Peringatan hari kemerdekaan bagi satu bangsa biasanya mengandung dua dimensi utama seremonial dan historikal. Bagi Indonesia yang berusia 68 tahun pada 2013, peristiwa yang akan diperingati secara nasional beberapa hari ke depan ini, nampaknya ada satu suasana yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Yakni kehadiran sejumlah orang yang telah lama melanglang buana karena berbagai sebab tapi merasa punya ikatan kultural sangat kuat dengan tanah air, kampung halaman atau Ibu Pertiwi. Mereka adalah Diaspora Indonesia. Satu istilah yang belum banyak dikenal oleh masyarakat awam di dalam negeri.
Kehadiran para Diaspora Indonesia di tengah suasana memperingati satu hari yang sangat bersejarah, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 ke 68 ini cukup unik karena hampir bersamaan waktu dengan peristiwa rutin tahunan yang sangat akbar dalam banyak hal : jumlah manusia, uang yang beredar, sponsor yang terlibat dan lain-lain yang popular dengan sebutan mudik (menuju udik) atau Pulang Kampung di saat merayakan Lebaran atau Idul Fitri. Meski tanpa publikasi memadai baik dari pemerintah, terutama Desk Diaspora Indonesia pada Kementerian Luar Negeri RI serta Jejaring Diaspora Indonesia (Indonesia Diaspora Network) maupun media massa umum khususnya televisi yang akhir-akhir ini lebih banyak diisi dengan iklan pencitraan calon presiden dan wakil presiden.
Dari gambaran kecil di atas kita akan tahu betapa banyak hal besar yang ditinggalkan, diabaikan atau dibiarkan dalam ketidak-jelasan hanya untuk mengejar bayang-bayang semu semisal pencitraan politik tadi. Diakui atau tidak, masyarakat semakin tidak peduli dengan perilaku politisi yang tak pernah beranjak dewasa. Meski dibalut suasana lain, publikasi para politisi yang mendului masa kampanye jelas bukan contoh pendidikan politik yang baik. Mereka masih memakai asumsi sempit bahwa masyarakat Indonesia akan mudah dibodohi dengan iklan dan janji-janji politik yang kenyataan selama ini ibarat jauh panggang dari apinya. Selain itu tentu merupakan pemborosan sejumlah sumber daya yang mestinya akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat dirasakan dampak positifnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat luas.
Kehadiran para Diaspora Indonesia di tengah suasana memperingati satu hari yang sangat bersejarah, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 ke 68 ini cukup unik karena hampir bersamaan waktu dengan peristiwa rutin tahunan yang sangat akbar dalam banyak hal : jumlah manusia, uang yang beredar, sponsor yang terlibat dan lain-lain yang popular dengan sebutan mudik (menuju udik) atau Pulang Kampung di saat merayakan Lebaran atau Idul Fitri. Meski tanpa publikasi memadai baik dari pemerintah, terutama Desk Diaspora Indonesia pada Kementerian Luar Negeri RI serta Jejaring Diaspora Indonesia (Indonesia Diaspora Network) maupun media massa umum khususnya televisi yang akhir-akhir ini lebih banyak diisi dengan iklan pencitraan calon presiden dan wakil presiden.
Dari gambaran kecil di atas kita akan tahu betapa banyak hal besar yang ditinggalkan, diabaikan atau dibiarkan dalam ketidak-jelasan hanya untuk mengejar bayang-bayang semu semisal pencitraan politik tadi. Diakui atau tidak, masyarakat semakin tidak peduli dengan perilaku politisi yang tak pernah beranjak dewasa. Meski dibalut suasana lain, publikasi para politisi yang mendului masa kampanye jelas bukan contoh pendidikan politik yang baik. Mereka masih memakai asumsi sempit bahwa masyarakat Indonesia akan mudah dibodohi dengan iklan dan janji-janji politik yang kenyataan selama ini ibarat jauh panggang dari apinya. Selain itu tentu merupakan pemborosan sejumlah sumber daya yang mestinya akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat dirasakan dampak positifnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat luas.
