Oleh: Achmad Aditya *)
Ilmuwan, peneliti, dosen dan inovator Indonesia di luar negeri memiliki tanggung jawab untuk mampu meningkatkan kualitas produk barang buatan Indonesia di dunia internasional
Saya ingin memulai tulisan ini
dengan sebuah pengalaman sederhana yang begitu berkesan buat saya. Pada tahun
2009, saya berkesempatan menemani Prof. Dr. Ken Soetanto (Guru besar di Waseda
University di Jepang), Prof. Dr. Yow Pin Lim (Dosen dari Brown University di
Amerika Serikat) dan Dr. Suhendra (Peneliti dari BAM di Jerman) ke Jayapura,
sebuah kota yang terletak sangat jauh di bagian Timur Indonesia.
Prof. Ken Soetanto |
Achmad Aditya |
Kami hadir memenuhi undangan dari
Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) untuk berbagi ilmu sedikit
tentang pentingnya kuliah sampai ke luar negeri dan memberikan motivasi untuk setiap anak bangsa mau melanjutkan
kuliah setinggi –tingginya.
Kami memulai memberikan kuliah
tamu jam 2 siang. Seharusnya kuliah tamu selesai jam 4 sore, namun kami ditahan
oleh para mahasiswa di Papua untuk terus melanjutkan diskusi sampai larut malam
sehingga panitia juga harus menyediakan makan malam untuk peserta hari itu.
Di saat kami hendak beranjak keluar
ruangan, Prof. Ken didatangi tiga orang mahasiswa. Sambil menyodorkan tangan ke
Prof. Ken, mereka berujar “Karena bapak, kami bangga jadi orang Indonesia”.
Saya tepat berdiri di samping Prof.
Ken kala itu. Pemandangan tadi membuat saya merasa takjub dan kagum. Kenapa?
Karena ilmuwan, peneliti, dosen yang ada di luar negeri dengan segala prestasinya
bisa membakar rasa nasionalisme orang yang melihat dan mendengarnya. Nasionalisme,
yang selalu berusaha dikobarkan sekuat tenaga melalui pidato para pejabat,
iklan di media yang mahal atau retorika yang berbuih; justru terkadang dianggap
sebagai angin lalu. Tapi ternyata membangkitkan nasionalisme tidak terlalu
sulit, dia dapat hadir melalui kebanggaan akan prestasi dan pencapaian orang
Indonesia di luar negeri.
Kurang lebih alasan-alasan tadi yang
mendorong banyak rekan berusaha sekuat tenaga membuat Ikatan Ilmuwan Indonesia
Internasional (I-4) berdiri dan melakukan beragam langkah kecil di masyarakat
untuk dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia.
Gagasan ini mungkin terkesan utopis
dan retorik, tapi idealisme dan cita-cita harus dibangun oleh sebuah utopisme.
Gagasan harus ideal sehingga semua orang yang sepandangan dan juga se-ide dengan
gagasan tersebut akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Gagasan yang ideal mendorong
kita untuk mau bekerja keras mencapai cita-cita dari gagasan itu. Selama tiga
tahun lebih berada di organisasi I-4, saya menjadi semakin belajar seluk beluk permasalahan
penelitian di Indonesia dan bagaimana menjembatani peneliti Indonesia di dalam
dan di luar negeri. Dari berdiskusi langsung dengan para peneliti dan dosen
Indonesia di luar negeri, saya melihat betapa hebatnya potensi yang bisa dibangun
jika saja mereka diberikan kesempatan untuk berkarya di Indonesia.
Seorang dosen Indonesia di Amerika
Serikat ternyata selama beberapa tahun terakhir menjadi konsultan energi untuk pemerintah
Amerika Serikat. Seorang dosen Indonesia di Swiss mengerjakan projek PBB untuk pengembangan
pedesaan. Seorang dosen di Australia terlibat penangan permasalahan sosial
antara suku pendatang dan suku asli di Australia, dan masih banyak lagi.
Ada sebuah tanda tanya besar yang
muncul: lalu kenapa mereka tidak mengimplementasikan ilmunya di Indonesia?
Tentu ini bukan sekedar permasalahan administrasi dan birokrasi; bukan
permasalahan infrastruktur, bukan permasalahan kesejahteraan. Tapi bagaimana
menempatkan seluruh potensi peneliti, dosen dan inovator Indonesia di luar
negeri ke dalam kerangka pembangunan Indonesia di dalam negeri. Artinya perlu
ada keseriusan dan kerja keras bersama, bukan hanya pemerintah, tapi juga pihak
swasta, universitas, lembaga pengetahuan dan LSM di Indonesia untuk menarik
potensi besar ini kembali ke Indonesia. Menarik potensi besar ini tentu tidak
harus dengan merelokasi mereka kembali ke Indonesia. Menarik potensi ini
berarti memaksimalkan keahlian dan kemampuan mereka untuk pengembangan
pembangunan di Indonesia. Prosesnya tidak bisa instan dan pragmatis, tapi harus
terencana dan berkesinambungan.
Meyakinkan para peneliti, dosen
dan inovator Indonesia di luar negeri yang terkadang sudah puluhan tahun
menghabiskan waktunya di luar negeri memang bukan proses mudah, tapi harus kita mulai. Pembangunan yang
berdasarkan pada triple helix yang pernah digagas ketika Pak Kusmayanto Kadiman
menjadi Menristek tidak boleh menjadi sebuah jargon, tapi harus menjadi
implementasi program yang memang dijalankan dan diawasi sampai ke level teknis.
Bangsa Indonesia memiliki populasi
lebih dari 200 juta jiwa, merupakan negara dengan jumlah penduduk terpadat
ke-empat di dunia. Penduduk tersebut berarti pangsa pasar dari produk-produk Indonesia.
Penduduk tersebut berarti tenaga kerja yang sangat besar untuk memajukan industri
dalam negeri. Ilmuwan, peneliti, dosen dan inovator Indonesia di luar negeri
memiliki tanggung jawab untuk mampu meningkatkan kualitas produk barang buatan
Indonesia sehingga produk buatan Indonesia tidak hanya merebut pangsa pasar dalam
negeri, tapi juga memiliki kualitas ekspor yang bersaing di dunia
internasional. Karena bangsa kita sangat mampu membuat barang berkualitas Internasional.
Saya memberikan judul yang provokatif
untuk tulisan ini, karena saya yakin, perlahan tapi pasti bangsa Indonesia
sedang menapaki perlahan jalan kebangkitannya. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
di berbagai belahan negara perlahan tapi pasti terus berkoordinasi satu sama
lain dan terus merumuskan ide-ide implementatif di Indonesia. Beragam
organisasi keilmuwan
di luar negeri mulai makin intensif
membangun komunikasi dengan organisasi keilmuwan di dalam negeri. Sekali lagi
ini bukan proses yang instan dan bim salabim, akan perlu waktu. Namun perlahan tapi
pasti kita terus bergerak ke kebangkitan Indonesia. Dengan semangat tersebut
kita berani menatap masa depan dengan optimis, bahwa suatu hari nanti Indonesia
akan mencengkeram
dunia.
Sumber tulisan: Majalah Jong Indonesia volume 7