Sajak ini sangat panjang, karena itu saya bagi jadi dua bagian.
Semoga tidak mengurangi makna dan estetikanya.
Bagian I:
Di warung pinggir jalan
ia menenggak minuman sambil numpang
menyaksikan berita di layar kaca
seorang konglomerat gaek
terjerat kasus penggelapan uang Negara
Dengan amarah membara dalam dada
ia lantas pergi sambil berludah
Lalu, bergegas ia pergi ke taman
Pada pusat kota
Di bawah langit di atas bumi merah putih
seorang kakek berdiri tegap
di depan patung pejuang, tinggi menjulang
Binar matanya mengupas rindu lama
ia melarut di masa revolusi
Ia pandangi wajah patung itu dengan dengus nafasnya
sesekali tergeleng menahan haru
Terkadang dihentakkan kakinya
Mulutnya menggeremang
Hmmm
Getar jiwanya bergolak menggelegak
Tekad semangatnya meletup terbara mengudara
Kepalnya teracung sambil berteriak
Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!
Senyumnya berbalut pahit bercampur getir
membungkus batin mengiringi sia hidupnya,
Mengapa Tuhan belum mengajaknya pulang?
Karena merasa dunia membuangnya
Matahari bias memburai berbagi panas cahaya di kepala
Baju celana basah keringat, dia terus bertahan
Di depan patung pejuang dari perunggu
Lapar dahaga diabaikan, sebagai bukti kepada kawan,
darahnya tetap mengental naluri pejuang tak perlu pujian
Dengan menengadahkan kepala,
kakek itu berkata!
Salam hormat, salam merdeka!
Ingatkah kamu?
Aku ini sobatmu, kita satu regu jadi serdadu
di arena pertempuran berdarah tempo itu
memerangi penjajah yang serakah!
Ketika kamu nyaris disikat peluru, malahan aku jadi korban!
Lihatlah kawan, kaki kananku cacat!
Bila kumat nyerinya, anganku terbawa arus masa dulu,
pertempuran berdarah terus berpacu
sampai hari ini ternyata masih tersisa!
Wahai kawan!
Siapa bilang sejarah bias hilang?!
Aku siap menantang dan mengemplang
siapa berani bicara sembarang, akan ku tendang!
Engkau paham sifatku, aku pantang tersinggung
emosiku spontan menggunung, dengan lengan digulung
aku siap bertarung
Meski bermandi darah, aku tak mau menyerah kalah
Akulah serdadu berhati singa!
Tapi kepada kamu, aku sering mengalah
karena terikat hutang jasa
Kau memang bakat
jadi perwira
Dalam memimpin, aku tak sehebat kamu!
Aku selalu menggunakan otot, sedang kamu memakai otak!
Kau pandai menenangkan keadaan, bila teman rebut
Sementara aku, bukan menyelesaikan perkara
malah timbul keruwetan!
Otakku lebih bagus dibandung otakku!
Kamu pakai otak di kepala, aku pakai otak di dengkul!
Makanya kamu panggil aku, kopral dengkul!
Saking kesalnya, ku lempar kamu dengan batu!
Keningmu berdarah,
Kita pun adu jotos sampai babak belur,
sampai kita kecapekan, lalu kita berjabat tangan,
bersahabat lagi!
Kita memang dua serdadu gila!
Nyali serupa banteng ketaton,
Dengan garang kandang musuh diterjang!
Pantang mundur tak takut nyawa melayang!
Kita terus berperang berkubang darah
Tak kenal kata menyerah atau pasrah
Terus memburu membunuh perusuh
meski senjata cuma sebatang bambu!
Serbu kita berseru!
Majuuu!
Ingatlah kau kawan?!
Banyak kawan seperjuangan
tak cuma cacat, bahkan jadi mayat
buat makan malam si burung bangkai!
Perut kosong tak lantas diam
Meski terlemas, tetap angkat senjata.
satukan tekad, raih merdeka
Modal kita hanya semangat
dan tekad kuat!
Manakala Hirosima Nagasaki
dibantai bom oleh tentara sekutu,
buru-buru proklamasi dikumandangkan
Bung Karno dan Bung Hatta,
kita lepas terpisah
ya kawan!
Setelah Jepang minggat
Inggris dan Nica pesta kerak telor di Betawi
Peluru dihamburkan di rumah-rumah
Karet, Dukuh Atas, Gang Tengah, Sentiong menjerit tersayat
Para penduduk kalang kabut terdesak keadaan kalut
Anak tergeletak ada lubang berdarah di dada
Nenek terhuyung karena lemah jantung
Para pejuang jadi hewan buruan
Di mana para pemuda sembunyi?
Ancol, Kramat, Senin, Tanah Tinggi,
Kalibaru, Bungur dan Kepu mengerang
Deru peluru berdesing membuat udara bising
Luka, cacat dan kematian menyatu dalam darah
Jakarta dalam cengekeraman Inggris
Bedebah !
Inggris dan Nica adalah kawanan macan yang lapar
Menggerayangi seisi negeri demi menguasai hasil bumi
mulut-mulut bau brandy dan wisky
asyik masyuk menikmati pesta maut
Seperti ular mereka terus merambat
Tanah Parahyangan disikat
Bandung Utara dan Selatan menggelepar
Derap langkah serdadu, amarah rakyat terpicu
Di Sekeloa, Stasiun, Viaduct, Lengkong-Cikawao
Dan Waringin pertempuran bagai pesta darah,
mesiu dan pesta kembang api!
Sepanjang jalan Garuda
Baku perang tembak tiga hari tiga malam
Bandung mengukir api di langit
Udara bau anyir darah dan daging terpanggang
Bandung harus dikosongkan
Seru Inggris dan Nica