Pagi itu, langit Jakarta agak mendung. Hari pertamaku masuk
di lingkungan Kedutaan Besar Jerman. Saya dipercaya sebagai sopir istri Duta Besar.
Kebetulan beliau cukup fasih berbahasa Belanda, begitu juga saya. Setelah
membersihkan kendaraan dan menyiapkan segala keperluan yang biasa majikan bawa, saya
bergegas mandi dan berganti pakaian resmi. Tentu dengan seragam sopir: celana
panjang warna gelap, baju putih berlengan panjang dan memakai tuksedo.
Majikan berencana belanja buah dan sayuran di Pasar
Mayestik sambil melihat atau belli souvenir khas Indonesia yang tersedia juga
di pasar itu. Terjadi dialog singkat dalam Bahasa Belanda dan sedikit Bahasa Inggris.
“ Bapak sopir, saya ingin berbelanja di Pasar Mayestik
dan terus ke Istana Bogor untuk mengikuti acara kenegaraan bersama Ibu Negara
dan para istri Duta Besar”, katanya singkat.
“Baik Ibu Duta Besar. Saya siap mengantar ke tempat
tujuan yang anda kehendaki", jawab sang sopir singkat pula.
Selain jadi sopir, ayah juga berperan selaku penerjemah,
penunjuk jalan dan tameng badan. Ketika melamar pekerjaan, ia memang
diposisikan sebagai sopir. Tapi, oleh asisten employees officer Kedutaan direkomendasikan
merangkap jabatan berdasarkan hasil wawancara dan konfirmasi dengan beberapa
orang yang disebut-sebut oleh ayah sebagai teman atau bekas atasan.
Sejak “duel maut” di lapangan upacara SSKAD yang
berakhir dengan kematian sang instruktur karena terkena tembakan persis di
tengah antara dua matanya oleh salah satu teman yang berada sekitar 25m di
belakang nya, ayah dijebloskan ke bui CPM selama satu bulan lebih seminggu. Suasana 1953 memang masih cukup kental dengan aroma herosime. Begitu bebas, ayah dititipkan di salah satu markas batalyon Angkatan Darat
sekitar kota Bandung selaku staf administrasi, tapi tanpa tugas dan posisi
duduk yang jelas. Ia harus menerima konsekuensi turun pangkat dari Letnan Satu
jadi Sersan Mayor. Tiga bulan lamanya bertahan dalam situasi yang serba kikuk,
saat diberi kesempatan libur seminggu
dan dibolehkan ke luar kompleks, ayah memutuskan untuk desersi dan melarikan
diri ke Jakarta.
Perjalanan dalam pelariannya itu ditempuh tiga hari. Ayah tak berani menumpang angkutan umum: bus atau kereta api. Pilihan utama adalah
menumpang truk sayuran yang memasok beberapa pasar di Jakarta dari para petani sayuran
di Pengalengan dan Lembang. Langkah kaki ayah segera menuju Pengalengan yang
lebih aman dari pada Lembang. Ia teringat
seorang teman seperjuangan yang jadi petani di sana.
Berjalan kaki jarak jauh bagi ayah adalah hal biasa,
bahkan dengan tambahan beban yang mengisi ransel. Tapi perjalanan saat ini adalah
melakukan misi pribadi dan tak boleh diketahui oleh siapapun jati dirinya.
Lorong jalan di antara rumah-rumah penduduk, pekarangan dan sawah adalah rute yang cukup aman. Memang akan menambah lama
perjalanan itu.
Menjelang tengah hari ayah baru sampai di pinggir
wilayah Pengalengan. Setengah atau satu jam lagi waktu yang diperlukan untuk
mencapai rumah teman yang dituju. Jalan
raya nampak sepi lalu lintas. Tiba-tiba muncul sebuah jeep dari arah yang
hendak ia tuju. Semua penumpangnya berpakaian CPM dan menyandang senjata
otomatis. Ayah segera melompat ke dalam
parit yang ada di sela kebun sawi. Beruntung tanahnya cukup kering. Ia menunggu
saat yang tepat untuk bangun dan meneruskan langkahnya.
Sekitar satu jam ayah menjaga posisi badan tetap
telungkup. Seorang perempuan buruh tani
mendekat dan hampir berteriak. Ayah memberi tanda agar perempuan itu diam.
Ternyata badan ayah tertutup oleh daun pisang yang biasa dipakai petani untuk
menutup sayuran agar tidak menjadi santapan serangga yang selalu disiapkan oleh
para petani menjelang masa panen. Daun-daun pisang itu diletakkan berdiri dan
dibuat seperti tenda. Ada satu pelepah kelapa yang menimpa dan merobohkan sampai
menutup sebagian besar tubuh ayah yang berperakan tinggi – besar.
Raut wajah perempuan itu masih nampak ketakutan. Dengan
dialek Sunda yang sangat kental, perempuan buruh tani itu menjawab beberapa
pertanyaan ayah. Lahan dan buruh tani tadi adalah milik teman yang ingin dijumpainya. Benar dugaannya, jeep dan sejumlah tentara yang dilihatnya tadi memang kembali dari rumah
yang dituju. Kemudian ayah menyuruh perempuan itu kembali ke rumah teman serta
segera memberitahu kedatangannya.