Banyak orang enggan disebut preman karena kesan umum yang terlanjur negatif.
Sebenarnya, semua orang sipil (bukan militer) dan partikelir (swasta) adalah
preman yang sebenarnya. Entah bagaimana asal usulnya, sebutan preman dipakai
untuk menunjuk orang yang berperilaku kasar, liar, suka memaksakan kehendak,
menonjolkon kemampuan otot dan lain-lain sikap asosial.
Seorang pemberani dan memegang sikap hidup acapkali mendapat sebutan yang
kurang lebih sama dengan preman. Jika yang dimaksud preman adalah seperti
gambaran di atas, berapa banyak “priyayi”, orang-orang yang nampak lembut penampilan,
tutur bahasa dan tindak tanduknya justru lebih berbahaya bagi sebagian besar
masyarakat. Yang terpopuler adalah para koruptor dan manipulator di berbagai
lembaga Negara atau pemerintah. Ini dari sudut pandang korban. Aku (saya)
sangat yakin jika seorang koruptor kelas teri mampu melumpuhkan ratusan, bahkan
ribuan orang lain karena tindakannya. Begitu juga terhadap para manipulator di
lembaga-lembaga publik: legislatif, eksekutif dan khususnya yudikatif. Satu
produk undang-undang yang dimanipulasi untuk kepentingan sesaat berakibat
ratusan ribu atau jutaan orang kehilangan masa depan.
Dalam realitas kehidupan sosial kita akhir-akhir ini, ada kecenderungan
menyudutkan seseorang dengan sebutan preman. Egosentrisme dan sektarianisme
yang kian mengemuka dalam pola hidup masyarakat, kita dengan mudah memberi “cap
preman” kepada orang lain yang memegang sikap hidupnya dengan risiko kehilangan
nyawa. Apalagi hanya harta benda yang pasti dapat dicarikan gantinya Tetapi cap
itu segera berganti jadi “pahlawan” di saat ia merasa terlindungi dengan
kehadirannya, terutama ketika situasi genting atau darurat.
Ambiguitas, hermaprosiditas dan sejenisnya sebenarnya merupakan sumber
kekacauan utama dalam kehidupan masyarakat kita sejak masa penjajahan. Karena
itu, seorang pejuang sejati tak akan pernah meninggalkan keyakinan yang
dipegang sampai nyawa meregang. Dengan sikap itu pula, Indonesia Merdeka ada.
Tak ada rasa takut sedikitpun ketika disisihkan dari arena pergulatan hidup
yang tak berpola, diisi oleh orang-orang yang tak segan melacurkan diri untuk
melapangkan jalan meraih ambisi pribadi maupun kelompok. Merekalah yang
sebenarnya paling pantas disebut preman dalam konteks kekinian. Pelacuran
intelektualitas yang merebak di segala sisi kehidupan jauh lebih berbahaya dibanding
“preman – isme !!!”.
Karena itulah, aku tak ingin meninggalkan identitas “preman” yang telah
disandang turun temurun dalam keluarga. Jika seorang pelajar perempuan saja
berani menghadapi tantangan maut di tengah hujan peluru di masa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan, mengapa yang hidup di jaman aman harus bersikap
pengecut? Hidup adalah perjuangan, bukan hanya ada di dalam syair lagu. Dan
perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya bukan hanya
terjadi di saat melawan penjajah asing. Penjajahan oleh pribumi justru lebih
mengerikan dan itulah yang terjadi saat ini. Ketika banyak orang “merasa berhak”,
tapi tak pernah melakukan kewajibannya dengan benar dan baik.
Lihatlah burung-burung bangkai itu
ada yang perlente dan kemayu
mengoyak sampah kehidupan
Dalam sombong dan pongah
dalam putus asa yang tiada berperi
mengais sampah, menebar aroma busuk
dan menyimpannya dalam saku
pundi-pundi kertas segala rupa
di atas derita sesama
dalam pedih hati yang terluka
menanti ajal kan tiba
Kepada sang garuda
aku berjanji
tak kan surut sampai
ajal menjemput
tak kan mundur
sebelum bertempur
dan tak kan ada sepakat
dengan hianat
Karena aku sang preman…..
bukan centeng yang suka petantang petenteng
bukan pula pengecut yang suka mencatut
karena aku sang preman….
bukan orang tak beriman
bukan pula bajingan yang kurang sopan
apalagi pejabat
yang berjahat
***
Anganku terus mengembara ke masa silam. Hari itu ratusan orang bergerak
meradang dari satu sisi ke sisi lain penghuni kota. Api kecil di depan kantor
polisi telah membesar dan menghanguskan banyak harta benda dan seorang tuna
daksa keturunan Tionghoa. Naluri menggerakkan langkah kaki ini ke kompleks
pecinan yang jaraknya hanya sejengkal dari barisan massa yang mengamuk,
menumpahkan segala amarah tanpa arah tujuan yang jelas.
