Gema Purna Bakti I



Ada satu kebiasaan yang sampai sekarang sulit saya pahami dari tradisi di lingkungan (bekas) Pelajar Pejuang Kemerdekaan atau yang lebih dikenal dengan nama Tentara Pelajar (termasuk semua sebutan serupa : TRIP, TGP, SA/SCA, TPS, IMAM dan sebagainya). Meski jadi anak keturunan langsung, mereka selalu menyapa dengan sebutan mas atau mbak. Kalau ada sebutan lain, misalnya zus, hampir dapat dipastikan ia bukan pelaku. Mungkin suami atau istri pelaku. Dengan sebutan ini tak ada sekat sosial yang membatasi meski jabatan formal atau strata sosialnya lebih tinggi. Ikatan batin mereka sangat kuat bagi yang pernah mengalami peristiwa khusus bersama dan cukup lama.
Tradisi lain adalah memberikan “tanda penghargaan” baik bagi anggota/kesatuan maupun masyarajat umum. Dalam pengantar buku “Peringatan Palagan Sidobunder” (1984, Paguyuban III-17) dan Air Minum Lempuyang (1987), mas Mui selalu tampil sebagai penulisnya. Di antara beragam isi, saya sangat tertarik dengan penjelasan di bawah ini.

Apa perlunya memperingati ?

Tidak cukup sehari untuk mengupas jawaban atas pertanyaan itu. Yang jelas, bagi warga PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) dan warga Tentara Pelajar Batalyon 300, peristiwa Palagan Sidobunder adalah kenang-kenangan khusus.  Ijinkan saya mengutip pidato La Sinrang berikut:
" ...berhentinya perlawanan kita terhadap musuh karena sudah tidak ada sebutir pelurupun yang kita miliki. ...... sejarah dan Bangsa memberi predikat Pahlawan kepada teman-teman yang gugur di Sidobunder sini pada tanggal 2 September 1947, tiga puluh tahun yang lalu.
Kita semua, terutama adik-adik remaja patut kiranya mengikuti jejak mereka. Tidak hanya di tahun 1947 pahlawan diperlukan. Tanah air memerlukan pahlawan pada masa sekarang dan masa-masa mendatang. Kepahlawanan tidak harus sama dan sebangun dengan tahun 1947....." 

Demikianlah pidato 
La Sinrang  di hadapan jemaah anjangsana di Sidobunder sini pada 20 Desember 1979.

Mengapa berterima-kasih?

Terima kasih terhadap mental emas serta budi luhur warga Sidobunder yang telah menganggap dan memperlakukan kami sebagai anak kandung sendiri.
.. kalau tadi saya tak kuat menahan air mata saking mongkog mendengar ucapan “ ..hutang TP kepada rakyat semasa Perang Kemerdekaan dahulu sungguh besar, … semoga hutang itu terbayar lunas sebelum maghrib…”
Sebenarnya hutang yang besar adalah hutang kami seangkatan TP, sampai saat ini kami belum mampu mencicilnya sama sekali (mBah Tlepong, mantan Lurah Desa Sugihwaras Buayan Kebumen, 12 Peberuari 1982).

Dialog sederhana yang menyiratkan makna sangat mendalam. TP yang saat itu masih remaja atau menjelang dewasa adalah pasukan yang dibentuk oleh para pelajar sendiri dari berbagai sekolah menengah, umum maupun kejuruan. Sebagian besar diantaranya hanya berlatih dasar-dasar kemiliteran seperti baris barbaris, pengenalan beberapa jenis  senjata, bela diri dan kepalangmerahan dalam waktu singkat sekitar dua atau tiga minggu. Waktu pelatihan dilaksanakan setelah masa ujian/ulangan catur wulan. Jadi tidak mengganggu proses belajar dan mengajar. Begitu penuturan almarhumah Ibu Atiatoen yang pernah menjabat sebagai Staf Putri di Markas Darurat Front Barat tahun 1947.

Setelah masa bakti dinyatakan berakhir secara formal, semua anggota TP diberi pilihan melanjutkan sekolah atau karir militer dalam satu fase yang disebut masa demobilisasi yang dimulai kwartal pertama 1951 sampai beberapa bulan kemudian. Ada yang jadi sarjana dan guru besar seperti Kusnadi Hardjasumantri (UGM), Koento Wibisono (UNS) dan Djokowoerjo Sastradipradja (IPB). Sementara yang berkarir di militer di antaranya adalah Rusmin Nuryadin (AU) dan Solichin GP (AD). Ketika berkumpul, mereka akan melepas semua atribut formalnya. Semua saling menyapa dengan sebutan mas/mbak (tidak seperti sekarang yang banyak membanggakan gelar dibanding bertanggung-jawab atas sebutan itu). Satu tradisi yang menggambarkan suasana akrab dan saling menghargai. Cermin kehidupan kaum terdidik yang menjunjung tinggi adab.

Pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian di atas adalah kerendahan hati para mantan anggota Pelajar Pejuang Kemerdekaan adalah penghormatan bagi warga masyarakat yang pernah disinggahi beberapa saat lamanya. Terutama ketika berhadapan dengan situasi genting dan penting selalu diingat sebagai “hutang” yang harus dilunasi sebelum ajal tiba atau berkurang drastis kemampuan sosialnya. Prosesi “bayar utang” seringkali berujung fasilitas umum semisal balai dan kantor desa (Sidobunder, Kebumen), bak penampungan air minum (Lempuyang, Temanggung) serta sejumlah monumen/ tugu peringatan (Rejodani, Sleman) dan makam khusus (Wareng, Purworejo). Atau sekolah (SMAN 1 Purworejo) serta penginapan/wisma (Ganesha, Purworejo) dan sebagainya.

Keunikan pasukan kaum terdidik ini sebenarnya sangat banyak. Tapi tidak semuanya mampu dipertahankan maknanya karena tergilas jaman yang tiada berarah. Entah sebab apa, hanya sedikit anak keturunan mereka yang bersedia secara suka rela dan konsisten memelihara tradisi adab tadi.  Sementara itu, yang masih melakukan sering berbentur tembok kesombongan sectarian dalam segala bentuk dan nuansanya. Bagi mereka “ kesetiaanku pada bangsa dan tanah air dari buaian sampai liang lahat” memang banyak terbukti. Mungkin hanya seorang Kusni Kasdut yang melanggarnya. Atau banyak yang tersembunyi ? Wallahu a’lam bissawab. 
Tulisan yang sama ada di  sini

This entry was posted in ,,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply