Tanahku Sayang, Tanahku Malang


Pasukan TRIP berpartisipasi dalam 
Pemadaman Pemberontakan PKI di Blitar Selatan 1948

Kebumen masih tergolong daerah miskin di Jawa Tengah.  Tahun 2009. angka BPS menunjuk 25,73%, jauh di atas rata-rata Jawa Tengah yang 17,48%.  Sehimgga Kebumen termasuk kategori 3 besar daerah miskin. Target menurunkan angka ke 15,45% pada tahun 2015 (akhir masa jabatan pasangan Bupati/wkl Buyar Winarso dan Juwarni) masih perlu dibuktikan. Secara pribadi saya sangat pesimis akan dapat dicapai.
Apa hubungan kemiskinan dan terorisme yang akhir-akhir ini seolah jadi stigma sosial  di Kebumen? Yang nampak tentunya peristiwa penggrebekan Densus 88 Antiteror Mabes Polri di Dusun Kembaran, Desa Ungaran, Kecamatan Kutowinangun 8-9 Mei 2013 lalu. Koran-koran membuat satu judul besar: 3 tewas, 4 ditangkap. Di sebuah grup situs sosial Facebook, koran lokal ini juga menampilkan hal sama dengan beragam komentar para anggotanya. Yang mengagetkan saya adalah satu komentar di sini yang mengaitkan masalah terorisme, kemiskinan dan daerah basis PKI.
Fakta kemiskinan di Kabupaten Kebumen yang begitu tinggi mungkin saja membuka peluang terjadinya faktor kriminalitas yang tinggi pula. Tetapi untuk menjatuhkan vonis bahwa faktor kemiskinan berkait erat dengan terorisme sangat perlu pembuktian ilmiah ketimbang sebuah angka indeks seperti halnya data BPS di atas. Kemiskinan memang dapat memicu beragam tindak asosial (social disorder): kriminalitas, pelacuran, korupsi dan lain-lain. Tetapi untuk memasukkannya ke dalam kategori pemicu tindak terorisme, perlu syarat tambahan. Kemiskinan adalah satu dari tiga faktor utama yang mendorong bertindak seperti itu. Menurut pengamat intelejen Wawan H. Poerwanto sebagaimana disitir oleh Pak Prayitno Ramelan, para teroris mengalami 3 kekosongan: perut, hati dan pikiran. Kalau kemiskinan dianggap sebagai faktor utama kekosongan perut, itu sangat logis. Bagaimana dengan dua kekosongan lain ? Apakah para tertuga teroris yang ada di Kebumen, baik yang ditembak mati maupun ditangkap, tergolong orang-orang yang mengalami kekosongan perut  alias asal muasalnya manusia miskin secara ekonomi? Inilah yang harus dikaji saksama oleh Polri dan BNPT. Jangan hanya bicara dampak tanpa ada upaya serius memahami akar masalah.
Diakui atau tidak, frutrasi sosial yang cenderung meningkat karena beragam faktor ketidak-adilan : ekonomi, sosial, hukum dan budaya akhir-akhir ini adalah dorongan kuat, bahkan sangat kuat, yang dapat membuat seseorang atau kelompok orang berbuat di luar batas nalar kemanusiaan. Dan kekosongam hati maupun pikiran berada di tataran ini. Seorang pendiam bisa saja berubah sikap menjadi brutal tanpa perikemanusiaan karena dorongan naluriahnya sangat kuat untuk melakukannya. Begitu juga dengan orang atau orang-orang yang punya bekal ekonomi, sosial (pendidikan keluarga dan agama) serta intelektual memadai dijamin aman dari dorongan untuk tidak berbuat di luar batas nalar kemanusiaannya?.
Selain berbagai pertanyaan di atas, ada satu pertanyaan terakhir yang menurut saya sangat krusial. Yaitu, apakah Polri umumnya dan Densus 88 khususnya telah bertindak obyektif  secara keseluruhan? Mungkin saja kriteria SOP tidak ada yang dilanggar. Tapi, menilik kasus-kasus lain yang membawa serta organisasi Polri semisal "peseteruan" dengan TNI yang satu puncaknya adalah Peristiwa di Lapas Cebongan Sleman, Yogyakarta tidak dapat diabaikan begitu saja. Belum lagi kasus simulator SIM, Susno Duaji dan mungkin yang telah banyak dilupakan adalah penembakan Wakapolwiltabes Semarang oleh anak buahnya adalah pekerjaan rumah yang cukup besar di tubuh Polri. Selama ini, banyak kasus internal Polri yang dipetieskan alias case closed. Yang juga tak boleh ditinggalkan adalah munculnya wacana pembubaran Densus 88. 
Masyarakat memang sangat mendambakan rasa aman, tenteram dan sejahtera. Polri  selaku institusi pelayanan dan pelindungan masyarakat  akan mendapatkan apresiasi tinggi jika mampu membersihkan dirinya dari berbagai persoalan yang menjadi pertanyaan publik di atas.  Rasa aman sulit dibangun dari ketakutan lain yang bersumber dari ketidaktahuan masyarakat seperti peristiwa di Kebumen 9 Mei 2013 lalu misalnya. Bahwa teror dan kegiatan terorisme akan berakibat fatal pada segala upaya menghadirkan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat oleh segenap elemen dengan Polri sebagai ujung tombaknya perlu dijelaskan secara gamblang. Media massa berperan besar dalam memaksimalkan upaya pencerahan ini. Tidak seperti sekarang yang lebih sering menyuguhkan sisi kekerasan dan ketakutan. Bahkan mendorong munculnya stigma baru seperti komentar di awal tulisan ini.
Sampai sekarang stigma lama “PKI”  terutama di Kebumen masih menjadi momok  di satu sisi dan trauma berkepanjangan di sisi lainnya bagi keluarga korban di kedua sisi itu. Memang yang diberitakan dan disebarluaskan dalam buku-buku sejarah, tokoh penting dalam peristiwa itu adalah Untung yang kelahiran Kebumen. Tapi jangan lupa pula bahwa ada satu korban penting yang juga dari Kebumen yaitu Jendral Suprapto.  Sementara itu, adanya buku tulisan John RoosaDalih Pembunuhan Masal Gerakan 30 September  dan Kudeta Suharto” tertibat Insitut Sejarah Sosial Indonesia (2008) yang dapat diunduh dengan mudah di sini tidak bisa diabaikan begitu saja. Keluarga korban dan masyarakat awam terus akan mencari jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan: siapa yang harus dipercaya, pemerintah (termasuk Polisi) atau penulis indepeneden semacam John Roosa ?

This entry was posted in ,,,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply