MAJU TERUS PANTANG MUNDUR

Monumen Tentara Pelajar di Bandung

Oleh : Entin Suryanah

Pada tahun 1944 dibentuk Organisasi Palang Merah Indonesia yang dipimpin oleh dokter Hardjoloekito. Semua pelajar wanita kelas II dan III SMP didaftar sebagai anggota. Saya ditugaskan di Rumah sakit Bayuasih Purwakarta, di mana kemudian dokter Hardjoloekito ikut dipindahkan.Sementara itu, dokter Leimena digantikan oleh dokter Musa dari Bandung.

Kebetulan, di Purwakarta saat itu tengah dibuka Chu Gakoyang setingkat SMP. Sekalipun tinggal di asrama, saya diberi kemudahan untuk melanjutkan di Chu Gako. Sebagai anggota Palang Merah, saya melaksanakan tugas di Pos Palang Merah RS Bayuasih selepas waktu sekolah sekitar jam 15.00. Pos ini ada di halaman rumah dinas dokter Hardjoloekito. Kami tidak dapat belajar secara penuh karena harus mengikuti latihan kemiliteran di sekolah. Semula pelatihan diadakan di aula sekolah.

Di tahun 1945, kesibukan saya semakin bertambah. Selain di Pos PMI, kadang-kadang kami dikirim ke front di Bekasi, Karawang, Rengasdengklok dan Subang. Bahkan pernah pula ditugaskan di lokasi pertempuran Lembang dan Ciater Bandung. Selain aktif di PMI, sesekali kami diikutsertakan dalam tugas penggeledahan di kereta api dan mengikuti pasukan. Seberat apapun tugas yang diberikan, kami melaksanakannya dengan gembira. Kami digembleng di Bandung selama enam bulan. Semua anggota PMI disatukan dan ditempatkan di pos yang berbeda-beda.

Pos tetap kami di Purwakarta, tetapi ditugaskan berpindah-pindah karena jumlah anggota sangat sedikit. Meski demikian, kami tetap bergembira karena selalu bersatu padu dalam satu tujuan, Indonesia Merdeka. Menjelang Proklamasi, kami semakin giat berlatih. Lapangan Tegallega menjadi tempat yang bersejarah bagi kami. Di sana, kami dilatih kepalangmerahan, dapur umum, jadi kurir dan staf pertahanan. Kami juga dilatih sebagai mata-mata dan banyak tugas lain. Semua itu kami lakukan demi kemerdekaan. Begitu sumpah kami saat itu.

Sehari sebelum proklamasi dikumandangkan, kami diperintahkan bersiaga atas segala kemungkinan oleh Kolonel Sidik. Banyak sekali tamu berdatangan ke Rengasdengklok. Lalu kami mengatur pembagian tugas. Ada yang ditempatkan di Tambun, Klender dan Karawang selain di Rengasdengklok.

Pada awal 1946, saya ditugaskan oleh dokter Hardjoloekito ke Rumah Sakit Rancabadak Bandung untuk membantu di sana. Ketika sampai di rumah sakit tersebut, kami tahu bahwa mereka memang perlu perhatian lebih. Dari Bandung kemudian kami ditugaskan di Rumah Sakit Subang dan bertemu dokter Sukono yang tengah sibuk mengatur rencana penyelamatan pasien di rumah sakit tersebut.

Tanggal 23 Maret 1946, datang perintah untuk segera mengosongkan kota Bandung. Atas perintah itu, kami segera memindahkan pasien, obat dan peralatan rumah sakit ke luar kota. Dalam batin kami bergelora semangat untuk mengusir penjajah. Dengan perginya Jepang, mestinya kemerdekaan sudah berada di depan mata. Dan para patriot bangsa tentu akan berbisik “Teruskanlah pertempuran sampai titik darah penghabisan, agar kemerdekaan tercapai. Dan demi kemerdekaan, kami berkorban”. Bisikan itu terus berkecamuk di dada kami. Benci rasanya melihat bangsa Indonesia yang berhianat, dan benci yang tidak terhingga kepada penjajah yang serakah.

Malam menjelang 24 Maret 1946, Bandung dibumi-hanguskan oleh tentara RI  dalam peristiwa yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api.  Saya tengah bersiap dipindah-tugaskan ke Karawang Timur. Saat itu, komando ada di tangan Mayjen AH Nasution dan Kolonel Bratamanggala. Saya mendapat tugas rangkap sebagai Staf Pertahanan Daerah Sabang. Meski demikian, saya tidak melepas tugas sebagai anggota PMI dan juru rawat dokter Sungkono di Rumah Sakit Subang. Selain itu, saya juga membantu pelatihan kepalangmerahan, misalnya PPPK, kepada karyawan wanita, para istri pegawai dan istri guru.

Pada akhir tahun 1946 keadaan semakin gawat dan banyak terjadi kekacauan dari para penghianat bangsa di berbagai tempat. Tidak hanya terjadi di sekitar Subang. Di Jawa Tengah, Belanda yang melanggar perjanjian Renville menyerang dan menduduki berbagai wilayah. Begitu pula di Jogja, Lapangan Terbang Maguwo telah diduduki. Sementara itu, Muso dan PKI melakukan pemberontakan di beberapa kota di Jawa Timur terutama Madiun. Dalam peristiwa ini gugur seorang teman saya, dokter Sudjono yang selalu bertugas bersama sejak di Purwakarta dan Subang.

Saya bertemu dokter Mustopo dan Ibu Djohan selaku komandan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Sebelum terjadi pertempuran 10 November 1945, saya sempat berkunjung ke Surabaya dai Purwakarta dalam rangka kunjungan balasan antar PMI. Dalam pertempuran itu, dua rekan kami gugur sebagai kusuma bangsa. (bersambung)

Sumber:
Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45, Buku Pertama, Grasindo Jakarta, 1995 halaman 35 – 41.
      

This entry was posted in ,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply