Di Balik Nama Monumen Mata Pena



Memberi nama satu tanda peringatan bagi sebuah tempat bersejarah adalah bagian dari tradisi yang berlaku di lingkungan Tentara Pelajar. Penamaan biasanya bermakna simbolik. Misalnya untuk Monumen Palagan Sidobunder yang menggunakan media dua pohon beringin yang diberi nama sesuai pemberian Keraton Yogyakarta. Tradisi yang secara kultural adalah penghormatan atas nilai sosial dan historis.
Seperti telah beberapa kali dipaparkan, memberi nama atas kehadiran/keberadaan Markas Darurat Tentara Pelajar di Front Barat pada Perang Kemerdekaan I tahun 1947 yang berada di lingkungan GKJ Kebumen bukan hal yang mudah dilakukan. Penulis yang diberi kepercayaan penuh oleh penggagas (Bp. Agustinus Reksodihardjo dan almarhumah Ibu Atiatoen harus belajar jadi “supermankarena tidak punya bekal pengalaman di bidang rancang bangun dan realisasi (pembangunan monumen). Hanya sedikit kebisaan menggabung-gabungkan makna (othak athik waton gathuk lan maton) dari setiap cerita yang berkembang di dalamnya. Setelah jadi rancangan dasar dan disetujui, penulis harus belajar juga jadi perancang bangunan (arsitek), pelaksana teknis (pemborong ?) serta akuntan sekaligus. Dalam posisi seperti ini memang semula ada rasa “keterpaksaan” karena menghadapi banyak kendala: formal (kedua penggagas bukan “petinggi” di masanya), struktural  (ada friksi antara yang asli dan aspal/ asli tapi palsu) dan terutama soal finansial. Dari semua kendala yang terpetakan akhirnya harus mampu dikalahkan oleh kesadaran untuk melakukan darma bakti kepada orang tua dan bangsa/negara khususnya tanggung-jawab kemanusiaan atas sejarah peradaban manusia Indonesia yang jadi pokoknya.

Penjelasan Umum:

1.    Keberadaan Markas Darurat Tentara Pelajar di Front Barat adalah nyata, setidaknya diakui oleh para pelaku (selain oleh kedua penggagas) dan dibuktikan dengan adanya monumen Palagan Sidobunder yang diresmikan awal tahun 1982.
2.   Kandungan nilai historis (dibuktikan dari usaha keluarga pelaku : Herman Fernandez) dan cerita pelaku yang banyak disebut (Bp. Alex Rumamby, mantan Dubes RI untuk Swiss yang pernah berkunjung dan menguatkan cerita alm. Ibu Atiatoen) dan dikuatkan oleh tulisan yang disusun sendiri oleh pelaku: Bp. Djokowoerjo Sastradipradja, Prof;Dr;drh; RIM, serta menjadi salah satu referensi penting bagi penyusunan buku sejarah: Peran Pelajar dalam Perang Kemerdekaan yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata RI cetakan I tahun 1985.
3.   Penggagas utama (alm. Ibu Atiatoen) adalah staf putri yang bertugas mengurus “urusan belakang (dapur umum dan kepalangmerahan) dan sering dipandang sebelah mata karena bukan kombatan yang selalu berada di garis depan. Sementara penggagas yang lain, Bp. Agustinus Reksodihardjo bukan tokoh penting di seputar penempatan Markas Darurat maupun front Barat selain sebagai putra Pendeta Reksodihardjo yang memberi ijin lisan pemanfaatan rumah dinasnya sebagai kantor markas dan aula GKJ untuk asrama markas.
4.   Cerita (penuturan lisan) mantan Wakil Komandan Markas Tentara Pelajar Kebumen, Bp. David Sulistianto kepada penulis dalam satu kesempatan tatap muka di Yogyajarta 1983-1985. Nama ini juga sering disebut oleh petinggi KODM Kebumen saat itu, Achamd Dimjatie, yang kebetulan adalah kakak kandung penggagas (Atiatoen) dan berperan penting dalam penempatan pasukan TNI (TRI) di Palagan Sidobunder.