Promosi
politik yang berlebih itu justru menimbulkan kesan buruk tidak hanya bagi
dirinya, tapi juga buat partai politik dan semua pihak yang sangat mungkin
disangkut-pautkan dengan sang calon. Tidak percaya diri atau sebaliknya, norak
atau narsis, lebay, alay dan sejenisnya. Semakin sering muncul, orang
akan kian merasa mual karena yang
disuguhkan sesuatu monoton dan tidak mencerminkan adanya peluang menumbuhkan
harapan. Sementara itu, harapan adalah satu-satunya pintu masuk menuju
kepercayaan. Kalau kesan ini yang muncul secara umum, tiada lagi calon pemimpin
bangsa yang dapat diharapkan dapat mengubah suasana dan nasib Indonesia
setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Mungkin akan
ada pertanyaan, apa sih yang bisa diharapkan dari kehadiran para Diaspora
Indonesia yang akan menyelenggarakan Kongres II di Jakarta Convention Center 18
– 20 Agustus 2013? Mereka sudah cukup lama meninggalkan tanah airnya. Apakah
mereka masih punya kesadaran berbangsa dan bernegara ? Jangan-jangan akan
melakukan hal-hal seperti para koruptor yang melarikan uang rakyat ke manca
negara seperti Eddy Tanzil, Hendra Rahardja dan lain-lain ? Atau, apakah
keindonesiaan mereka hanya untuk melapangkan jalan ambisi perorangan atau
kelompoknya ?
Pertanyaan
serupa dengan yang di atas memang sangat mungkin terjadi dan menghantui para
politisi sektarian. Sejak beberapa saat menelisik perjalanan Diaspora Indonesia di berbagai negara khususnya USA, Inggris, Belanda, Australia dan Malaysia, ditemukan banyak fakta menarik yang selama ini masih misterius atau tidak diangkat sebagai berita konsumsi publik. Pertama, diaspora yang berasal dari program politik di jaman pemerintahan Presiden Soekarno yang ingin menyamai kejayaan bangsa Jepang dengan mengirim sejumlah mahasiswa dan tenaga ahli belajar ilmu pengetahuan serta teknologi di sejumlah negara Eropa Timur. Pergantian haluan politik dari sosialisme ala Bung Karno ke arah militerisme - feodalistik ala Jendral Soeharto menjadi satu alasan penting mereka memutuskan diri tidak kembali ke tanah air dan berkehidupan di berbagai negara yang mau menerima diri serta menghargai keahlian intelektual mereka. Dengan kata lain, alasan menjadi diaspora adalah faktor trauma politik.
Kedua dan terbanyak dialami oleh keturunan Tionghoa adalah trauma sosial. Ada beberapa peristiwa besar yang menyebabkan sejumlah WNI keturunan Tionghoa memutuskan berkehidupan di manca negara semisal G30S dan terakhir kerusuhan politik Mei 1998. Pada dua peristiwa itu, entah berapa ratus atau ribu orang yang mengambil keputusan jadi diaspora. Satu diantaranya adalah Margareth Wang yang kini jadi artis Mandarin terkenal dan bermukim di Taiwan. Bagi para WNI keturunan Tionghoa ini, ada catatan khusus. Akibat politik penjajah Belanda dan Inggris (Rafles) yang menganak-emaskan mereka di satu sisi dan menindas pribumi di sisi lainnya, bibit kecemburuan sosial terus tumbuh dan berkembang sangat subur sampai kemerdekaan telah diproklamasikan. Oleh sejumlah pejabat publik (pemerintah dan politisi) yang menganut feodalisme tadi bahkan dipupuk dengan beragam cara. Inilah tantangan besar baik yang berada di dalam maupun di luar negeri yang mestinya dapat dijawab dengan karya nyata. Beberapa nama besar semisal Soe Hok Gie, PK Ojong dan Kwik Kian Gie tak diragukan kadar nasionalismenya dibanding Achmad Fatonah dan sejenisnya.