Catatan Akhir Tahun 2013 - Bagian I

Foto. Antaranews.

Pergeseran nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebenarnya merupakan suatu keniscayaan bagi Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya. Hal yang diharapkan tentu saja munculnya kesadaran untuk menguatkan peradaban dan keadaban. Karena bangsa yang memiliki peradaban kuat akan mampu menghadapi perubahan yang pasti terjadi ke arah yang lebih positif. Demikian juga sebaliknya. Satu bangsa akan terjerumus dalam kehinaan ketika perubahan keadaan yang terjadi lebih banyak menonjolkan hal-hal yang negatif.

Sepanjang waktu pasca Bangsa Indonesia berjuang meraih dan menegakkan kemerdekaan, semakin banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa pergeseran nilai kemanusiaan yang adil dan beradab cenderung mengarah pada sisi negatif. Konflik sosial dan politik seolah tanpa ada penyelesaian memadai secara substantif. Dalam panggung politik khususnya, kebanyakan pemimpin tak pernah memberi contoh yang menunjukkan bahwa sikap kenegarawanan sebagai cara paling beradab dan modern dalam menyelesaikan konflik itu. Bahkan sebaliknya, terlalu menonjolkan sektarianisme yang berbungkus aneka rupa perilaku narsistis. Akibatnya, setiap terjadi konflik sosial maupun politik secara nasional, dapat dipastikan berdampak dendam kesumat dari pihak yang menjadi korbannya.

Perilaku kenegarawanan justru muncul dari kalangan pemimpin informal dan perguruan tinggi tententu.  Selain Bung Hatta yang bertahan dengan idealisme politik non partisan, sangat sulit menemukan sosok yang sebanding dengan Proklamator dan penggagas Siasat Ekonomi ini. Apalagi di atasnya. Para pemimpin politik dari perguruan tinggi dan organisasi-organisasi sosial yang semula menampakkan perilaku positif, ketika masuk dalam lingkaran kekuasaan formal tak mampu lagi mempertahankan kapasitas intelektualitasnya sebagai upaya melakukan perubahan internal. Entah karena gamang, tak lagi punya nyali atau kuatnya faktor kontaminatif di dalam lingkungan baru, mereka seperti kehilangan daya. Akhirnya, masyarakat awam kembali harus menelan kekecewaan dan begitu seterusnya dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional.

Partai politik yang seharusnya berperan utama sebagai pusat pendidikan politik masyarakat dalam hal perilaku kenegarawanan dan wawasan kebangsaan tak pernah beranjak dari posisinya sebagai alat kekuasaan kelompok orang tertentu saja. Kelompok itu lebih sering  menampakkan perilaku feodalistik ketimbang demokratik sebagaimana diamanatkan oleh isi Mukadimah UUD 1945. Kesetiaan buta terhadap sekte-sekte politik yang dianut para elit pemimpinnya. Bukan kesetiaan pada tujuan perjuangan bangsa Indonesia yang berujung pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam beberapa catatan sebelumnya, saya menyoroti dua hal (tema) besar yakni diaspora Indonesia dan relawan kemanusiaan. Pada tema diaspora Indonesia, banyak hal menarik yang patut diangkat menjadi bahan pembelajaran bersama selaku bangsa beradab. Mereka yang merasa punya keterikatan dengan sejarah dan budaya Indonesia dan berkehidupan di berbagai belahan dunia serta menjalani beragam profesi, ingin menunjukkan diri kepada orang-orang, lembaga dan sejumlah pihak di tanah lahir, tanah air atau kampung halaman Indonesia bahwa keberadaannya selayaknya tetap diakui sebagai bagian dari Indonesia. Indonesia yang bisa berarti wilayah kekuasaan suatu negara, satu suku bangsa atau sisi unik yang hanya bisa dijelaskan dengan rasa. Cinta tanah air dan ragam budaya yang tak hanya indah dipandang, tapi juga nyaman disandang. Kenyamanan yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang mapan secara ekonomi dan sosial yang diperoleh dari proses pencapaian pribadi berkarakter. Memenangi pertarungan pribadi di bawah bayang-bayang muram inferioritas masyarakat umum di tanah lahir atau kampung halaman Indonesia.

Menyandang atribut keindonesiaan yang sering dilanda konflik sosial dan politik bukan hal mudah dalam berperikehidupan di manca negara. Hal itu tercermin dalam perlakuan pemerintah dan mungkin juga masyarakat setempat kepada para TKI di Malaysia misalnya. Sementara itu, nasib yang lebih baik dialami oleh orang-orang yang memiliki kemampuan profesional yang memadai seperti para ahli, teknisi, dosen dan sebagainya. Contohnya, Hadi Nur, seorang profesor kimia yang masih berusia 44 tahun dari Ranah Minang yang menjadi Staf Pengajar di Universiti Teknologi Malaysia. Sebelum itu, ada satu nama yang sangat popular di tahun 1980-an, Dr. Sadono Sukirno dari Universiti Kebangsaan Malaysia yang satu bukunya “ Ekonomi Pembangunan” merupakan referensi nasional.

Dua orang diaspora Indonesia di Malayasia adalah sebuah contoh kecil betapa berharganya mereka di negeri orang dibanding di negeri atau tanah lahirnya. Sebagaimana dipaparkan oleh Hadi Nur, banyak pemimpin formal maupun informal di Malaysia bertalian sangat erat dengan sejarah dan budaya Indonesia. Mereka sukses di berbagai bidang kehidupan dan dihargai sepadan. Misalnya, Dato’ Sri Haji Mohammad Najib bin Tun Haji Abdul Rajak yang saat ini menjabat Perdana Menteri adalah keturunan Sultan Gowa di Sulawesi.  Jadi, mengapa kita harus meradang saat batik dan beberapa artefak budaya Indonesia dinyatakan (di-claim) oleh warga Malaysia yang sangat mungkin dia atau mereka jauh lebih Indonesia dari pada orang Indonesia yang ada di negeri sendiri ? Benarkah model-model ekspresif seperti itu merupakan bukti kuat bahwa nasionalisme orang-orang di dalam negeri masih sangat sempit sebagaimana diungkapkan Indah Morgan (diaspora Indonesia di Inggris) dalam satu wawancara dengan Radio Australia beberapa saat sebelum berlangsung Kongres II Diaspora Indonesia di Jakarta pada 18-20 Agustus 2013 lalu ?

Sempitnya pemahaman nasionalisme dapat dilihat dari penampilan tim-tim olahraga, terutama sepakbola. Betapa kuat dukungan kepada tim untuk memenangi satu pertandingan internasional. Jargon dan yel-yel digaungkan bertalu-talu di berbagai media. Entah berapa besar sumber daya yang harus dikorbankan. Begitu tim yang begitu dielukan kalah, apalagi telak, semua gegap gempita sering berbalik arah jadi caci maki dan sumpah serapah. Tak terkecuali dari orang-orang yang semula ingin mendapat pengakuan/ keuntungan dari situasi emosional ini. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Dubes RI untuk Amerika Serikat, Dr. Dino Pati Djalal, tentang sinisme publik.  

Yang menarik dari perjalanan Diaspora Indonesia justru sikap anak keturunan “budak belian” di Suriname. Sejarah mencatat bahwa para leluhur mereka dibawa paksa oleh pemerintah penjajahan Belanda dipekerjakan sebagai tenaga kerja kasar tanpa bayar selain makan minum yang kondisinya mungkin juga sangat minimum. Kini, bukan sekadar bangkit melawan perbudakan, tapi mampu menyejajarkan diri dengan warga bangsa lain di seluruh penjuru jagad raya dan menduduki posisi-posisi strategis. Soewarto Mustadja misalnya, anak keturunan orang Desa Kalirancang Kecamatan Alian di Kebumen yang kini jadi Menteri Dalam Negeri Suriname. Dalam posisinya yang begitu penting, beliau masih menjaga eksistensi budaya dan tak segan mengakui asal muasal dirinya dari sebuah desa yang tergolong miskin pada saat itu sampai beberapa dasawarsa paska kemerdekaan.

Banyak hal menarik dari kiprah Diaspora Indonesia. Pernyataan mantan Presiden B.J. Habibie tentang kelangkaan lapangan kerja yang sesuai dengan kapasitas keahlian mereka sangat perlu mendapat perhatian. Jangan hanya reaktif dan meradang saat bagian dari identitas budaya kita diklaim milik penduduk negeri jiran tanpa menelusur sejarah yang menyertai. Bila ternyata mereka memang (sebenarnya) masih merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang tersisih karena tekanan ekonomi maupun politik diskriminatif dalam negeri. (bersambung..tema: relawan kemanusiaan..).

This entry was posted in ,,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply