Foto. Antaranews. |
Pergeseran nilai kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebenarnya merupakan suatu keniscayaan
bagi Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya. Hal yang
diharapkan tentu saja munculnya kesadaran untuk menguatkan peradaban dan
keadaban. Karena bangsa yang memiliki peradaban kuat akan mampu menghadapi
perubahan yang pasti terjadi ke arah yang lebih positif. Demikian juga
sebaliknya. Satu bangsa akan terjerumus dalam kehinaan ketika perubahan keadaan
yang terjadi lebih banyak menonjolkan hal-hal yang negatif.
Sepanjang waktu pasca Bangsa
Indonesia berjuang meraih dan menegakkan kemerdekaan, semakin banyak peristiwa
yang menunjukkan bahwa pergeseran nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
cenderung mengarah pada sisi negatif.
Konflik sosial dan politik seolah tanpa ada penyelesaian memadai secara
substantif. Dalam panggung politik khususnya, kebanyakan pemimpin tak pernah
memberi contoh yang menunjukkan bahwa sikap kenegarawanan sebagai cara paling beradab dan modern dalam menyelesaikan
konflik itu. Bahkan sebaliknya, terlalu menonjolkan
sektarianisme yang berbungkus aneka rupa perilaku narsistis. Akibatnya,
setiap terjadi konflik sosial maupun politik secara nasional, dapat dipastikan
berdampak dendam kesumat dari pihak yang menjadi korbannya.
Perilaku kenegarawanan justru
muncul dari kalangan pemimpin informal dan perguruan tinggi tententu. Selain Bung Hatta yang bertahan dengan
idealisme politik non partisan, sangat sulit menemukan sosok yang sebanding
dengan Proklamator dan penggagas Siasat Ekonomi ini. Apalagi di atasnya. Para
pemimpin politik dari perguruan tinggi dan organisasi-organisasi sosial yang
semula menampakkan perilaku positif, ketika masuk dalam lingkaran kekuasaan
formal tak mampu lagi mempertahankan kapasitas intelektualitasnya sebagai upaya melakukan perubahan internal. Entah
karena gamang, tak lagi punya nyali atau kuatnya faktor kontaminatif di dalam
lingkungan baru, mereka seperti kehilangan daya. Akhirnya, masyarakat awam
kembali harus menelan kekecewaan dan begitu seterusnya dalam setiap pergantian
kepemimpinan nasional.
Partai politik yang seharusnya
berperan utama sebagai pusat pendidikan
politik masyarakat dalam hal perilaku kenegarawanan dan wawasan kebangsaan tak
pernah beranjak dari posisinya sebagai alat kekuasaan kelompok orang
tertentu saja. Kelompok itu lebih sering
menampakkan perilaku feodalistik ketimbang demokratik sebagaimana
diamanatkan oleh isi Mukadimah UUD 1945. Kesetiaan buta terhadap sekte-sekte
politik yang dianut para elit pemimpinnya. Bukan kesetiaan pada tujuan perjuangan bangsa Indonesia yang berujung
pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam beberapa catatan
sebelumnya, saya menyoroti dua hal (tema) besar yakni diaspora Indonesia dan relawan kemanusiaan. Pada tema diaspora
Indonesia, banyak hal menarik yang patut diangkat menjadi bahan pembelajaran
bersama selaku bangsa beradab. Mereka yang merasa punya keterikatan dengan sejarah dan budaya
Indonesia dan berkehidupan di berbagai belahan dunia serta menjalani beragam
profesi, ingin menunjukkan diri kepada orang-orang, lembaga dan sejumlah pihak
di tanah lahir, tanah air atau kampung halaman Indonesia bahwa keberadaannya selayaknya
tetap diakui sebagai bagian dari Indonesia. Indonesia yang bisa berarti wilayah
kekuasaan suatu negara, satu suku bangsa atau sisi unik yang hanya bisa
dijelaskan dengan rasa. Cinta tanah
air dan ragam budaya yang tak hanya indah dipandang, tapi juga nyaman
disandang. Kenyamanan yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang mapan secara ekonomi dan sosial yang diperoleh dari
proses pencapaian pribadi berkarakter. Memenangi pertarungan pribadi di bawah bayang-bayang muram inferioritas
masyarakat umum di tanah lahir atau kampung halaman Indonesia.
Menyandang atribut keindonesiaan yang
sering dilanda konflik sosial dan politik bukan hal mudah dalam
berperikehidupan di manca negara. Hal itu tercermin dalam perlakuan pemerintah
dan mungkin juga masyarakat setempat kepada para TKI di Malaysia misalnya.
Sementara itu, nasib yang lebih baik dialami oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan profesional yang memadai seperti para ahli, teknisi, dosen dan
sebagainya. Contohnya, Hadi Nur, seorang profesor kimia yang masih berusia 44
tahun dari Ranah Minang yang
menjadi Staf Pengajar di Universiti Teknologi Malaysia. Sebelum itu, ada satu
nama yang sangat popular di tahun 1980-an, Dr. Sadono Sukirno dari Universiti
Kebangsaan Malaysia yang satu bukunya “ Ekonomi Pembangunan” merupakan
referensi nasional.
Dua orang diaspora Indonesia di Malayasia adalah
sebuah contoh kecil betapa berharganya mereka di negeri orang dibanding di
negeri atau tanah lahirnya. Sebagaimana dipaparkan oleh Hadi Nur, banyak
pemimpin formal maupun informal di Malaysia bertalian sangat erat dengan
sejarah dan budaya Indonesia. Mereka sukses di berbagai bidang kehidupan dan
dihargai sepadan. Misalnya, Dato’ Sri Haji Mohammad Najib bin Tun Haji Abdul
Rajak yang saat ini menjabat Perdana Menteri adalah keturunan Sultan Gowa di
Sulawesi. Jadi, mengapa kita harus
meradang saat batik dan beberapa artefak budaya Indonesia dinyatakan (di-claim) oleh warga Malaysia yang sangat
mungkin dia atau mereka jauh lebih Indonesia dari pada orang Indonesia yang ada
di negeri sendiri ? Benarkah model-model ekspresif seperti itu merupakan bukti
kuat bahwa nasionalisme orang-orang di dalam negeri masih sangat sempit
sebagaimana diungkapkan Indah Morgan (diaspora Indonesia di Inggris) dalam satu
wawancara dengan Radio Australia beberapa saat sebelum berlangsung Kongres II
Diaspora Indonesia di Jakarta pada 18-20 Agustus 2013 lalu ?
Sempitnya pemahaman nasionalisme dapat dilihat dari
penampilan tim-tim olahraga, terutama sepakbola. Betapa kuat dukungan kepada
tim untuk memenangi satu pertandingan internasional. Jargon dan yel-yel
digaungkan bertalu-talu di berbagai media. Entah berapa besar sumber daya yang
harus dikorbankan. Begitu tim yang begitu dielukan kalah, apalagi telak, semua
gegap gempita sering berbalik arah jadi caci maki dan sumpah serapah. Tak
terkecuali dari orang-orang yang semula ingin mendapat pengakuan/ keuntungan dari
situasi emosional ini. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Dubes RI untuk Amerika
Serikat, Dr. Dino Pati Djalal, tentang sinisme publik.
Yang menarik dari perjalanan Diaspora Indonesia justru
sikap anak keturunan “budak belian” di Suriname. Sejarah mencatat bahwa para
leluhur mereka dibawa paksa oleh pemerintah penjajahan Belanda dipekerjakan
sebagai tenaga kerja kasar tanpa bayar selain makan minum yang kondisinya
mungkin juga sangat minimum. Kini, bukan sekadar bangkit melawan perbudakan,
tapi mampu menyejajarkan diri dengan warga bangsa lain di seluruh penjuru jagad
raya dan menduduki posisi-posisi strategis. Soewarto Mustadja misalnya, anak
keturunan orang Desa Kalirancang Kecamatan Alian di Kebumen yang kini jadi
Menteri Dalam Negeri Suriname. Dalam posisinya yang begitu penting, beliau
masih menjaga eksistensi budaya dan tak segan mengakui asal muasal dirinya dari
sebuah desa yang tergolong miskin pada saat itu sampai beberapa dasawarsa paska
kemerdekaan.
Banyak hal menarik dari kiprah Diaspora Indonesia.
Pernyataan mantan Presiden B.J. Habibie tentang kelangkaan lapangan kerja yang
sesuai dengan kapasitas keahlian mereka sangat perlu mendapat perhatian. Jangan
hanya reaktif dan meradang saat bagian dari identitas budaya kita diklaim milik
penduduk negeri jiran tanpa menelusur sejarah yang menyertai. Bila ternyata
mereka memang (sebenarnya) masih merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang
tersisih karena tekanan ekonomi maupun politik diskriminatif dalam negeri. (bersambung..tema:
relawan kemanusiaan..).