Bapak dan Ibu Djasmin Wirjosoemarto saat ikut reuni TP Kedu Selatan di Purworejo 1995 |
Oleh
: Atiatoen Wirjosoemarto
Penugasan
Pertama
Tahun
lalu, ketika saya menerima tugas pertama setelah mengikuti latihan dasar
kemiliteran di Militer Akademi Kotabaru bersama beberapa teman asrama dan
sekolah (SGP) Jalan Jati Yogyakarta, saya dan mbak Kushartini dikirim ke
Mojoagung Mojokerto Jawa Timur untuk mengirim sejumlah bahan makanan kering
(dendeng) dan obat-obatan bersama sepasukan anggota Ikatan Pelajar Indonesia Bagian Pertahanan yang dipimpin oleh Purbatin. Kami berangkat menggunakan
kereta api pagi yang menarik dua gerbong. Sampai di Solo, perjalanan aman. Menjelang
masuk hutan jati Mantingan, Purbatin memerintahkan masinis menghentikan kereta
dan ia turun bersama empat anggota pasukan untuk memeriksa keadaan. Menurut
cerita yang mereka dengar, tiga kawasan hutan yaitu Mantingan, Saradan dan
Caruban dikuasi oleh gerombolan perampok kejam. Sekitar satu jam kemudian,
kereta itu berjalan. Hal yang sama terjadi di kawasan hutan Saradan dan
Caruban. Menjelang maghrib, kereta memasuki stasiun madiun dan berhenti sekitar
dua jam untuk menaik-turunkan barang dan menambah air. Kesempatan ini kami
gunakan untuk membersihkan badan dan menghilangkan penat.
Perjalanan
ke stasiun Mojokerto dilanjutkan. Sepanjang perjalanan, saya dan mbak Kushatini
sesekali memejamkan mata. Sementara itu, beberapa anggota pasukan nampak asyik
membicarakan cerita pertempuran di sekitar Surabaya yang menelan korban ratusan
pejuang. Yang terkena luka tembak, pecahan mortir atau tertusuk bayonet
sebagian dirawat di Rumah Sakit Darurat PMI yang menjadi tujuan utama
perjalanan kami dari Markas Pusat Pelajar di Jalan Tugu Kulon 70 Yogyakarta.
Menurut keterangan yang kami terima sebelum berangkat, tempat perawatan korban
pertempuran Surabaya ada di lingkungan SGB Katholik (bruderan).
Kami
sampai di stasiun Mojokerto dini hari, Di sana telah menunggu beberapa anggota
TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar, nama pasukan Ikatan Pelajar Indonesia
Bagian Pertahanan di Jawa Timur). Kami dan barang bawaan segera dinaikkan ke
atas dua truk militer tanpa upacara khusus. Mas Isman, begitu Purbatin
memanggil nama komandan pasukan TRIP yang menyambut kedatangan kami di stasiun
memberi aba-aba agar truk segera dijalankan. Di tengah pekatnya malam itu, saya
tak dapat melihat keadaan di luar. Sekitar sejam perjalanan, kami telah
memasuki kompleks rumah sakit. Saya dan mbak Kushartini ditempatkan di ruang
depan bersama beberapa orang perawat. Sedangkan Purbatin dan pasukannya
ditempatkan di asrama yang cukup jauh dari bangsal perawatan.
Setelah
mandi dan menyantap makanan yang telah disiapkan oleh kepala perawat, kami
beristirahat di kamar. Saya tak mampu memejamkan mata karena di ruang sebelah
suara-suara erang kesakitan tak pernah berhenti. Hari pertama kami dibebaskan
dari semua tugas merawat korban di bangsal perawatan. Mbak Kushartini tidur dan mulai terdengar
suara dengkurnya. Perjalanan yang sangat melelahkan selama hampir sehari
semalam. Saya baru dapat tidur di siang hari sampai sore.
Melihat
keadaan korban pertempuran 10 November 1945, hati ini seperti tertusuk benda
sangat tajam. Kekejaman penjajahan dan peperangan terlihat sangat jelas, tak
membedakan siapapun mereka. Ada yang remuk kaki dan beragam luka tembak.
Penugasan seminggu di Rumah Sakit Darurat PMI sangat berkesan, tapi tak
menyurutkan niat kami untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi. Sebuah harga yang
sangat mahal, tak sebanding dengan apapun.
Penugasan
Kedua
Hari
terakhir ujian kenaikan kelas II baru saja usai, saya ingin bergegas ke kamar
asrama yang letaknya bersebelahan dengan ruang kelas. Belum sempat melangkah
jauh, seseorang memanggil nama saya. Segera saja saya melangkah, menuju arah sumber suara. Ternyata yang
memanggil adalah Kepala Sekolah yaitu Ibu R.A. Oemijatie (baca Umiyati), adik kandung dr. Sutomo, salah satu pendiri
Budi Utomo. Beliau berperawakan kecil, tapi lincah dan tegas. Hampir semua
siswi SGP tahu tentang kemampuan beliau dalam menjiwai masing-masing pribadi.
