Kakekku Preman, Ayahku Juga. Aku….?? (Bagian III)



Panggilan shalat ‘Isya masih terdengar sayup-sayup dari mushala sebelah rumah Dullah. Kami berpisah di saat-saat terakhir menjelang longmarch ke daerah-daerah (kantong) gerilya. Ia putuskan berpisah dengan teman-teman pejuang pasca peristiwa Bandung Lautan Api dan tetap di sekitar tempat lahirnya. Ayah Dullah adalah petani sayuran yang jadi pemasok bagi tentara Belanda. Sesekali Dullah diajak ayahnya mengantar sayuran ke markas tentara itu dengan pedati.

Sejak bergabung dengan IPI Bagian Pertahanan (Tentara Pelajar Siliwangi), Dullah hampir tak pernah mengantar sayuran itu. Kecuali ketika ayahnya sakit atau pergi ke kota lain. Orangnya pendiam, santun dan taat beribadah. Ia selalu ditunjuk sebagai imam dan khotib shalat Jum’at di pasukan yang dipimpin Kang Ihin. Perkenalan dengan Djasmin terjadi karena sebuah kecelakaan kecil.

Saat itu, ia dan teman-teman pasukan bagian teknik sedang membersihkan juki. Senjata otomatis serupa brendgun ala pasukan Jepang. Untaian peluru akan dimasukkan ke kotak. Djasmin yang duduk tak jauh darinya tengah bersiap membersihkan pistolnya. Entah sebab apa, mungkin ceroboh dan tergesa-gesa, pistol itu belum dikunci dan melesatkan sebuah peluru yang mengenai dinding dan memantul kearah badan Dullah yang tengah berkonsentrasi membereskan pekerjaannya. Orang-orang di sekitarnya berteriak: “ awas peluru… dasar budak gelo sia..!!”. Dullah bereaksi cepat dengan memiringkan badan dan menarik kotak peluru sekuatnya. Nahas, pantulan peluru itu menyerempet ibu jari kaki kirinya sebelum menghujam tanah.  Tidak membuat remuk, tapi darah mengalir cukup deras dari jarinya.

Takdir Illahi tak pernah ada yang tahu. Setelah peristiwa itu, Dullah dan Djasmin jadi sahabat karib. Djasmin yang selama ini merasa tak pernah punya saudara sepertinya menemukan pada diri seorang Dullah. Demikian juga dengan Dullah yang anak tunggal. Bahkan ia membimbing Djasmin beribadah dan mengajari Bahasa Sunda. Di sela waktu tanpa pertempuran, sesekali Dullah mengajak Djasmin berkunjung ke ladang dan rumah keluarga di Pengalengan. Mereka saling berbagi cerita, ilmu dan pengalaman.

*****
   
Adzan maghrib terdengar sayup-sayup dari rumah pak Engkus, ayah Dullah. Ketiga lelaki itu bergegas menuju mushala yang berjarak sekitar 20m. Selain juragan, pak Engkus adalah ajengan. Pemuka masyarakat dan imam di mushala itu. Begitu mengetahui kedatangan pak Engkus, seorang jamaah member tanda agar bilal (penyeru adzan) untuk iqomah. Semua bergegas mengisi baris-baris kosong di mushala yang tak seberapa besar itu untuk bersiap shalat.

Keakraban pertemanan antara Dullah dan Djasmin telah diketahui oleh pak Engkus dari cerita anaknya. Karena itu, kedatangan Djasmin di rumahnya yang didului oleh kedatangan pasukan CPM tak membuat gelisah hati pak Engkus.
“ Nak Djasmin, ini ada titipan dari CPM. Katanya dari Kang Ihin ..”, kata pak Engkus setelah acara makan malam berakhir sambil menyodorkan sebuah bungkusan.
Raut wajah Djasmin agak masam dengan kerutan yang sangat kuat. Di depan pak Engkus dan Dullah ia buka bungkusan itu. Sebuah amplop surat dan … pistol beserta peluru.  Tak ada kertas di dalam amplop itu selain beberapa lembar uang kertas.
Pak Engkus menyela, “ nak Djasmin jadi ke Jakarta..?”
“ Jadi pak. Kalau diijinkan saya ingin menumpang truk sayur yang akan ke sana”, jawabnya dalam nada lemah.
“Kebetulan. Sejam lagi ada truk yang akan mengantar sayuran dan buah petani ke Pasar Mayestik. Nak Djasmin boleh ikut dan mendampingi sopir. Kata Dullah, nak Djasmin mahir menyetir juga. Kalau tidak lelah boleh bergantian menyetir…”, senyum pak Engkus merekah.