Dari berbagai sumber itu, kemudian saya coba maknai dengan pembuatan desain dasar seperti yang dapat dipaparkan pada gambar di bawah ini:

1.       Nama-nama yang diusulkan:
a.      Tetenger Patilasan Bekas Rumah Perjuangan Tentara Pelajar di Front Barat (Gombong Selatan) pada Perang Kemerdekaan ke 1 tahun 1947.
b.      Monumen Mata Pena.
2.       Ijin pembangunan dari GKJ (dokumen asli disimpan oleh Ibu Amini Soeroto selaku warga GKJ Kebumen dan dipercaya oleh kedua penggagas utama).
3.      Penggalangan Dana.
4.      Pembangunan Fisik.
5.      Pemeliharaan.
6.      Peresmian dan serah terima.

Pada tulisan ini, butir ke 2 sampai 6 tidak dibahas.



 Penjelasan Singkat tentang Nama Monumen Mata Pena

Mata (biasa disebut juga dengan istilah: kepala) pena adalah bagian terpenting dari sebuah pena yang digunakan untuk menorehkan tulisan, gambar dan lain-lain. Mata pena melambangkan asal  Tentara Pelajar dari kaum terdidik yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai masyarakat madani (civil society). Di banyak tempat, mereka adalah pembaru dan pendobrak.
Tentara Pelajar di Indonesia adalah satu-satunya yang ada di dunia. Di negara lain, kaum terdidik yang dijadikan tentara adalah peserta wajib militer yang dibentuk dan dipanggil oleh pemerintah/ negaranya  untuk melakukan tugas-tugas kemiliteran di dalam maupun luar negeri. Sementara itu, Tentara Pelajar ada karena inisiatif sendiri (panggilan jiwa/nurani)  kaum terdidik dalam menjawab situasi dan kondisi negara saat itu.

Mata Pena pada monumen ini bersusun tiga sesuai pembagian masa:
  1. Masa perjuangan, ketika para anggota Tentara Pelajar berperan dalam perjuangan menegakkan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 antara 1946 – 1950/51) yaitu rentang waktu terbentuk, beraktivitas dan demobilisasi. Masa ini dilambangkan dengan warna tanah (sand) yang berarti keberadaan Tentara Pelajar adalah untuk tanah air-nya.
  2. Masa aktif adalah masa-masa yang dilalui para (bekas) Tentara Pelajar setelah demobillisasi baik di lingkungan sipil maupun militer sesuai pilihan masing-masing. Masa ini dilambangkan dengan warna hijau muda yaitu masa aktif masing-masing (bekas) anggota Tentara Pelajar dalam berkiprah di masyarakat. Sebagai kaum terdidik, mereka memiliki kontribusi nyata di lingkungannya (secara umum).
  3. Masa purna bakti yaitu masa-masa setelah batas masa aktif (pensiun secara umum) dilambangkan dengan hitam.


Gagang Pena terdiri dari dua bagian yaitu : 
  1. Utama (yang biasa dipegang) berbentuk buku terbuka, melambangkan keterbukaan wawasan kaum terdidik yang berpijak pada ilmu pengetahuan dan teknologi (pengertian umum). Buku juga dimaksudkan sebagai catatan sejarah. Digambarkan dengan warna putih yang berarti suci. Bahwa buku adalah simbol peradaban manusia modern yang semestinya bersih dari sifat-sifat kotor manusia: sombong, tamak dll. 
  2. Ujung gagang sebagai faktor penyeimbang. Dalam hal ini dilambangkan mewakili masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Disusun dalam dua bagian. Bagian terbawah berwarna hitam (masa penjajahan) dan kelabu (masa pergerakan nasional).

 Demikian gambaran sekilas tentang makna di balik nama Monumen Mata Pena.

This entry was posted in ,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply