Pengalaman Pertempuran di Sidobunder 2 September 1947

Sketsa GeraK Pasukan TP di Palagan Sidobunder - Imam Soekotjo

Oleh : Imam Soekotjo

Menjelang Subuh, saya dan Djokonomo terbangun karena mendengar rentetan tembakan. Djokonomo berkata, “ wah, aku ngimpi jungkatan, rambutku mbrodholi …rontok kabeh “ (wah…aku bermimpi  sedang bersisir, tapi rambuku rontok semua – pen). Tak lama kemudian dating Soejitno yang member tahu bahwa Regu I diperintahkan untuk menggabungkan diri dengan induk pasukan.

Dalam upaya mengumpulkan semua teman yang saat itu berjaga di pos-pos terpencar, saya berpisah dari Djokonomo. Sehingga Regu I terpecah menjadi dua kelompok kecil. Satu kelompok dipimpin Djokonomo, kelompok kecil lain terdiri dari lima orang yaitu saya, Pramono dan tiga rekan lain. Jarak antara satu dan lain kelompok sekitar 30m. Meninggalkan Dukuh Gringgul ke pusat Desa Sidobunder yang berjarak sekitar 100m.

Ketika kelompok dua mendekati Desa Sidobunder, datang seorang anggota TP (berbaju putih, berkalung sarung dan membawa karaben. Di punggungnya terdapat luka kecil karena terserempet peluru. Ia bilang kalau Belanda sudah menduduki markas kita. Atas kesepakatan dengan kelompok dua, rombongan kami berbelok ke Selatan menerobos sawah melalui tanggul yang terendam air semata kaki). Tujuan kelompok dua adalah menghindari Desa Sidobunder ke desa lain di sebelah Timur.

Saat berada di titik A (lihat gambar), saya dan Pramono terpeleset dari jembatan bambu dan masuk kali berair setinggi dada. Jembatan bambu itu ternyata ikut roboh. Teman lain yang berada di belakang kami kemudian segera masuk parit. Hujan yang turun selama beberapa hari terakhir telah merendam persawahan di Desa Sidobunder.

Kelompok dua meneruskan perjalanan ke titik B yang berada di desa sebelah Utara Sidobunder karena berdasarkan perkiraan kami desa di Timur jaraknya lebih jauh. Di desa Utara itu tidak terdengar ada tembakan. Sejak datang, kami memang belum melakukan pemeriksaan medan.  Perjalanan ke desa di Utara dilanjutkan dan menuju titik C, kemudian menuju ke desa sebelah Timur untuk mencari dan menggabungkan diri dengan induk pasukan. Ternyata, di titik C ini, kami bertemu dengan kelompok lain yang dipimpin Suryoharyono, Djokowoerjo Kiratijo dan Rinanto. Kami tidak tahu bahwa titik C masih berada di Desa Sidobunder sebelah Tenggara. Kami lalu bersepakat menuju desa sebelah melalui pematang sawah untuk menghindari pasukan Belanda.

Baru beberapa langkah meninggalkan pinggir desa, pasukan kami disambut rentetan tembakan senjata otomatis dari desa di sebelah Timur Sidobunder. Teman-teman lari pontang panting, masuk ke desa lagi dan tak lama berselang pasukan Belanda bergerak dengan cara berbanjar menuju posisi kami (titik D) di bawah lindungan tembakan brengun. Kami bersiaga di belakang pepohonan atau semak belukar dan segera melepaskan tembakan kea rah pasukan Belanda itu. Korban di pihak Belanda mulai berjatuhan dan gerak maju mereka terhenti. Beberapa saat berikutnya, serangan pasukan kami mulai mengendur karena beberapa teman telah kehabisan peluru. Tapi ada juga yang senjatanya macet. Melihat kondisi itu, pasukan Belanda bergerak lagi dan menghujani tembakan dengan senjata otomatisnya.

Jumlah peluru yang saya bawa di kantong (howderbak)dari Kebumen hanya 20 butir. Di dalam kontak tembak (voorcontact) ini , saya telah menghabiskan 10 butir dan ada yang mengena sasaran. Setelah peluru habis, di antara kami ada yang menyela,
“ ayo lari ke desa sebelah.. di Selatan”.  
Lalu Suryoharyono berteriak’ “ Jangan bertahan di sini dan terus bertempur. Larilah selagi ada waktu ..”.
Saya melepas lima tembakan lagi, juga Pramono. Gerak pasukan Belanda terhenti lagi. Kami mundur dan terpecah menjadi tiga kelompok. Yaitu kelompok Suryoharyono,  Djokowoerjo dan Rinanto serta beberapa teman. Terakhir adalah kelompok saya, Gunarso, Pramono dan seorang teman.

