Mengunduh adalah istilah yang sangat umum bagi pengguna internet. Dalam
arti sederhana, mengunduh itu mengambil data yang tersedia di internet dalam
beragam bentuk, ukuran, sifat dan
kegunaan. Ada yang dapat diunduh cuma-cuma alias gratis. Tapi ada juga yang
berbayar dalam nilai dan rentang waktu tertentu. Yang gratis tentu lebih banyak
dicari dan diambil dari pada yang berbayar. Meski gratis, kadangkala tidak
mudah dilakukan atau mengandung virus yang menempel pada data itu.
Sebagai pengguna internet yang cukup lama, lebih dari satu dasawarsa,
mengunduh data di internet selalu saya
lakukan secara hati-hati dan bertahap. Pertama, menimbang sisi kebutuhan atau
manfaat. Kedua, mengetahui kemampuan alat dan mengukur risiko. Ketiga, masalah
penghargaan bagi pengunggah.
Di dunia nyata, masalah mengunduh telah menjadi hal biasa dengan banyak
catatan. Biasanya, sang pengunduh adalah orang yang menanam dan memeliharanya
baik dilakukan sendiri atau dengan cara menyuruh orang lain yang cakap dan
dipercaya tentu disertai suatu nilai apresiasi. Tapi, fenomena yang sering
muncul saat ini adalah pengunduh bukan pihak yang menanam dan memelihara tapi
dengan mudah dan seolah tanpa rasa bersalah telah “mengambil hak” orang lain. Alasan
mengunduh tanpa upaya apresiatif atau bahkan sangat depresiatif karena “merasa
berhak” atas unduhan itu.
Satu contoh aktual adalah “fenomena Yoda” di Kebumen. Ketika ia
masih menjadi penyanyi lokal dan seorang yang biasa, Pemerintah Kabupaten
Kebumen khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tidak pernah menaruh minat
pada potensi besar ekonomi kreatif lokal itu. Begitu dia menjadi finalis
Indonesia Idol, hampir semua orang membicarakan dan banyak mobil dinas pejabat
penting dipasang banner bergambar Yoda dan Bupati Kebumen. Dalam contoh ini,
saya tidak dapat memastikan apakah cara itu termasuk apresiatif atau
depresiatif.
Ada contoh lain, saat terjadi kerusuhan massa 7 dan 8 September 1998,
kota Kebumen dilanda suasana kacau. Gerakan massa dan pembakaran toko atau
simbol-simbol ekonomi yang kebanyakan milik keturunan Tionghoa bermula persis
di depan kantor Polsekta Kebumen dan terus membesar. Saat itu, saya mengajak
masyarajat sekitar Keposan yang merupakan kompleks Pecinan terbesar
untuk melakukan pemblokiran jalan dengan membuat barikade di ujung-ujung gang
yang menjadi akses ke atau dari arah belakang. Tanpa berpikir apapun selain
secara naluriah tergerak oleh inspirasi para orang tua kami di Batalyon Veteran
dan Demobilisan Pelajar (Yonved) saat menerima panggilan negara di berbagai medan. Di sela ketegangan yang
memuncak, saya sempat melontarkan satu icon “unduhane” yang sebenarnya
merupakan sindiran bagi para penumpang gelap dan pahlawan kesiangan yang selalu
muncul di tengah atau terutama setelah situasi bahaya lewat.
Itulah sedikit cerita tentang unduhan yang saya tahu mengandung beragam
sisi dan berpotensi menjadi cara yang sangat depresiatif dan berakhir seperti
pepatah “habis manis sepah dibuang”. Apakah fenomena Yoda akan demikian ?
Wallahu ‘alam bissawab.