Panggilan shalat ‘Isya masih terdengar sayup-sayup dari mushala sebelah
rumah Dullah. Kami berpisah di saat-saat terakhir menjelang longmarch ke
daerah-daerah (kantong) gerilya. Ia putuskan berpisah dengan teman-teman
pejuang pasca peristiwa Bandung Lautan Api dan tetap di sekitar tempat lahirnya.
Ayah Dullah adalah petani sayuran yang jadi pemasok bagi tentara Belanda.
Sesekali Dullah diajak ayahnya mengantar sayuran ke markas tentara itu dengan
pedati.
Sejak bergabung dengan IPI Bagian Pertahanan (Tentara Pelajar
Siliwangi), Dullah hampir tak pernah mengantar sayuran itu. Kecuali ketika
ayahnya sakit atau pergi ke kota lain. Orangnya pendiam, santun dan taat
beribadah. Ia selalu ditunjuk sebagai imam dan khotib shalat Jum’at di pasukan
yang dipimpin Kang Ihin. Perkenalan dengan Djasmin terjadi karena sebuah
kecelakaan kecil.
Saat itu, ia dan teman-teman pasukan bagian teknik sedang membersihkan
juki. Senjata otomatis serupa brendgun ala pasukan Jepang. Untaian peluru akan
dimasukkan ke kotak. Djasmin yang duduk tak jauh darinya tengah bersiap
membersihkan pistolnya. Entah sebab apa, mungkin ceroboh dan tergesa-gesa,
pistol itu belum dikunci dan melesatkan sebuah peluru yang mengenai dinding dan
memantul kearah badan Dullah yang tengah berkonsentrasi membereskan
pekerjaannya. Orang-orang di sekitarnya berteriak: “ awas peluru… dasar budak
gelo sia..!!”. Dullah bereaksi cepat dengan memiringkan badan dan menarik kotak
peluru sekuatnya. Nahas, pantulan peluru itu menyerempet ibu jari kaki kirinya
sebelum menghujam tanah. Tidak membuat
remuk, tapi darah mengalir cukup deras dari jarinya.
Takdir Illahi tak pernah ada yang tahu. Setelah peristiwa itu, Dullah
dan Djasmin jadi sahabat karib. Djasmin yang selama ini merasa tak pernah punya
saudara sepertinya menemukan pada diri seorang Dullah. Demikian juga dengan
Dullah yang anak tunggal. Bahkan ia membimbing Djasmin beribadah dan mengajari
Bahasa Sunda. Di sela waktu tanpa pertempuran, sesekali Dullah mengajak Djasmin
berkunjung ke ladang dan rumah keluarga di Pengalengan. Mereka saling berbagi cerita,
ilmu dan pengalaman.
*****
Adzan maghrib terdengar sayup-sayup dari rumah pak Engkus, ayah Dullah. Ketiga
lelaki itu bergegas menuju mushala yang berjarak sekitar 20m. Selain juragan,
pak Engkus adalah ajengan. Pemuka masyarakat dan imam di mushala itu. Begitu
mengetahui kedatangan pak Engkus, seorang jamaah member tanda agar bilal
(penyeru adzan) untuk iqomah. Semua bergegas mengisi baris-baris kosong di
mushala yang tak seberapa besar itu untuk bersiap shalat.
Keakraban pertemanan antara Dullah dan Djasmin telah diketahui oleh pak
Engkus dari cerita anaknya. Karena itu, kedatangan Djasmin di rumahnya yang
didului oleh kedatangan pasukan CPM tak membuat gelisah hati pak Engkus.
“ Nak Djasmin, ini ada titipan dari CPM. Katanya dari Kang Ihin ..”,
kata pak Engkus setelah acara makan malam berakhir sambil menyodorkan sebuah
bungkusan.
Raut wajah Djasmin agak masam dengan kerutan yang sangat kuat. Di depan
pak Engkus dan Dullah ia buka bungkusan itu. Sebuah amplop surat dan … pistol
beserta peluru. Tak ada kertas di dalam
amplop itu selain beberapa lembar uang kertas.
Pak Engkus menyela, “ nak Djasmin jadi ke Jakarta..?”
“ Jadi pak. Kalau diijinkan saya ingin menumpang truk sayur yang akan ke
sana”, jawabnya dalam nada lemah.