Setelah
mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, saya segera mendekat. Ibu Umiyati tampak
memegang sepucuk surat. Beliau lalu
membuka pembicaraan.
“ Atiatoen …
ini ada surat untukmu dari Markas Pusat. Buka dan bacakan untuk Ibu “, kemudian
beliau menyerahkan surat itu kepada saya. Tentu sebuah surat tugas, saya
menduga-duga isinya. Surat itu dibuka dengan pisau perlahan-lahan, kuatir
sobek. Pendek saja isinya. Yaitu perintah untuk segera menyelenggarkan dapur
umum dan tugas kepalang-merahan di Gereja Kristen Jawa Jalan Stasiun (sekarang
Jl. Pemuda) Kebumen untuk Front Barat.
Yang menandatangani mbak Sri Daruni, Kepala Staf Putri Markas Pusat
Pelajar Yogyakarta.
Dari
stasiun tugu, kereta api yang sebagian besar penumpangnya adalah para pelajar
mulai bergerak perlahan. Di gerbong itu ada beberapa teman satu sekolah yang
berasal dari Wates dan Purworejo. Di salah satu bangku tak jauh dari tempat
duduk saya, terlihat sosok kecil yang tak asing dan selalu menjadi teman
perjalanan yang menyenangkan. Bagyo, nama ini kelak menjadi pelawak terkenal di
jamannya. Siswa SGL (Sekolah Guru Laki-laki) ini suaranya lantang dengan dialek
khas Banyumasan. Sayang sekali, kereta yang membawa rombongan kami hanya sampai
di Stasiun Kutoarjo. Perjalanan ke Kebumen saya lanjutkan dengan berjalan kaki
dan naik delman karena tak ada moda angkutan lain.
Kepada
ayah, saya menanyakan keberadaan dua kakak kandung. Mas Achmad Dimjatie saat
itu telah berpangkat Letnan TRI dan mas Affandi yang sering keluar masuk markas
Tentara Pelajar Kebumen di Kauman (sekarang jadi gedung SMP Muhammadiyah I
Kebumen) bersama Agustinus, putra pendeta Gereja Kristen di dekat stasiun.
Kebetulan, sewaktu ibu kandung berjualan beras di pasar, Bapak Pendeta
Reksodihardjo adalah seorang pelanggan setia. Jadi, hubungan kami telah
berlangsung sejak lama dari masa kanak-kanak. Setelah ibu meninggal tahun 1939,
yang menyambung tali silaturahmi adalah mas Pandi (Affandi).
” Pak… selama
masa libur ini saya ditugaskan di markas darurat yang ada di rumah dinas
pendeta, bapaknya Agustinus’, kata saya sambil menyodorkan surat tugas yang
rencananya besok hari akan saya serahkan kepada kepala markas atau wakilnya.
” Sama siapa
kamu di sana Toen ?”, tanya ayah.
” Teman-teman
SGP dari Kebumen.. termasuk dik Wasil (Umi Wasilah) dan dik Cini (Rasini)”,
jawab saya menyebut nama dua orang yang telah dikenal ayah.
” Di lumbung
ada beberapa ikat padi yang bisa ditumbuk. Yang lain, kamu cari sendiri. Ayah sementara waktu akan
mengungsi di rumah ibu tiri. Ini ada sedikit uang yang bisa kamu pakai untuk
membeli garam dan bumbu buat keperluan asrama teman-temanmu di gereja sana”,
ayah menyodorkan sejumlah uang yang nilainya cukup banyak.
Surat
tugas diterima mas Tjiptardjo, wakil kepala markas. Mas Moedojo sedang ke
Purworejo malakukan kordinasi dengan kepala markas TP di sana, mas Pratik (Imam
Pratignyo). Dari penjelasan mas Tjip, saya mendapatkan informasi bahwa Markas
Pusat Pelajar di Tugu Kulon tengah menyiapkan sebagian besar anggota pasukan
yang akan dikirim ke front Barat di sepanjang garis demarkasi yang berbatasan
dengan Kali Kemit. Ada yang dikirim melalui markas Karanganyar sebagai pusat
komando terdepan. Tapi ada juga yang langsung menuju Puring dan Kuwarasan yang
diperkirakan akan menjadi ajang pertempuran besar antara pasukan Republik
Indonesia dan tentara pendudukan Belanda serta sekutunya. Markas darurat ini
berfungsi sebagai pusat kendali operasi langsung di bawah komando Markas Pusat
Pelajar. Karena itu disediakan asrama untuk menampung sementara waktu pasukan
yang akan diterjunkan ke titik-titik pertahanan pasukan Republik Indonesia,
Mungkin hanya untuk satu dua hari, tapi jumlah mereka ratusan atau ribuan.
Penjelasan
singkat wakil kepala markas memberi gambaran yang cukup dalam menyelenggarakan
menu bagi para pelajar pejuang kemerdekaan ini. Baik yang disajikan selama
mereka menginap maupun sebagai bekal dalam bentuk nasi bungkus (noek). Uang yang saya terima dari mas
Tjip diperkirakan tak cukup untuk membeli bahan-bahan makanan meski telah
ditambah dengan pemberian ayah. Sebagai penanggung-jawab, saya meminta bantuan
pak Pendeta Rekso agar menyiapkan penanak nasi dan pencari kayu bakar. Beliau
menunjuk mbak Fatonah yang tinggal di belakang gereja sebagai penanak nasi.
Sementara itu, nama si pencari kayu dan keperluan dapur lain tak ingat lagi. Ia
seorang lelaki asal Desa Legok di sebelah Barat sungai Luk Ulo.
Di
antar teman-teman yang bertugas di asrama, mbak Umiyatun adalah yang tertua.
Dia adik kandung mas Martono, komandan Batalyon 300 dan wakil kepala Markas Pusat.
Selama bertugas sekitar tiga minggu, mbak Umiyatun sempat dua kali pulang ke
rumahnya di Desa Meles, Karanganyar. Dik Cini yang sekampung, tak pernah
menengok rumahnya yang ada di desa itu juga. Kedua teman ini masih berkerabat
cukup dekat. Saya, dik Wasil dan mbak Hartati yang tinggal tak jauh dari asrama
dan markas, sesekali menengok rumah masing-masing. Bahkan, rumah mbak Hartati
hanya berjarak kurang dari seratus meter. Karena yang mendapat latihan dasar
militer dan kepalangmerahan hanya saya, ketrampilan yang saya peroleh kemudian
saya tularkan di sela-sela waktu istirahat. Saya tak pernah memakai atribut
lengan (ban) PMI. Yang selalu memakai
yaitu Rasini, Umi Wasilah dan Umiyatun. Ketiganya sering bercengkerama dengan
anggota pasukan yang memang usianya sebaya.
Saya
lebih suka membantu Yu Fathonah di dapur atau mencari bahan sayur dan lauk
untuk sediaan hari berikutnya. Pada saat menyiapkan masakan (sayur) untuk makan malam, kami kehabisan kelapa.
Saya minta anggota pasukan yang tengah duduk di teras asrama untuk memetik dari
pohon yang ada di kebun belakang rumah kami di Pasarpari.
” Siapa yang
bisa memetik kelapa, ikut saya !”, Atiatoen setengah berteriak.
Seorang pemuda
berperawakan tinggi mendekat dan menyatakan kesediaannya. Ternyata dia adalah
Linus Djentamat dari Kalimantan. Sepanjang jalan, saya dan Hartati tak banyak
bicara. Begitu juga dengan Linus. Sesampai di kebun belakang rumah, Linus
langsung memanjat pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, sekitar 6 atau 7
meter dengan cekatan.
” Berapa butir
yang tua dan muda mbak?”, teriak Linus di atas.
” Yang tua
satu tandan… yang masih muda terserah …”, jawab Atiatoen lantang.
Setelah semua
kelapa dikumpulkan, beberapa anggota pasukan yang menyusul ikut rombongan kami
ada yang langsung menancapkan linggis dan mengupas kulit kelapa dengan cekatan.
Seorang lainnya memanjat pohon nangka yang juga ada di kebun belakang rumah
kami. Kelapa dan nangka dibawa dengan pikulan dan kami bergegas kembali ke gereja (asrama). Tak
pernah menyangka, peristiwa ini adalah jumpa pertama dan terakhir dengan Linus
Djentamat yang pendiam.
Seperti
kebanyakan remaja menjelang usia dewasa, anggota pasukan Tentara Pelajar yang
dikirim ke Front Barat bersikap wajar. Sesekali mengeluarkan ucapan kotor dan
suka menggoda kami baik ketika di dalam, apalagi di luar dapur. Di satu siang
yang terik dan panas, seseorang yang dipanggil dengan sebutan Lowo masuk ke
dalam dapur dan membuat onar dengan mengambil ubi rebus yang baru saja
diturunkan dari tungku. Masih sangat panas. Tanpa pamit dia mengambil beberapa
dan menaruhnya di atas daun pisang yang selalu kami siapkan untuk bungkus menu
harian.Sambil tertawa terbahak-bahak dia berkata:
” Terima kasih
buat singkong rebusnya ya…. Mbak !”, dia berlalu dan menari kecil di depan
teman-teman perempuan yang tengah menyobek lembaran daun pisang untuk
pembungkus nasi.
” Dasar
kampret …tukang copet !”, Rasini menghardik Lowo dengan nada keras.
Bukan malu
atau marah, Lowo justru bertambah keras tertawanya. Dan terus menggoda.
Minggu
terakhir Agustus 1947 semakin banyak anggota pasukan yang dikirim dari Markas
Pusat Yogyakarta maupun sejumlah daerah yang dikerahkan dari markas Purworejo.
Dari penuturan mas Tjiptardjo diperoleh kabar bahwa pasukan terakhir akan
diberangkatkan dari stasiun Tugu pada tanggal 29 Agustus. Mereka kebanyakan
dari Perpis (Pelajar Sulawesi) dan Pelajar Kalimantan. Sedangkan dari Purworejo
akan datang pasukan SA/CSA dan TGP. TRIP Jawa Timur dan TP Solo mengirim sejumlah kecil pasukannya. Boleh
disebut bahwa Front Barat adalah satu dari beberapa lokasi pengerahan pasukan
pelajar pejuang kemerdekaan ini terbesar di tahun 1947.
Kalau
tak salah ingat, malam 30 Agustus adalah malam terakhir asrama markas darurat
menjadi tempat menginap sementara pasukan Tentara Pelajar. Malam yang cukup
dingin untuk ukuran awal musim penghujan. Tidak seperti biasanya, dapur umum
menyediakan makan malam dan nasi 50 bungkus tapi dengan porsi sama dengan
hari-hari sebelumnya yang disiapkan 100 nasi bungkus (noek). Rombongan terakhir adalah pasukan yang dikirim Yogya dan
Purworejo. Tingkah laku mereka seolah ingin melepas semua ”beban”. Ada yang
berteriak seperti kesurupan dan beragam tingkah “aneh” lainnya.
Kepada
Umiyatun dan Rasini, Atiatoen sempat menyatakan gundahnya.
”Nganeh-anehi
(sangat aneh) tingkah mereka ya mbak..?”, yang dijawab singkat oleh keduanya. ”
He eh… ”.
”
Jangan-jangan………… ini sebuah pertanda
buruk.. ”, kata Atiatoen dengan nada lebih pelan.
” Itulah…dik
Toen. Saya juga kuatir ..”, sela Umiyatun.
Entah sebuah
kebetulan atau keberuntungan, beberapa warga masyarakat yang sudah tahu bahwa
aula GKJ jadi asrama markas mas TP (sebutan mereka kepada anggota pasukan
pelajar pejuang kemerdekaan) mengirim dalam jumlah banyak bahan makanan
(singkong dan ketela pohon/ubi jalar), pisang kapok dan raja uter yang enak
disantap hangat dengan cara dikukus. Peristiwa serupa berulang pada malam 31.
Selama
tiga hari (1 – 3 September 1947) markas dan asrama libur. Dari utusan mas Dimjatie,
saya mendapat kabar buruk. Firasat kami ternyata benar. Banyak teman kami gugur
di medan laga, Front Barat. Tepatnya di Desa Sidobunder, Kecamatan Puring,
Kabupaten Kebumen. Satu korban atas nama Suryoharyono yang akrab dipanggil Hary
di semayamkan di teras aula asrama sebelum dibawa ke Yogya bersama jenasah
lainnya. Bapak Pendeta Reksodihardjo yang menyiapkan peti jenasahnya.
Sebagaimana
ditulis mas Djokowoerjo Sastradipradja yang ditugasi menemukan(kembali),
mendata dan membawa korban Palagan Sidobunder ke markas Karanganyar, ada 24
anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur. Hanya 20 orang yang diakui dan
dicatat dalam buku sejarah terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi TNI yang berjudul
“ Peran Tentara Pelajar dalam Perang Kemerdekaan dan Pembangunan, tahun 1995. Sisanya
yang 4 orang, karena dianggap kurir atau alasan lain, tidak termasuk dalam
daftar.
***
Penghargaan dari Keluarga Besar TP Kedu Selatan 1957 |
Tanda Anggota Tentara Pelajar a.n Djasmin (suami Atiatoen) |
Semboyan :
1. ”
Kesetiaan kami kepada bangsa dan Negara dari buaian sampai ke liang lahat”.
2. ”Kami
tak akan kembali ke bangku sekolah sebelum penjajah enyah dari bumi pertiwi”.
Kata Mutiara :
1. Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak
itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak (alm. Ibu
R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).
2. Memang baik jadi orang penting, tapi
jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang
Imad, Dr. Imadudin – Dosen ITB)