oleh : Jopie Fatimah
Setelah Indonesia dikuasai oleh Jepang, di tiap-tiap daerah atau kampung
dibentuk organisasi wanita yang disebut Fujinkai. Kebetulan, ibu Ida
Subekti dan saya tinggal di satu RT yang sama di kelurahan Petojo Kebon
Singkong. Oleh Fujinkai, kami ditugaskan mengikuti kursus Ilmu Kesehatan
dan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan yang diselenggarakan oleh
Jawatan Kesehatan Kota Jakarta. Setelah selesai, kami ditugaskan menjadi
pekerja sosial di RW yang masing-masing yang dipimpin oleh seorang
dokter. Ibu Subekti menyediakan rumahnya menjadi Pos PPPK.
Tahun
1943, Haritarti mengajak saya bekerja di Keputrian Pergerakan Tiga A.
Kami mendirikan suatu lembaga putri, bertempat di Jl. Segara (gedung
bekas kantor Klaasenz). Lembaga ini dipimpin olrh Ibu Sukendah Hanafi.
Tugas kami adalah mengumpulkan putri-putri dari daerah dan kampung,
diberi ketrampilan membuat sandal dan sepatu dari kayu dan bagor (karung
goni) serta membuat kecap dan lain-lain. Dengan maksud agar mereka
tidak diganggu oleh tentara Jepang yang kadang-kadanng menjadikannya
sebaga gundik. Mereka diasramakan, dan hasil pekerjaan tangan itu
menjadi sumber biaya keperluan asrama.
Di samping itu, yang ingin mempelajari Ilmu Pengetahuan Umum diberi kesempatan kursus mata pelajaran sosiologi ekonomi oleh Bung Hatta. Dan Ilmu Kependidikan oleh Ki Hadjar Dewantara maupun Pak Said dari Perguruan Taman Siswa.
Di samping itu, yang ingin mempelajari Ilmu Pengetahuan Umum diberi kesempatan kursus mata pelajaran sosiologi ekonomi oleh Bung Hatta. Dan Ilmu Kependidikan oleh Ki Hadjar Dewantara maupun Pak Said dari Perguruan Taman Siswa.
Juga
dibentuk Barisan Pemuda Asia Raya yang mendapat latihan militer dan
baris berbaris. Kamipun tak mau ketinggalan dengan membentuk Barisan
Putri Asia Raya yang dipimpin oleh Ibu Dalimah dan Ibu Yo Abdurrahman.
Kami mendapat pelajaran bercocok tanam dan memelihara ikan mujair.
Asrama kami di Pegangsaan Timur (kemudian jadi Megaria). Suatu hari,
ketika mendapat berita bahwa pemerintah Jepang kalah melawan Sekutu,
maka Barisan Putera dan Putri diubah namanya menjadi Barisan Pemuda dan
Barisan Putri.
Kemudian kami beraksi mencari usaha untuk mendapatkan kunci-kunci gudang yang ditinggalkan oleh tentara Jepang, berisi perlengkapan, di bawah pimpinan Ibu Yo Chaerul Saleh. Setelah berhasil mengambil bahan kain putih dan merah lalu kami menjahitnya menjadi bendera merah putih untuk dibagikan kepada masyarakat. Pembuatan bendera ini bertempat di rumah Bung Chaerul Saleh. Kami dibagi berkelompok, ada yang menjahit dan melipat, ada pula yang membagi bagikan kepada para lurah untuk dibagikan kepada warga masyarakat. Bendera-bendera itu harus dikibarkan setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tangga 17 Agustus 1945 jam 10 pagi.
Kemudian kami beraksi mencari usaha untuk mendapatkan kunci-kunci gudang yang ditinggalkan oleh tentara Jepang, berisi perlengkapan, di bawah pimpinan Ibu Yo Chaerul Saleh. Setelah berhasil mengambil bahan kain putih dan merah lalu kami menjahitnya menjadi bendera merah putih untuk dibagikan kepada masyarakat. Pembuatan bendera ini bertempat di rumah Bung Chaerul Saleh. Kami dibagi berkelompok, ada yang menjahit dan melipat, ada pula yang membagi bagikan kepada para lurah untuk dibagikan kepada warga masyarakat. Bendera-bendera itu harus dikibarkan setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tangga 17 Agustus 1945 jam 10 pagi.
Pada tanggal 19
September 1945, para pemuda mengadakan rapat raksasa di Lapangan Ikeda.
Tepat ketika Bung Karno naik panggung yang telah disiapkan dan
meneriakkan pekik "MERDEKA", tentara Jepang mulai menembak ke arah massa
yang ada di tengah lapangan. Barisan Pemuda segera menyelamatkan Bung
Karno untuk diamankan. Di sinilah meluapnya semangat perjuangan bangsa
Indonesia yang tidak mau lagi dijajah oleh siapapun. Kami mulai
berkeliling kota dengan bersorak-sorak memekikkan salam merdeka dan
merusak semua bangunan peninggalan Belanda dan Jepang. Aksi ini dipimpin
oleh Ibu Malidar dan lain-lain. Daerah yang paling berbahaya adalah Jl.
Abdurrahman Saleh, Kramat Sentiong dan Kramat VI. Di sini bersembunyi
orang-orang bekas militer Belanda.
Ibu Ida Subekti juga membentuk Pos PalangMerah , dibantu oleh putra-putri dari daerah Petojo dan Pesing. Kemudian pindah ke Tanah Abang. Kebon Sirih Park. Pos yang ada di Jl. Musi Petojo diserahkan kepada saya, dibantu oleh beberapa kawan putra-putri lainnya. Kami mendapat rumah dari Mr. Kasman Singodimejo, yaitu bekas rumah beliau di Jalan Musi 2 yang ada teleponnya. Pos yang dipimpin oleh Ibu Subekti berpindah-pindah tempat. Pos PPPK kami ada di Jl. Tangerang sampai ke Jatibaru. Pos kami sangat sibuk ketika diserangnya Garnisun Petojo Jaga Monyet. Kami turut membantu mengantar korban ke Rumah Sakit Salemba (RSUP kemudian RSCM ). Hampir semua pos sibuk bekerja.
Ibu Ida Subekti juga membentuk Pos PalangMerah , dibantu oleh putra-putri dari daerah Petojo dan Pesing. Kemudian pindah ke Tanah Abang. Kebon Sirih Park. Pos yang ada di Jl. Musi Petojo diserahkan kepada saya, dibantu oleh beberapa kawan putra-putri lainnya. Kami mendapat rumah dari Mr. Kasman Singodimejo, yaitu bekas rumah beliau di Jalan Musi 2 yang ada teleponnya. Pos yang dipimpin oleh Ibu Subekti berpindah-pindah tempat. Pos PPPK kami ada di Jl. Tangerang sampai ke Jatibaru. Pos kami sangat sibuk ketika diserangnya Garnisun Petojo Jaga Monyet. Kami turut membantu mengantar korban ke Rumah Sakit Salemba (RSUP kemudian RSCM ). Hampir semua pos sibuk bekerja.
Ketika para pemuda dan anggota TKR berangkat ke
Cikampek, Pos Petojo menjadi sepi. Hanya kaum putri saja yang
mempertahankan pos. Kemudian kami diminta oleh teman-teman yang ada di
Cikampek untuk mengumpulkan dana, bahan makanan dan lain-lain untuk
keperluan mereka yang ada di perbatasan. Pada kesempatan ini, kami
mendapat rintangan dari beberapa tetangga, dikatakan bahwa kami dari Pos
PPPK. Mereka salah taksir, karena di tempat kami sudah banyak
Koninlijke Leger masuk dan bersembunyi di rumah-rumah Indo. Pos kami
dipindahkan ke Jatibaru dan membantu Ibu Marguna, menjaga masuknya
mata-mata musuh dari Stasiun Tanah Abang asal Tangerang. Mata-mata ini
kebanyakan wanita Tionghoa. Mereka menyembunyikan granat-granat tangan
di sanggul.
Selesai membantu Ibu Marguna, saya diminta membantu oleh
Ibu Lasmijah Wardi (Hardi) untuk mencari beras ke Cikampek dan
Karawang, dengan mengendarai truk. selanjutnya membantu beliau di dapur
umum.
*****
Disadur dari buku ketiga:
Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi '45
Penyunting: Dra.Hj. Irna H.N. Hadi Soewito
Yayasan Wirawati Catur Panca (tanpa tahun terbit)