Perjalanan hidup manusia tak kan ada yang tahu. Kita boleh berencana
tentang apa saja, dan segala hal yang ada di dalam rasa dan karsa. Impian,
cita-cita atau strategic planning adalah upaya yang wajib dilakukan sebatas
kemampuan. Dalam satu keyakinan bahwa hasil telah ditentukan oleh Sang Maha
Kuasa atas segala sesuatu di dunia dan alam raya ini.
Setahun sudah ayah menjadi orang sipil, preman di lingkungan terbatas
Kedubes Jerman. Beliau diberi hak cuti seminggu dan dimanfaatkan untuk menengok
sang ayah yang kini tinggal bersama ibu tiri di Kebumen. Tapi mampir di
Bandung, melepas rindu pada kota kembang yang penuh kenangan dan bersilaturahmi
dengan keluarga Dullah selama tiga hari. Saat Dullah menikah dan ada undangan
untuk itu, Djasmin tak diberi ijin cuti. Juga ketika Dullah berkunjung di rumah
sekitar Pasar Mayestik untuk melakukan tugas ayahnya.
Dalam tradisi umum masyarakat komunal suku-suku bangsa yang banyak
terdapat di Indonesia, faktor kekerabatan biasanya dijaga kuat. Meski telah
menikah dan tinggal di rumah sendiri, Dullah tinggal tak jauh dari orangtua. Ia
memang diharapkan dapat menjadi pengganti sang ayah yang petani sayur dan buah
serta ajengan bagi komunitasnya. Istrinya adalah noni indo Belanda, anak
keturunan pegawai pemerintah Hindia Belanda dan teman sekolah.
Meski hanya berpisah setahun, kerinduan ayah pada sahabat karib dan
saudara angkat ini luar biasa. Kangen…. Itulah yang selalu ada di benak ayah
sebelum pergi ke Bandung. Begitu juga Dullah. Perbedaan sifat yang seperti bumi
dan langit tak memisahkan jarak persaudaraan. Bahkan mengayakan keduanya.
Dullah yang pendiam, alim dan sederhana. Sedangkan Djasmin aktif, sektarian dan
eksklusif. Rencana Sang Maha Kuasa meleburkan perbedaan itu dan saling
menguatkan.
Kerinduan yang begitu dalam di antara dua sahabat karib itu hampir
melupakan rencana ayah untuk mengunjungi orang tuanya. Dengan berat hati ayah
meninggalkan rumah Dullah menuju stasiun kota Bandung. Setelah berpamitan
dengan keluarga pak Engkus, ayah merenung sepanjang perjalanan. Yah.. usianya
telah 27, tapi ia masih membujang.
Berkali-kali istri dan Dubes menjadikannya sebagai bahan gurauan. Ayah
hanya senyum masam menahan rasa.
Di Kebumen, kakek tinggal di sebuah rumah sangat sederhana di atas tanah
yang dibeli ayah. Masyarakat di lingkungan sekitarnya menyebut kakek mBah
Preman. Hidup dengan uang pensiun sebagai anggota kompeni yang telah dikonversi
setara sersan TNI bersama istri dan anak tiri yang telah remaja. Setiap kali pulang
ke rumah itu, Djasmin hanya bermalam sehari. Tanpa pernah ingin berlama-lama.
Tapi ada satu hal yang membuatnya selalu ingin berkunjung ke Kebumen. Seorang
perempuan hitam manis, tinggi setara, guru SD dan anak kyai yang tinggal tak
jauh dari rumah orang tuanya. Perempuan itu pertama dilihat saat pulang ke
rumah memakai seragam pramuka di suatu sore. Namanya Atiatoen, anak pak
Djadjuli yang baru kembali dari tugas selaku guru SD di luar kota.
***