Sketsa GeraK Pasukan TP di Palagan Sidobunder - Imam Soekotjo |
Oleh : Imam
Soekotjo
Menjelang Subuh, saya dan
Djokonomo terbangun karena mendengar rentetan tembakan. Djokonomo berkata, “ wah, aku ngimpi jungkatan, rambutku mbrodholi
…rontok kabeh “ (wah…aku bermimpi
sedang bersisir, tapi rambuku rontok semua – pen). Tak lama kemudian dating
Soejitno yang member tahu bahwa Regu I diperintahkan untuk menggabungkan diri
dengan induk pasukan.
Dalam upaya mengumpulkan semua
teman yang saat itu berjaga di pos-pos terpencar, saya berpisah dari Djokonomo.
Sehingga Regu I terpecah menjadi dua kelompok kecil. Satu kelompok dipimpin
Djokonomo, kelompok kecil lain terdiri dari lima orang yaitu saya, Pramono dan
tiga rekan lain. Jarak antara satu dan lain kelompok sekitar 30m. Meninggalkan
Dukuh Gringgul ke pusat Desa Sidobunder yang berjarak sekitar 100m.
Ketika kelompok dua mendekati
Desa Sidobunder, datang seorang anggota TP (berbaju putih, berkalung sarung dan
membawa karaben. Di punggungnya terdapat luka kecil karena terserempet peluru. Ia
bilang kalau Belanda sudah menduduki markas kita. Atas kesepakatan dengan
kelompok dua, rombongan kami berbelok ke Selatan menerobos sawah melalui
tanggul yang terendam air semata kaki). Tujuan kelompok dua adalah menghindari
Desa Sidobunder ke desa lain di sebelah Timur.
Saat berada di titik A (lihat
gambar), saya dan Pramono terpeleset dari jembatan bambu dan masuk kali berair setinggi
dada. Jembatan bambu itu ternyata ikut roboh. Teman lain yang berada di
belakang kami kemudian segera masuk parit. Hujan yang turun selama beberapa
hari terakhir telah merendam persawahan di Desa Sidobunder.
Kelompok dua meneruskan perjalanan
ke titik B yang berada di desa sebelah Utara Sidobunder karena berdasarkan
perkiraan kami desa di Timur jaraknya lebih jauh. Di desa Utara itu tidak
terdengar ada tembakan. Sejak datang, kami memang belum melakukan pemeriksaan
medan. Perjalanan ke desa di Utara
dilanjutkan dan menuju titik C, kemudian menuju ke desa sebelah Timur untuk
mencari dan menggabungkan diri dengan induk pasukan. Ternyata, di titik C ini,
kami bertemu dengan kelompok lain yang dipimpin Suryoharyono, Djokowoerjo Kiratijo
dan Rinanto. Kami tidak tahu bahwa titik C masih berada di Desa Sidobunder
sebelah Tenggara. Kami lalu bersepakat menuju desa sebelah melalui pematang
sawah untuk menghindari pasukan Belanda.
Baru beberapa langkah
meninggalkan pinggir desa, pasukan kami disambut rentetan tembakan senjata
otomatis dari desa di sebelah Timur Sidobunder. Teman-teman lari pontang
panting, masuk ke desa lagi dan tak lama berselang pasukan Belanda bergerak
dengan cara berbanjar menuju posisi kami (titik D) di bawah lindungan tembakan
brengun. Kami bersiaga di belakang pepohonan atau semak belukar dan segera
melepaskan tembakan kea rah pasukan Belanda itu. Korban di pihak Belanda mulai
berjatuhan dan gerak maju mereka terhenti. Beberapa saat berikutnya, serangan
pasukan kami mulai mengendur karena beberapa teman telah kehabisan peluru. Tapi
ada juga yang senjatanya macet. Melihat kondisi itu, pasukan Belanda bergerak
lagi dan menghujani tembakan dengan senjata otomatisnya.
Jumlah peluru yang saya bawa
di kantong (howderbak)dari Kebumen
hanya 20 butir. Di dalam kontak tembak (voorcontact)
ini , saya telah menghabiskan 10 butir dan ada yang mengena sasaran. Setelah peluru
habis, di antara kami ada yang menyela,
“ ayo lari ke desa sebelah..
di Selatan”.
Lalu Suryoharyono berteriak’ “
Jangan bertahan di sini dan terus bertempur. Larilah selagi ada waktu ..”.
Saya melepas lima tembakan
lagi, juga Pramono. Gerak pasukan Belanda terhenti lagi. Kami mundur dan
terpecah menjadi tiga kelompok. Yaitu kelompok Suryoharyono, Djokowoerjo dan Rinanto serta beberapa teman.
Terakhir adalah kelompok saya, Gunarso, Pramono dan seorang teman.