Menjelang subuh mereka telah sampai di depan Pasar Mayestik. Beberapa pedagang langganan telah menunggu kedatangan truk itu. Saat akan berpamitan dengan sopir dan mengucap terima kasih, Djasmin dikejutkan lagi dengan perkataan sang sopir.
“ Kang Djasmin… tadi pak Engkus menitipkan sebuah kotak buat akang yang saya taruh di bak belakang. Entah apa isinya, tapi cukup berat. Dan pesan beliau adalah agar saya menyediakan satu kamar buat akang sebelum kembali ke rumah akang di Kampung Bali Matraman. Bahkan, kalau akang mau, ada satu paviliun kecil di samping rumah yang bisa dipakai buat akang. Soal keadaan dan isinya, nanti akang melihat sendiri”, sambil mengajak berjalan menuju warung kopi di seberang jalan.

Sebagai pedagang sayur dan buah yang cukup sukses, pak Engkus memang membeli sebuah rumah tak jauh dari Pasar Mayestik. Kira-kira 10 menit jarak tempuhnya dengan berjalan kaki. Sebelumnya, rumah itu milik istri muda seorang ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda). Menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sang ambtenaar memilih tinggal di negeri Belanda dan hidup di sana bersama istri pertama. Sementara itu, istri muda yang berasal dari Bandung kembali ke tanah kelahiran. Rumah itu dititipkan kepada tetangga yang masih sepupu dengan pak Engkus. Setelah dibeli, pak Engkus memanfaatkan rumah itu sebagai rumah singgah keluarga di Jakarta.

Djasmin menerima tawaran untuk menempati paviliun rumah pak Engkus.  Kotak pemberian pak Engkus berisi 3 stel pakaian lengkap dan berbahan mahal, dua stel pakaian petani Sunda, sarung dan perlengkapan shalat serta sebuah Al Qur’an serta beberapa perbekalan hidup seperti beras, gula, kopi, teh dan dendeng bumbu kesukaannya. Tanpa terasa ia meneteskan air mata, satu hal yang sangat lama tak terjadi. Djasmin muda membentuk dirinya sebagai manusia keras hati dan kepala. Pantang menyerah, pantang mundur sebelum pertempuran usai, begitu yang sering dikatakan. Beragam rasa: sedih, haru, bahagia, marah dan entah apa lagi berbaur jadi satu. Sikap keras hatinya sering membuat miris orang-orang terdekat. Dan itulah yang membuat dirinya menuju ke Kedutaan Besar Jerman, melamar pekerjaan sebagai sopir.

Sikap dan prestasinya menarik perhatian sang Duta Besar. Suatu siang Djasmin dipanggil ke ruang kerjanya. Bapak Dubes mencecar dengan banyak pertanyaan menyudutkan dan membuka semua “kedok”. Ia mengakui bahwa saat ini tengah menjalani perkuliahan ekstensi di Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik  Universitas Indonesia Salemba. Juga kursus dagang di sebuah sekolah Tionghoa tak jauh dari kampus Salemba. Dari semua jawaban, Bapak Dubes  kemudian memberitahu bahwa mulai minggu depan ia dipindah-tugaskan di kantor Dubes selaku staf administrasi kepegawaian dan wajib  tinggal di mess. Tugasnya sebagai sopir akan digantikan oleh yang lain.

Peristiwa itu tak pernah dilupakan sepanjang hidupnya. Ayah menjadi satu-satunya staf Kedubes yang diberi ijin membawa pistol dan diberi kendaraan dinas sebuah sepeda motor BMW. Tetap diberi kesempatan menjalani proses kehidupan di luar lingkungan formal Kedubes dan jadi pengawal pribadi di luar waktu dinas Dubes. Perubahan besar ini tak mengubah gaya dan karakter ayah yang keras hati dan kepala. Bahkan sering dilibatkan dalam kegiatan intelejen. Pengalaman ini kelak membuat dirinya dipercaya mengelola sebuah perusahaan multi nasional dari lingkungan Pecinan di Semarang.    

This entry was posted in ,. Bookmark the permalink. Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia Kebumen, Indonesia

Leave a Reply