“Kebetulan. Sejam lagi ada truk yang akan mengantar sayuran dan buah
petani ke Pasar Mayestik. Nak Djasmin boleh ikut dan mendampingi sopir. Kata
Dullah, nak Djasmin mahir menyetir juga. Kalau tidak lelah boleh bergantian
menyetir…”, senyum pak Engkus merekah.
Menjelang subuh mereka telah sampai di depan Pasar Mayestik. Beberapa
pedagang langganan telah menunggu kedatangan truk itu. Saat akan berpamitan
dengan sopir dan mengucap terima kasih, Djasmin dikejutkan lagi dengan
perkataan sang sopir.
“ Kang Djasmin… tadi pak Engkus menitipkan sebuah kotak buat akang yang
saya taruh di bak belakang. Entah apa isinya, tapi cukup berat. Dan pesan
beliau adalah agar saya menyediakan satu kamar buat akang sebelum kembali ke
rumah akang di Kampung Bali Matraman. Bahkan, kalau akang mau, ada satu paviliun
kecil di samping rumah yang bisa dipakai buat akang. Soal keadaan dan isinya,
nanti akang melihat sendiri”, sambil mengajak berjalan menuju warung kopi di seberang
jalan.
Sebagai pedagang sayur dan buah yang cukup sukses, pak Engkus memang
membeli sebuah rumah tak jauh dari Pasar Mayestik. Kira-kira 10 menit jarak
tempuhnya dengan berjalan kaki. Sebelumnya, rumah itu milik istri muda seorang
ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda). Menjelang Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945, sang ambtenaar memilih tinggal di negeri Belanda dan hidup di
sana bersama istri pertama. Sementara itu, istri muda yang berasal dari Bandung
kembali ke tanah kelahiran. Rumah itu dititipkan kepada tetangga yang masih
sepupu dengan pak Engkus. Setelah dibeli, pak Engkus memanfaatkan rumah itu
sebagai rumah singgah keluarga di Jakarta.
Djasmin menerima tawaran untuk menempati paviliun rumah pak Engkus. Kotak pemberian pak Engkus berisi 3 stel
pakaian lengkap dan berbahan mahal, dua stel pakaian petani Sunda, sarung dan
perlengkapan shalat serta sebuah Al Qur’an serta beberapa perbekalan hidup
seperti beras, gula, kopi, teh dan dendeng bumbu kesukaannya. Tanpa terasa ia
meneteskan air mata, satu hal yang sangat lama tak terjadi. Djasmin muda
membentuk dirinya sebagai manusia keras hati dan kepala. Pantang menyerah,
pantang mundur sebelum pertempuran usai, begitu yang sering dikatakan. Beragam
rasa: sedih, haru, bahagia, marah dan entah apa lagi berbaur jadi satu. Sikap
keras hatinya sering membuat miris orang-orang terdekat. Dan itulah yang
membuat dirinya menuju ke Kedutaan Besar Jerman, melamar pekerjaan sebagai
sopir.
Sikap dan prestasinya menarik perhatian sang Duta Besar. Suatu siang
Djasmin dipanggil ke ruang kerjanya. Bapak Dubes mencecar dengan banyak
pertanyaan menyudutkan dan membuka semua “kedok”. Ia mengakui bahwa saat ini
tengah menjalani perkuliahan ekstensi di Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik
Universitas Indonesia Salemba. Juga
kursus dagang di sebuah sekolah Tionghoa tak jauh dari kampus Salemba. Dari semua
jawaban, Bapak Dubes kemudian
memberitahu bahwa mulai minggu depan ia dipindah-tugaskan di kantor Dubes
selaku staf administrasi kepegawaian dan wajib
tinggal di mess. Tugasnya sebagai sopir akan digantikan oleh yang lain.
Peristiwa itu tak pernah dilupakan sepanjang hidupnya. Ayah menjadi
satu-satunya staf Kedubes yang diberi ijin membawa pistol dan diberi kendaraan
dinas sebuah sepeda motor BMW. Tetap diberi kesempatan menjalani proses
kehidupan di luar lingkungan formal Kedubes dan jadi pengawal pribadi di luar
waktu dinas Dubes. Perubahan besar ini tak mengubah gaya dan karakter ayah yang
keras hati dan kepala. Bahkan sering dilibatkan dalam kegiatan intelejen.
Pengalaman ini kelak membuat dirinya dipercaya mengelola sebuah perusahaan
multi nasional dari lingkungan Pecinan di Semarang.