Ketika kami melewati parit di
desa sebelah Selatan (titik E), saya masih sempat melihat Haryono dan beberapa
teman sedang mencari tempat persembunyian. Saya dan Pramono lari secepat kilat
dan beberapa kali jatuh bangun karena sawah licin dan tanggul yang dilewati
tergenang air. Di titik F, kami melihat pasukan yang bergerak secara berbanjar
telah leat pinggiran desa menuju ke arah Timur. Kegembiraan muncul karena kami
mengira pasukan itu adalah pasukan Republik Indonesia. Begitu melihat mereka
berhenti dan menyiapkan serangan, kami tersadarkan bahwa pasukan itu adalah
tentara Belanda.
Satu diantara kami berteriak “
Belanda…. !”
Tak lama berselang, desing
peluru membahana di sekeliling kami. Spontan kami tiarap dengan kepala
menghadap ke Utara (arah Desa Sidobunder). Rupanya ada tiga anggota kelompok
pasukan Suryoharyono yang memisahkan diri dan mencoba bergabung dengan kami. Ternyata,
belum sampai tujuan, ketiganya kena tembak dan gugur satu demi satu.
Tembakan senjata otomatis
terus menuju arah posisi kami. Dengan sisa peluru, kami bergantian membalas
tembakan satu-satu dan berhasil membungkam dua bendgun. Setiap habis melepas
satu tembakan, saya dan teman-teman berguling dan merayap secara bergantian agar
dapat segera masuk parit. Saat mendekati Pramono, saya mendengar ia mengaduh.
Itulah kata terakhir sebelum ia gugur.
Saya terus merayap, bergerak
mundur menjauhi jenasah Pramono sambil membuang senjata yang tak berpeluru
lagi. Menggantinya dengan golok yang senantiasa terhunus sambil menunggu dan
berpasrah diri kepada Yang Kuasa. Dalam posisi terlentang, saya melepas semua
baju, celana dan sepatu. Hanya menyisakan celana dalam yang melekat di tubuh.
Pasukan Belanda terus
menghujani posisi kami dengan tembakan senjata otomatis meski tak terdengar ada
tembakan balasan. Ketika tembakan berhenti, dari arah belakang, terdengar suara
orang berbicara dalam bahasa Madura dan Belanda. Tiba-tiba ada yang berteriak “
angkat tangan (overgeven) !”, tapi
saya tetap bertahan dalam posisi tiarap tak bergerak. Pura-pura mati.
Dari sudut mata kanan yang tak terendam air, saya melihat dua pasang
sepatu boot mendekat dan bayonet menyentuh kepala. Saya merasakan kedua bahu
ini diangkat dan terdengar suara :
“ Hy is al dood…” sebanyak dua kali dan menghempaskan tubuhku. Meski
sakit, saya tetap tak bersuara. Setelah itu, kepala saya ditendang sebanyak
empat kali. Saya bersyukur tidak mengenai mata kanan dan tetap menjaga tak bersuara.
Mereka lalu bergerak beberapa langkah, kemudian berhenti dengan tiba-tiba.
Mungkin untuk meyakinkan diri bahwa saya telah (dianggap) benar-benar mati.
Matahari terus meninggi dan
semakin terik. Tapi saya tetap tak bergerak atau bersuara sedikitpun. Sekitar
mendekati waktu shalat Ashar, datang beberapa orang dengan dialek setempat.
“Kang… wis pada mati kabeh (mas…semua
telah mati-pen)!”. Mereka terus bercakap-cakap, saya menyimak barangkali ada
bahasa lain selain dialek lokal atau bahasa Belanda. Ternyata tidak ada dan
saya merasa aman, kemudian menegakkan kepala sambil berkata:
“ Pak…Londo-ne wonten pundi (pak..pasukan
Belanda ada di mana? “, saya bertanya kepada mereka.
Orang yang terdekat dengan
posisi saya menjukkan kekagetan.
“ lho… isih ana sing urip
denekan (lho… ternyata masih ada yang hidup)!’, kata mereka.
“ Iyo … Londo-ne wonten pundi
?”, kata saya mengulang pertanyaan tadi.
“ Teng Ler (di sebelah Utara)”,
jawab mereka.
“Sing nang Kidul kono… (yang
ada di Selatan..bagaimana) ?”, tanyaku.
“Sampun Ngaler sedaya … (sudah
ke Utara semua) “.
Setelah dibantu berdiri, saya
minta diantar menuju pasukan kami. Dua orang diantara mereka mengantar saya
menuju desa di sebelah Selatan dan melewati jalan yang dipakai pasukan Belanda
untuk menyiapkan serangan semalam. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri
melihat jenasah Gunarso. Beberapa orang penduduk masih merawat jenasah
teman-teman yang gugur. Kedua orang yang menolong saya, sampai saat ini tak pernah
tahu di mana mereka tinggal.