Ketika kami melewati parit di desa sebelah Selatan (titik E), saya masih sempat melihat Haryono dan beberapa teman sedang mencari tempat persembunyian. Saya dan Pramono lari secepat kilat dan beberapa kali jatuh bangun karena sawah licin dan tanggul yang dilewati tergenang air. Di titik F, kami melihat pasukan yang bergerak secara berbanjar telah leat pinggiran desa menuju ke arah Timur. Kegembiraan muncul karena kami mengira pasukan itu adalah pasukan Republik Indonesia. Begitu melihat mereka berhenti dan menyiapkan serangan, kami tersadarkan bahwa pasukan itu adalah tentara Belanda.
Satu diantara kami berteriak “ Belanda…. !”   

Tak lama berselang, desing peluru membahana di sekeliling kami. Spontan kami tiarap dengan kepala menghadap ke Utara (arah Desa Sidobunder). Rupanya ada tiga anggota kelompok pasukan Suryoharyono yang memisahkan diri dan mencoba bergabung dengan kami. Ternyata, belum sampai tujuan, ketiganya kena tembak dan gugur satu demi satu.  

Tembakan senjata otomatis terus menuju arah posisi kami. Dengan sisa peluru, kami bergantian membalas tembakan satu-satu dan berhasil membungkam dua bendgun. Setiap habis melepas satu tembakan, saya dan teman-teman berguling dan merayap secara bergantian agar dapat segera masuk parit. Saat mendekati Pramono, saya mendengar ia mengaduh. Itulah kata terakhir sebelum ia gugur.

Saya terus merayap, bergerak mundur menjauhi jenasah Pramono sambil membuang senjata yang tak berpeluru lagi. Menggantinya dengan golok yang senantiasa terhunus sambil menunggu dan berpasrah diri kepada Yang Kuasa. Dalam posisi terlentang, saya melepas semua baju, celana dan sepatu. Hanya menyisakan celana dalam yang melekat di tubuh.

Pasukan Belanda terus menghujani posisi kami dengan tembakan senjata otomatis meski tak terdengar ada tembakan balasan. Ketika tembakan berhenti, dari arah belakang, terdengar suara orang berbicara dalam bahasa Madura dan Belanda. Tiba-tiba ada yang berteriak “ angkat tangan (overgeven) !”, tapi saya tetap bertahan dalam posisi tiarap tak bergerak. Pura-pura mati.
Dari sudut mata kanan  yang tak terendam air, saya melihat dua pasang sepatu boot mendekat dan bayonet menyentuh kepala. Saya merasakan kedua bahu ini diangkat dan terdengar suara :
Hy is al dood…” sebanyak dua kali dan menghempaskan tubuhku. Meski sakit, saya tetap tak bersuara. Setelah itu, kepala saya ditendang sebanyak empat kali. Saya bersyukur tidak mengenai mata kanan dan tetap menjaga tak bersuara. Mereka lalu bergerak beberapa langkah, kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Mungkin untuk meyakinkan diri bahwa saya telah (dianggap) benar-benar mati.

Matahari terus meninggi dan semakin terik. Tapi saya tetap tak bergerak atau bersuara sedikitpun. Sekitar mendekati waktu shalat Ashar, datang beberapa orang dengan dialek setempat.
“Kang… wis pada mati kabeh (mas…semua telah mati-pen)!”. Mereka terus bercakap-cakap, saya menyimak barangkali ada bahasa lain selain dialek lokal atau bahasa Belanda. Ternyata tidak ada dan saya merasa aman, kemudian menegakkan kepala sambil berkata:
“ Pak…Londo-ne wonten pundi (pak..pasukan Belanda ada di mana? “, saya bertanya kepada mereka.
Orang yang terdekat dengan posisi saya menjukkan kekagetan.
“ lho… isih ana sing urip denekan (lho… ternyata masih ada yang hidup)!’, kata mereka.
“ Iyo … Londo-ne wonten pundi ?”, kata saya mengulang pertanyaan tadi.
“ Teng Ler (di sebelah Utara)”, jawab mereka.
“Sing nang Kidul kono… (yang ada di Selatan..bagaimana) ?”, tanyaku.
“Sampun Ngaler sedaya … (sudah ke Utara semua) “.

Setelah dibantu berdiri, saya minta diantar menuju pasukan kami. Dua orang diantara mereka mengantar saya menuju desa di sebelah Selatan dan melewati jalan yang dipakai pasukan Belanda untuk menyiapkan serangan semalam. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri melihat jenasah Gunarso. Beberapa orang penduduk masih merawat jenasah teman-teman yang gugur. Kedua orang yang menolong saya, sampai saat ini tak pernah tahu di mana mereka tinggal. 

This entry was posted in ,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply