.
Oleh
penduduk desa itu kami diajak melihat para korban pertempuran. Senapan juki
kami tinggal di gubug. Kami dibawa ke tepi sungai. Teman pertama yang kami
jumpai adalah Hary Suryoharyono, komandan regu saya yang terbaring di sisi
Utara sungai. Tubuhnya utuh dan sangat tampan-atletis seperti orang tengah
tidur saja. Luka di kepalanya menembus telinga kiri. Kepada penduduk, saya
katakan bahwa yang gugur itu adalah
calon pemimpin bangsa. Oleh karena itu, saya minta agar mereka membawa
jenasah Hary ke Karanganyar sebagai markas komando terdekat. Tak jauh dari
tempat Hary, kami menemukan jenasah Willy
Hutaoeroek dari Perpis dalam posisi tertelungkup. Linus yang Katholik
membawa tasbih rosario berjongkok dan berdoa sejenak. Informasi terakhir yang
saya tahu, jenasah Hary dibawa ke Kebumen. Sementara itu, jenasah Willy
Hotaoeroek dimakamkan di desa Bumirejo.
Kemudian
kami dibawa ke sebuah lumbung padi yang agak jauh dari sungai. Di sana ada Alex
Rumamby dari Perpis yang terluka di bagian
perutnya. Linus naik ke lumbung memberi penghiburan dan semangat agar Alex
bertahan dan akan segera mengurus proses evakuasi serta pengobatannya. Kami
juga meminta kepada penduduk desa itu untuk membawanya ke Karanganyar. Selain
itu, penduduk juga menemukan seorang rekan yang dalam posisi telungkup di
sawah. Mereka membangunkan dengan mengatakan bahwa Belanda telah pergi serta
memberi sarung untuk ganti pakaian yang dikenakannya. Teman kami disembunyikan
karena wajahnya sembab diinjak-injak oleh serdadu Belanda yang menyangkanya
telah tewas. Semula saya tak tahu siapa teman kami itu, Baru keesokan harinya
saya mengenalnya. Ia sahabat karib dan teman sebangku, Imam Sukotjo.
Setelah
tak ada hal penting lagi yang perlu diurus dan waktu sudah sekitar jam 2 siang,
kami memutuskan untuk menujua Karanganyar bergabung dengan induk pasukan. Untuk
itu ada beberapa masalah yang perlu kami pecahkan, Kami tak memiliki informasi
apapun tentang keberadaan pasukan Belanda di daerah pertempuran di sepanjang
jalan yang akan kami lewati sehingga kami dapat menjaga jembatan atau check point tertentu. Berikutnya adalah
masalah baju hijau yang kami pakai serta potongan rambut yang tidak plontos
seperti kebanyakan penduduk setempat tentu akan memudahkan serdadu Belanda
mengenali kami sebagai pejuang/ Tentara Pelajar. Kedua masalah ini cukup mudah
diatasi. Baju masuk tas dan rambut dicukur plontos.
Tapi
ada hal lain yang merisaukan yaitu keberadaan laskar AOI yang kami tahu sering
meminta senjata pasukan yang tengah mundur dari medan pertempuran yang ada di
lini kedua. Senjata adalah nyawa cadangan, menyerahkan senjata berarti sama
dengan menyerahkan nyawa. Akhirnya kami putuskan untuk meninggalkan juki dan
mempercayakannya kepada penduduk setempat. Dengan janji kami akan kembali
secepat mungkin mengambil senjata itu. Atas keputusam itu, kami segera
meninggalan Desa Bumirejo menuju markas induk di Karanganyar lewat Desa
Sugihwaras melalui jalur sungai melawan arus ke Timur dengan cara berjalan
jongkok. Mendekati jembatan, kami mempelajari situasi untuk memastikan ada
tidaknya pasukan Belanda. Ternyata kosong dan kami bersiap diri melewati daerah
yang dikuasai AOI sekitar 300m di depan kami.
Benar
saja dugaan kami, ada sekitar 300 anggota laskar AOI yang telah mengetahui
keberadaan kami. Senjata mereka berupa senapan dan panah yang anak panahnya
berdetonator. Sesampai di tempat mereka berjaga, kami segera naik (di sisi
Utara) dan lagi-lagi semua gerakan kami sang pemimpin adalah Linus. Ia lalu
menjelaskan peristiwa yang kami alami dalam bahasa Jawa ngoko. Saya sesekali
menambahkan penjelasan dalam Bahasa Jawa madya. Seperti telah kami duga,
pertanyaan mereka adalah tentang senjata kami. Kami jelaskan bahwa semua
senjata dibuang di medan pertempuran karena macet atau habis peluru. Entah
diterima atau tidak penjelasan itu, kami akhirnya dibawa ke markas mereka di
sebuah masjid yang berjarak sekitar 100m dari posisi saat ini. Di sana kami
disuruh beristirahat dan diberi nasi bungkus. Kebanyakan tidak kami makan
karena tiada lagi nafsu makan.
Waktu
itu sudah memasuki waktu shalat Ashar. Kami ingin sesegera mungkin menuju
Karanganyar ke markas induk. Kebetulan di situ ada kurir yang bergerak
menunggang kuda. Kurir itu rupanya habis menyelesaikan tugasnya dan akan
kembali bertugas ke Utara. Tak lama berselang, kami diijinkan meneruskan
perjalanan dengan bertelanjang dada, tanpa alas kaki dan hanya bercelana
pendek. Rasanya kami telah berjalan cukup jauh tanpa was-was bertemu pasukan
Belanda karena sudah mencapai daerah aman. Sekitar jam 5 sore di kejauhan kami
melihat sekelompok orang berkerumun seakan menantikan kedatangan kami. Benar
saja, setelah mendekat ternyata mereka adalah teman-teman kami yang mundur
melalui sisi Utara dan Timur. Bukan main rasa sukacita kami bertemu dalam
keadaan selamat. Kami saling merangkul dan mengucap syukur. Setelah beberapa
saat, kami melanjutkan perjalan di kegelapan malam. Sekitar jam 8 malam, kami
tiba di markas yang letaknya di sebelah Timur alun-alun Karanganyar. Sebagian
diantara kami langsung mencari tempat untuk beristirahat. Sebagian lainnya
jalan jalan di sekitar markas dan minum kopi serta makan makanan kecil.
Tak
diduga, di warung itu saya bertemu Komanda Kompi Saroso Hoerip dan beberapa
stafnya. Kami saling menyapa dan diminta bercerita tentang pertistiwa yang kami
alami. Saya juga melaporkan keberadaan juki yang ditinggal dan dipercayakan
kepada penduduk Desa Bumirejo. Secara ringkas kami melaporkan semua kejadian.
Atas hal itu, komandan memberi pujian. Di akhir percakapan kami, komandan kompi
memerintahkan kami untuk menyertai regu yang akan dikirim untuk mengambil
jenasah dan khusus bagi bagi perintah memandu pengambilan juki. Perintah itu
saya terima dengan ihlas. Saya sadar bahwa upaya penyelamatan senjata juki
adalah kebanggaan kompi kami dan merupakan sebuah tugas penting.
Mengambil Jenasah dan Menyelamatan
(Senapan) Juki
Keesokan
hari, tanggal 3 September 1947, sekitar puku 5.30 pagi diberangkatkan satu regu
dari markas induk Karanganyar untuk mengambil jenasah dan senapan juki yang
kami tinggalkan di Bumirejo sehari sebelumnya. Regu ini terdiri dari 10 orang,
sebagian besar adalah teman-teman yang kami gantikan tugasnya di Desa
Sugihwaras. Satu diantaranya adalah Wiratno. Di tengah perjalanan kami bertemu
dengan Alex Rumambi yang diangkut dengan usungan bambu oleh beberapa penduduk
Desa Bumirejo. Kami sempat diberitahu bahwa semua jenasah yang ada di sana
telah dibawa ke Kebumen.
Setelah
beristia\rahat sejenak di Desa Sugihwaras, regu ini dibagi dua. Oleh kepala
regu saya diperintahkan ke Selatan menuju Desa Bumirejo bersama 4 orang teman.
Tugas utama adalah menyelamatkan juki dan senjata-senjata lainnya. Kelompok
lain menuju Desa Sidobunder untuk menolong korban pertempuran dan mengambil
jenasah rekan-rekan yang gugur di sana. Sekitar jam 11 kami berangkat ke
Bumirejo yang ternyata hanya berjarak 3 km dari Sugihwaras. Sampai di tujuan,
suasana desa cukup sepi. Ada beberapa penduduk yang dapat kami tanyai tentang
keberadaan juki yang kami titipkan kepada mereka. Mereka menjawab, bahwa semua
senjata disimpan dengan baik. Juga teman kami yang wajahnya diinjak serdadu
Belanda ( Imam Sukoco-pen) telah
dipindahkan ke garis belakang. Saya menyampaikan terima kasih kepada mereka
yang telah dengan tulus memenuhi permintaan kami sehari sebelumnya.
Pada
kesempatan itu, kami juga diajak melihat beberapa korban meninggal dan luka
dari penduduk Desa Bumirejo. Seorang korban luka adalah gadis kecil yang
mengalami luka lebar di bagian paha dan selalu mengerang kesakitan. Kebetulan,
seorang anggota regu kami membawa obat. Ia segera memberi pertolongan dan
membalut luka sang gadis kecil. Tak lupa ia menyarankan agar gadis ini segera
dibawa ke RS Karanganyar untuk mendapatkan perawatan selanjutnya. Setelah
menerima kembali juki dan karaben yang saya titipkan kepada penduduk serta
menerima penyerahan sekitar 200 butir peluru Lee Enfield yang ditinggalkan
serdadu Belanda di sebuah rumpun bambu serta memastikan bahwa semua korban dari
TP telah ditangani dengan baik, kami pamit dan segera kembali ke Sugihwaras
dengan perasaan lega karena tugas dapat dilaksanakan dengan baik.
Kami
tiba di Sugihwaras sekitar pukul 2 siang dan menunggu kedatangan rombongan yang
ditugaskan ke Sidobunder. Hampir dua jam
kemudian terdengar suara mereka bersama pak Lurah dan penduduk desa. Ternyata
mereka membawa jenasah teman-teman kami yang diangkut dengan perahu-perahu
kecil berisi 3 – 4 jenasah setiap
perahu. Saya mengenali jenasah anggota TP. Ada juga 2 jenasah anggota TNI
reguler. Rekan kami, Ridwan, terkena 3 tembakan di leher yang menembus ke
rongga dada. Hapto yang beru berumur 14 tahun dan sering bersama saya berjaga
di markas Wates terluka bacokan di wajah sekitar daerah hidung. Saya sangat
mengenali jenasah Pramono, Djokopramono, Soegiyono, Poernomo dan kalau tidak
salah ada juga jenasah Achmadi. Hanya itu yang dapat ditemukan (yang dibawa ke
Kebumen dari Bumirejo hanya jenasah Soerjoharyono, sehingga jenasah Willy
Hutaoeroek tetap dimakamkan di Bumirejo. Di kemudian hari juga diketahui bahwa
Herman Fernandez ditangkap dan dihukum mati oleh Belanda. Mungkin ada teman
lain yang tertangkap, nyatanya sampai kini tak ada yang kembali).
Pak
Lurah memerintahkan warganya agar segera membuat usungan dari bambu yang banyak
tumbuh di desa itu. Setiap usungan hanya
diisi dengan satu jenasah, ditutup daun pisang dan diikat dengan tali
bambu. Setelah semua siap, semua jenasah segera dibawa ke Karanganyar.
Kesediaan penduduk desa membantu kami mengurus dan mengusung jenasan
teman-teman yang gugur secara ihlas sangat kami rasakan. Meski, karena faktor
usia, saya belum mampu menangkap makna dari peristiwa itu, tapi saya dapat
merasakan kebanggaan atas bantuan penduduk desa yang tanpa pamrih itu.
Perjalanan
dari Sugihwaras ke Karanganyar dimulai sekitar jam 5 sore dan dalam menembus
kegelapan malam kami menggunakan obor yang disediakan oleh penduduk setempat.
Karena jarak cukup jauh, perjalanan jenasah itu dilakukan secara estafet oleh
penduduk desa-desa di sepanjang jalan yang kami lewati. Dua jenasah TNI reguler
dibawa ke markas induknya, bukan ke Karanganyar. Sekitar jam 8 malam lewat,
rombongan pembawa jenasah akhirnya sampai di Karanganyar dan langsung dibawa ke
rumah sakit. Diterangi beberapa batang lilin, jenasah-jenasah itu disemayamkan
di salah satu bangsal rumah sakit. Di situ telah menunggu beberapa teman yang
selamat dalam pertempuran, seorang di antaranya adalah Rinanto sahabat karib
saya. Saya mendapat perintah untuk ikut mengiringi jenasah yang akan dibawa ke
Yogyakarta dengan kereta api.
Setelah
makan nasi bungkus di kompleks rumah sakit, mandi ala kadarnya dan mengambil
tas pakaian di asrama markas induk, saya segera kembali ke rumah sakit. Semua
jenasah kemudian dibawa ke stasiun dan ditempatkan di gerbong khusus. Sekitar
jam 10 malam kami berangkat ke Yogyakarta dalam temaram cahaya lilin. Kereta
berhenti di stasiun Kebumen untuk mengangkut anggota seki Anggoro yang akan
diistirahatkan di sana. Dan jenasah Soejoharyono yang sudah menunggu di situ
bersama rombongan akhirnya disatukan dengan jenasah lain dalam gerbong khusus.
Kereta berhenti agak lama dan saya menyempatkan diri menengok asrama kami di
gereja protestan (GKJ-pen) itu.
Kereta
api diberangkatkan dari Kebumen antara jam 11 – 12 malam. Malam yang sepi dan
hening membuat banyak rekan kami tertidur. Saya tak dapat tidur, dan sesekali
menuju gerbong jenasah yang tanpa rasa takut karena mereka adalah rekan-rekan
seperjuangan yang ditakdirkan gugur mendului kami. Sekitar jam 4 pagi kereta
sampai di stasiun Tugu. Sementara menunggu jemputan yang akan membawa kami ke
Jetis (asrama SGA), datang perintah kepasa saya agar mengiringi jenasah ke RS
Bethesda untuk membantu dan mengenali para jenasah. Memang benar bahwa patugas
penerima jenasah belum tentu mengenali para korban pertempuran Sidobunder dan
sayalah yang dianggap lebih tahu ciri-ciri mereka.
Tugas
di RS Bethesda dapat saya laksanakan dengan baik di antaranya membantu kakak
Djoko Pramono mengenali jenasah adiknya. Beliau menangis setelah membuka daun
pisah yang menutupi tubuh jenasah adiknya. Jam 6 pagi saya ikut kendaraan
menuju asrama SGA di Jetis untuk bergabung dengan rekan-rekan. Sekitar jam 9
pagi ada pengumuman yang membolehkan kami pulang ke rumah masing-masing dan
diberi cuti selama 2 minggu. Bersama Sarbidu yang terhitung sebagai paman
Soehapto yang gugur dan dua teman lain, kami naik delman ke Pakualaman tempat
kami tinggal. Sampai di rumah sekitar jam 10. Berita kedatangan saya yang
dikabarkan selamat ternyata sudah
beredar di sana. Puji syukur dan perasaan sukacita memenuhi anggota keluarga
saya. Kepada ibu, perasaan haru saya tumpahkandan saya dirangkul beliau sambil
menangis. Saya membayangkan betapa akan sedihnya ibu bila saya termasuk yang
gugur mengingat betapa beratnya beliau melepaskan saya waktu pamit ke front.
Tanggal
4 September 1947 sore dikitar jam 3 dilakukan pemakaman jenasah yang diberangkatkan
dari Gedung BPKKP menuju tempat peristirahatan terakhir di Makam Taman Bahagia
Semaki Yogyakarta dengan perhatian penuh warga masyarakat Ibukota Yogyakarta,
khususnya para pelajar. Puluhan karangan bunga sebagai tanda bela sungkawa
masyarakat menyertai iringan jenasah yang diangkut dengan beberapa truk terbuka
dan dijaga rekan-rekan seperjuangannya. Sengan tembakan salvo, teman-teman yang
gugur dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki. Jenasah SoerjoHaryono, atas
permintaan keluarganya, dimakamkan di Kuncen.
Dalam
buku “Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan” yang disinggung di awal tulisan
ini disebutkan 24 anggota TP gugur pada pertempuran Sidobunder, tetapi hanya 20
nama yang tertulis dalam buku itu. Yaitu:
1.
Abunandir
|
2. Herman Fernandez
|
3.
Poernomo
|
4.
Soepadi
|
5.
Achmadi
|
6.
Kodara Sam
|
7.
Pramono
|
8.
Soerjoharyono
|
9.
Ben Rumayar
|
10.
Koenarso
|
11.
Ridwan
|
12.
Tadjoedin
|
13.
Djoko Pramono
|
14.
La Indi
|
15.
Soegiyono
|
16.
Willy Hutaoeroek
|
17.
Harun
|
18.
Losung F
|
19.
Soehapto
|
20. Rinanggar
|
Adapun
yang selamat, seingat saya 12 orang yaitu:
Sarbidu
|
Djokonomo
|
Anggoro
|
Alex Rumambi
|
Santoso
|
Kusdradjat
|
Imam Soekotjo
|
Linus Djentamat
|
Rinanto
|
Sujitno
|
Maulwi Saelan
|
Djokowoerjo
|
Penutup
Di
antara kawan-kawan untuk waktu yang cukup lama saya mendapat julukan si
penyelamat juki. Julukan itu rasanya terlalu berlebihan. Saya meyadari bahwa
memang ada peranan saya, tapi sebenarnya sebatas pelengkap (instrumental) saja.
Bukankah ide penyelamatan itu berawal dari Linus yang dapat menangkap situasi
dan melihat jauh ke depan. Bahwasanya kemudian saya yang mendapat tugas untuk
mengambilnya dari bekas lokasi pertempuran tidak lebih hanya karena sayalah
yang dianggap mengetahui di mana senjata itu berada. Juki itu kemudian
diperbaiki di Yogya dan kabarnya dapat berfungsi lagi.
Dari
pengalaman ini ada 2 hal yang membekas di hati sanubari saya yaitu semangat
perjuangan kawan-kawan yang sanggup mati untuk membela tanah air dan partisipasi
aktif rakyat secara spontan tanpa pamrih dalam perjuangan membela kemerdekaan. Dalam
perjalanan hidup saya kemudian, kesan ini senantiasa saya ingat dalam meniti karir
hidup saya. Saya mengemban cita-cita kawan-kawan
yang gugur, cita-cita generasi muda
terpelajar
yang setinggi langit memimpikan kejayaan tanah air. Semangat kawan-kawan
coba saya bawa meniti karir saya. Mereka saya kenang dalam doa harian saya melambungkan
puji syukur kepada Allah Yang Maharahim. Darma bakti kami kepada nusa dan bangsa.
Semoga ini memenuhi cita-cita kawan-kawan yang yelah mendahuli menghadap Yang Maha
Kudus di surga.
Bogor,
Agustus – September 1995
Biografi ringkas penulis:
· Prof.Dr.drh. Djokowoerjo Sastradipraja adalah pelajar SMA Kotabaru (padmanaba) yang pernah mengenyam latihan dasar kemiliteran di MA Kotabaru saat bergabung dalam pasukan pelajar pejuang kemerdekaan dari Yogyakarta. Front Barat di sekitar Gombong bagian Selatan adalah penugasan pertama di luar Yogyakarta dan sekitarnya bersama sejumlah besar pasukan pelajar yang dikerahkan dari Markas Pusat di Tugu Kulon pada akhir Agustus sampai awal September 1947. Mengaku ikut singgah dan bermalam di asrama markas darurat pelajar pejuang kemerdekaan di kompleks GKJ Kebumen sebelum diberangkatkan ke medan laga.
· Dosen, guru besar serta mantan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Menarik...Herman Fernnadez adalah adik sepupu Opa saya yang tertangkap di Desa Sidobunder karena ingin menyelamatkan Alex Rumambi. Beliau dieksekusi namun jenazah tidak pernah ditemukan. Makamnya di Semaki hanya makam kosong. Di kota kami Larantuka (Flores-NTT) berdiri patungnya sedang membopong Alex Rumambi
Terima kasih atas informasinya. Semoga kita dapat belajar keteladanan para pejuang dari Tentara Pelajar. Kami sangat berharap dapat memberi informasi yang lebih lengkap. Mudah-mudahan ada banyak lagi pembaca yang berkenan memberi masukan, kritik atau saran agar menyempurnakan informasi yang telah tersaji.
Terima kasih sdh berbagi cerita. LINUS DJENTAMAT adalah Opa saya. Selama beliau hidup hingga akhir hayatnya tidak pernah bercerita soal peristiwa ini. Sekarang beliau telah wafat dan dimakamkan di TPU Pd Ranggon Jakarta Timur. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas cerita diatas semoga kita para sanak keluarga dan cucu-cucunya dapat melanjutkan perjuangan para pendahulu kita dengan cara yg berbeda. Salam Jeffrey Andrianto