Ajang bagi para petualang untuk memanfaatkan kesempatan itu meraup
keuntungan. Berbekal lembaran kertas bergambar, mereka menjual diri dengan
imbalan uang untuk suatu perlindungan yang tak pernah diwujudkan. Preman
politik berbaur dengan preman otot dan para peminum alkohol kelas teri. Lagu “ Hanoman Obong” jadi sangat popular
melebihi lagu wajib yang dinyanyikan saat upacara 17 Agustus-an. Api terus
menjalar ke segala arah, harta benda ludes dijarah. Apa sebab mereka marah
tiada berarah??? Siapa yang menggerakkan ??
Aku ingat satu kata keluar dari mulut kepala polisi pada malam pertama. “
Sisakan sedikit buat kita !”. Yah… memang benar kasus itu ditangani oleh pihak
kepolisian dengan mendatangkan sejumlah anggota pasukan Brimob dan tentara dari
berbagai daerah dan kesatuan. Ada sebagian kecil yang berseragam hitam ala
petani, tapi menyandang M16. Bahkan rumah keluarga kami sempat jadi pos
sementara setelah ibuku menyilakan, Beliau mengingatkan kejadian serupa di
tahun 1965.
Saat itu, kekacauan terjadi di mana-mana. Isu pemberontakan oleh dewan
jenderal yang salah satunya dikomandoi orang kelahiran kotaku membuat suasana
kian mencekam. Apalagi tersiar kabar jika Kodim telah dikuasi oleh kelompok
mereka. Dan sang komandan diusir dari pos oleh wakilnya. Ayah dan sejumlah
kecil bekas Tentara Pelajar seolah tergerak untuk segera bertindak. Ada 30-an
orang terkumpul dan menunjuk Kepala Kantor Transmigrasi sebagai komandan
pasukan pelajar pejuang kemerdekaan itu. Ayah jadi wakil dan sekaligus komandan
patroli. Mereka meminta bantuan kepolisian Negara untuk menyediakan sejumlah
senjata api yang ada di sana. Kebanyakan dari jenis LE yang semi otomatis dan
berkaras panjang. Markas sementara ditetapkan di rumah kami (kelanjutan cerita
ini ada dalam tulisan….).
Waktu memang akan menunjuk arah yang sama suatu ketika. Ada pengulangan
dan itulah yang nampaknya kurasakan saat melakukan hal serupa dengan ayah di
masa lalu. Bedanya, aku tak beratribut dan tetap memelihara sikap selaku “preman”. Bukan anggota militer atau yang disetarakan
dengannya. Hampir sebulan tak pernah tidur malam dan lebih dari 6 jam sehari
semalam. Ada satu tanda yang memudahkan orang-orang di sekeliling dalam membangun
tidurku. Jika suara dengkur itu telah datar, silakan. Begitulan yang selalu
kukatakan kepada mereka.
Di antara beragam hal yang kuhadapi di masa genting itu, ada dua yang
terus diingat. Pertama, mengantarkan anak Bupati dari satu titik singgah ke
rumah dinas yang jaraknya tak begitu jauh, tapi rawan. Kedua dan hampir menghilang
adalah sebutan atau icon “unduhan”. Icon ini sangat popular dan jadi “trade
mark kepremanan”-ku. Satu sindiran buat para pengunduh, yaitu orang-orang yang
merasa berjasa setelah kondisi aman. Tadinya, icon ini sekadar menggantikan
istilah “pahlawan kesiangan” yang sangat kutentang karena melecehkan makna
pahlawan.
Itulah cerita sang preman. Kesamaan peran dengan ayah mungkin suatu
kebetulan, tapi bukan satu kebenaran. Dan karenanya, aku bangga jadi sang
preman. Orang bebas, merdeka. Tetap sipil, bukan militer. Hanya satu cara untuk
memelihara makna, “bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”. Gak lebay,
bukan pula alay. Semua biasa dan biasa. Tinggal cara kita mewujudkan makna itu,
meski tanpa atribut. Semoga.